Thursday, October 12, 2006

SOAL EPA

RI Harus Hati-hati dalam Perundingan EPA
Oleh Turyanto


PEMERINTAH harus hati-hati dalam melakukan perundingan bilateral Persetujuan Kemitraan Ekonomi (economic partnership agreement/EPA) dengan negara-negara maju.

Sebab, EPA dinilai hanya menjadi alat baru bagi negara maju untuk menekan negara berkembang, setelah mereka gagal ‘memaksakan’ kehendaknya dalam setiap perundingan yang digelar World Trade Organization (WTO).

Legal Consultant Third World Network Malaysia, Sanya Reid Smith punya kisah menarik bagaimana kondisi ekonomi negeri Jiran tersebut, pasca penandatanganan kesepakatan perdagangan bebas (free trade area/FTA) dengan Amerika Serikat (AS) beberapa tahun silam.

Menurut dia, setelah tahun pertama kesepakatan FTA dibuat, terjadi dampak cukup signifikan terhadap penurunan nilai perdagangan lokal, keterpurukan industri, dan melemahnya penyerapan tenaga kerja domestik.

Hal paling mencolok, lanjut ia, terlihat pada nilai ekspor produk AS ke Malaysia yang mengalami peningkatan cukup tajam, yakni mencapai US$2,3 miliar. Angka itu pun terus merangkak naik setelah tahun kedua perjanjian menjadi US$5 miliar, atau melonjak hingga 200 persen.

Sedangkan, meskipun terjadi pertumbuhan nilai ekspor Malaysia ke AS, namun tidaklah sepesat yang dialami negara Pamansam itu. Malah, produk impor AS kini membanjir di pasar Malaysia.

Akibat, tidak adanya hambatan tarif yang diberlakukan pemerintah Malaysia kepada para eksportir AS yang mengirimkan produknya ke negara tersebut.

“Ini konsekuensi kesepakatan bilateral Malaysia—AS. Sebab, AS meminta agar Malaysia menghapus 100 persen tarif dan itu disepakati,” kata Sanya usai seminar liberalisasi perdagangan.

Kondisi inilah, menurut dia, yang menyebabkan Malaysia dalam perjanjian itu tetap dirugikan. Karena, setelah perjanjian ditandatangani, ternyata AS tidak turut menghapus 100 persen tarif yang dimilikinya untuk beberapa produk tertentu, seperti manufaktur dan komoditas pertanian.

Selain itu, mereka juga tetap memberikan subsidi pada beberapa sektor, terutama pertanian.

Jadi, lanjut Sanya, meskipun AS telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas yang seyogyanya semua subsidi dihapus dan tidak ada hambatan tarif antarnegara, tetapi mereka masih memberikan proteksi terhadap produk lokalnya.

Jelaslah, ujar dia, hal itu sangat tidak menguntungkan bagi negara berkembang yang tengah menjalin hubungan perdagangan bebas dengan AS. Karena, secara tak langsung melalui perjanjian bilateral tersebut, AS lebih mendominasi kepentingan dagangnya.

“Itulah cerdiknya mereka. Minta tarif ini, itu dihapus, tetapi masih memproteksi produk dalam negerinya,” tegas dia.

AS juga, kata Sanya, selalu meninjau ulang program bebas pajak untuk impor dari suatu negara, ketika negara yang sedang berkembang tersebut dinilai secara berkelanjutan menikmati keuntungan perdagangan dengan mereka.

Seperti yang baru-baru ini dilakukan negara Adikuasa itu, dengan meninjau status program bebas pajak 133 negara berkembang, setelah para pembuat kebijakan AS mengkomplain bahwa negara-negara itu secara terus-menerus menikmati keuntungan dagang.

Berkaca dari pengalaman itu, Sanya menyarankan, Indonesia harus cermat dalam mempelajari isi perjanjian yang diajukan oleh negara-negara maju ketika akan meneken suatu kontrak kerjasama dagang.

“Baca dengan teliti, satu per satu dan pikirkan dampaknya secara luas. Karena perjanjian bilateral itu patut diwaspadai,” jelasnya.

Khusus untuk AS, dia menegaskan, RI sebaiknya tidak menjalin perdagangan bebas secara sendirian tanpa menggandeng negara berkembang lain yang senasib.

Dia menyatakan, semua sektor ekonomi di Indonesia masih membutuhkan perlindungan oleh pemerintah, sehingga sangat rentan bagi RI untuk menjalin kerjasama dagang dengan negara maju seperti AS yang lebih mementingkan kehendaknya.

Namun, Sanya mengakui, untuk Jepang, negara tersebut cukup santun dalam melakukan negosiasi bilateral. Kendati begitu, dia mengingatkan RI harus tetap berhati-hati. Sebab, EPA yang digagas Jepang mengusung kepentingan khusus untuk melakukan ekspansi produk manufaktur mereka.

“Tetap harus dicurigai motifnya.”

Assesment of Indonesia’s Strategy, Case Study of Japan and US, Soemadi D.M Brotodiningrat mengakui, perjanjian bilateral tetap memberikan resiko bagi negara berkembang.

Namun, lanjutnya, liberalisasi perdagangan merupakan realita yang tak bisa dipungkiri oleh Indonesia, sehingga jalan tengahnya adalah menjalin kerjasama dengan negara maju yang dinilai bisa memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak.

“Memang oposisi terhadap liberalisasi perdagangan bisa memperkecil dampak negatif bagi negara berkembang. Namun, efektifitasnya diragukan. Karena tiap-tiap negara memiliki kepentingan berbeda,” paparnya.

Soemadi mengungkapkan, Jepang merupakan negara pertama yang dipilih RI untuk menjalin mitra EPA bilateral.

Alasannya, negara Matahari Terbit tersebut adalah pasar ekspor terbesar bagi produk RI, investor terbesar, dan donor bilateral terbesar.

“Selain itu, produk RI-Jepang memiliki tingkat komplementaritas yang tinggi. Jadi tidak ada persaingan dagang,” katanya.

Terkait membuka hubungan perdagang bebas dengan AS, Soemadi menyatakan, pemerintah baru akan memfokuskan melakukan negosiasi dengan Jepang, sehingga pembicaraan dengan AS belum secara intensif dilakukan.

Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu pembicaraan EPA antara RI-Jepang masih menunggu penyelesaian RUU Penanaman Modal. Dia mengatakan kondisi ini berbeda untuk lini perundingan EPA yang lain, baik itu berupa bantuan teknis peningkatan kapasitas industri maupun penurunan tarif bea masuk barang dan jasa.

"Yang paling kita harapkan dari Jepang adalah investasi. Dan negosiasinya itu nanti akan mengambil prinsip-prinsip, dan harus konsisten dengan RUU Penanaman Modal. Jadi harus hati-hati," katanya.

Mendag mengatakan penyelesaian RUU Penanaman Modal menjadi penting karena tanpa itu, "Kita tidak bisa binding di level bilateral kalau berbeda dengan RUU kita, jadi secara pararel (semua lini perundingan) akan dilakukan," tambahnya.

Terkait Kerja sama Ekonomi Asean (Asean Economic Cooperation), Mendag Mari mengakui perkembangannya tidak begitu baik. Sebab ternyata minat negara anggota Asean terhadap kerja sama itu belum terlalu tinggi.

"Jadi ini kita memang harus ubah strategi kita dan banyak koordinasi, misalnya, karena yang paling berkepentingan di satu sektor seperti produk kayu itu kan kita dan Malaysia yang punya industri wood base product," jelasnya.

Dia mengatakan meski produk tersebut sudah ditetapkan sebagai prioritas unggulan dari 11 produk prioritas Asean yang sudah ditetapkan, sampai kini detail pembagian tugasnya di Asean belum ada.

Menurut dia, di luar faktor bahan baku yang hanya ada di Indonesia, Malaysia, dan Myanmar, pembagian tugas per produk prioritas itu tetap penting agar jelas siapa yang berada di sektor produksi, termasuk yang di sisi pensuplai bahan baku.

Karena itu, agenda pertemuan Kerjasama Ekonomi Asean berikutnya bukan hanya pembahasan di sektor itu saja, tapi juga 11 sektor lain, dan tetap dengan target 2010 tercapai Asean Economic Community untuk 11 sektor itu.

Friday, October 06, 2006


Alfath

Ada keceriaan kala itu! Ketika langkah gontai kita mengayun bersama. Menyelesuri hening desa tempat kita mengaji. Kepuasan? Kau muncul!

Lihatlah itu. Muka kita lugu. Serasa tak ada dosa. Kalian semua berseragam. Sedang aku, hanya puas sekedar melihat kalian berbahagia. Bercanda. Dalam rajut ukhuwah. Kita pernah berjanji: selalu bersama.

Alfath....
Senandungmu pernah bergetar!
Serumu pernah menggelegar!
Dan degup degapmu pernah membara

Dalam hijjah
Dalam ukhuwah
Dalam jihad
Dan dalam manis zikir....!

Kita berpisah!
Bersama egomu
Egoku
dan...
(turyanto81@yahoo.com)

Karet

PE Karet Segera Diberlakukan

Oleh Turyanto
Wartawan Bisnis Indonesia

Kabar akan dikenakannya pajak ekspor (PE) untuk komoditas karet menggelinding.
Pemerintah melalui Departemen Keuangan (Depkeu) tampaknya telah berketetapan hati untuk menggulirkan kebijakan itu. Bahkan, surat resminya pun sudah dikeluarkan. Ancaman serius bagi petani karet, di saat bulan madu tengah berlangsung.

Faisal Basri berseloroh. Ekonom asal Universitas Indonesia (UI) itu menyatakan pemerintah dalam waktu dekat ini akan mengenakan pajak ekspor (PE) untuk karet, meski ia lebih suka menyebut dengan istilah pungutan ekspor. Malah, menurut dia, surat resmi dari Depkeu telah keluar.

Ungkapan Faisal tersebut muncul ketika Kamar Dagang Indonesia (Kadin) membuat road map industri 2010 dan roundtable discussion visi 2030 di hotel Four Seasons akhir bulan lalu.

Karuan saja, peserta yang dihadiri oleh kalangan pengusaha dan asosiasi perkebunan tersebut saat itu terkejut mendengar kabar yang disampaikan Faisal.

Walau bagaimana, jika pemerintah positif memberlakukan PE karet, jelaslah kabar ini tidak baik untuk pengusaha, apalagi petani. Sebab, pendapatan mereka secara otomotis pasti turun.

“Sekarang saat harga karet bagus, pemerintah malah mau mengenakan PE. Janganlah, kasihan petani,” ungkap Faisal.

Dia mengatakan berita awal rencana pengenaan PE karet tersebut mencuat kala Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) melakukan pertemuan di Bali pada 26-28 Juli lalu.

Berdasarkan pertemuan itu, menurut dia, munculah keluhan dari Gapkindo bahwa pemerintah dalam waktu dekat ini siap memberlakukan kebijakan baru dengan mengenakan PE untuk karet.

“Mereka (Gapkindo) bercerita ke saya, kalau karet akan kena PE. Tapi besarnya saya belum tahu,” jelasnya.

Menurut Faisal, sebenarnya pemerintah tak perlu memberlakukan kebijakan itu. Karena, tegasnya, selama ini tata niaga karet berlangsung tanpa ada regulasi dari pemerintah.

Jadi, katanya, apabila sekarang harga karet tengah melambung, maka sebenarnya yang menikmati juga adalah petani, menyusul hampir 85% perkebunan karet dimiliki oleh petani.

“Sehingga bisa dilihat, yang terkena imbasnya juga petani. PE CPO (crude palm oil) dan batubara saja sedang diusahakan untuk kita hapus, masa sekarang mau ditambah karet?” tanyanya.

Senada dengan Faisal, Asisten Perkebunan II Deputi Bidang Industri Agro Kertas Percetakan dan Penerbitan Kementerian BUMN Rusdonobanu mengakui pernah mendengar rencana itu. Menurut dia, apabila Depkeu jadi menerapkan PE ini, maka penghasilan BUMN perkebunan bisa merosot.

“Beberapa waktu lalu rapat Kadin sempat membahas hal ini. Tapi saya tidak seberapa memperhatikan. Katanya mereka akan membuat pernyataan menolak,” ungkapnya.

Menurut Rusdonobanu, selama ini karet merupakan komoditas andalan PTPN yang cukup signifikan menggenjot laba perusahaan.

Secara terpisah, Asril Sutan Amir, Wakil Ketua Umum Gapkindo mengatakan dirinya memang pernah mendengar rencana pemerintah yang akan mengenakan PE untuk karet. Namun, terkait kepastiannya, Gapkindo belum mengetahui secara detail.

“Kalau sampai diberlakukan, ini beban baru bagi kami. Sebab, kami sudah banyak terbebani pajak. Toh, nanti pada akhirnya petani yang akan merasakan,” katanya ketika dihubungi Jurnal Nasional kemarin.

Menurut dia, dampak paling ekstrim dari penerapan PE ini adalah turunnya pendapatan yang akan diterima oleh petani, karena harga jual karet mentah turut anjlok.

Pada akhirnya, lanjut ia, produksi karet nasional bisa menurun drastis, seiiring dengan rendahnya minat petani menanam karet.

“Dari 3,3 juta hektare total luas perkebunan karet nasional, 85% merupakan milik petani. Jadi imbas penerapan PE, ya petani juga,” jelasnya.

Terkait produksi, Asril mengatakan hingga semester I/2006 produksi karet nasional telah mencapai 1,1 juta ton. Sedangkan pada semester II/2006 pihaknya menargetkan dapat menembus 0,9 juta ton, sehingga total produksi karet untuk tahun ini diprediksi 2 juta ton.

Sementara itu, menurut dia, nilai ekspor karet domestik pada semester I/2006 mencapai US$2 miliar atau naik sekitar 6% dan diperkirakan mampu mencapai US$4,2 miliar hingga akhir tahun ini.

Perolehan ekspor pada semester I itu berasal dari 1 juta ton karet, sementara Gapkindo memprediksikan tren kenaikan ekspor itu akan terus berlanjut sampai akhir tahun ini, sehingga Indonesia berpeluang meraih devisa senilai US$4,2 miliar setara 2,1 juta ton.

Asril mengatakan ekspor periode Januari-Juni tahun ini tumbuh signifikan, yakni naik 6% dibandingkan periode sama yang tahun lalu. Dengan volume ekspor lebih dari 1 juta ton, nilai ekspor sekitar US$2 miliar, dengan harga rata-rata US$2 per kg

Kinerja ekspor karet itu, lanjutnya, diharapkan bisa mendukung kelanjutan kenaikan ekspor nonmigas dalam negeri sepanjang 2006, setelah ekspor Mei berhasil mencatat rekor baru senilai US$8,34 miliar.

“Terdapat beberapa faktor pendukung penting atas kinerja ekspor karet, yakni tingkat kebutuhan dunia tetap tinggi, terutama China, India, Eropa dan AS,” paparnya.

Selain itu, lanjut dia, kini banyak kalangan perusahaan dan perorangan di Tanah Air yang banyak berminat menanam karet, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas nasional.

Gapkindo sendiri, katanya, terus berupaya aktif melakukan kampanye dan promosi pemasaran ke sejumlah negara tujuan ekspor tradisional, serta berupaya menggarap pasar baru di sejumlah kawasan. Di antaranya kawasan Mediterania dan Australia, yang merupakan pasar potensial bagi karet Indonesia.