Sunday, September 14, 2008

Susah tidur


Malam ini aku kembali susah tidur. Entahlah, apa yang sedang menimpa diriku ini. Aku juga tak tahu musabab mengapa aku susah tidur. Pikiran? Ah, bukan! Tiada sesuatu serius yang terjadi akhir-akhir sehingga membuatku harus begini.

Namun, yang jelas, aku gelisah. Teramat gelisah! Seolah ada seseorang yang terus mengawasi dan memerhatikan diriku. Dia mengintip. Mengetuk relung-relung nadiku dan ingin larut di tiap desir nafasku.

Padahal aku sudah mencoba tenang dalam lafadz tilawah. Hanyut dalam dzikir dan terdengkur dalam bacaan panjang surah qiyamul lail. Tapi, dia.....? Hmmmm...seakan berada di sampingku, menemani sholatku, dan berujar, Amin.....!

Ah, siapakah dia? Diriku sesungguhnya? Atau??? Mengapa dia mengusikku? Membuat aku kikuk, menerawang dalam alam pikir kosong hingga tak tahu apa yang sebenarnya aku pikirkan saat ini. Yah, aku tak tahu! Hanya kegelisahan yang ada. Gelisah! Gelisah! Dan, gelisah!

Ya, Alloh, Engkau maha tahu atas apa yang sedang terjadi dalam hidupku ini. Jika hamba-Mu ini memiliki salah, ingatkanlah! Bila hamba-Mu dhoif dan pernah melukai seseorang, tunjukkanlah. Hamba-Mu akan meminta maaf dan menebus salah itu. Karena sungguh, hamba ini lemah dan tak luput dari dosa!

Ya, Alloh, hanya Engkau pula, tempat mengadu. Aku mengaduh, ya Alloh. Mengaduh dengan penuh ikhlas atas hidupku ini. Hamba tak memiliki apa-apa. Tak punya apa-apa. Hanya dirimulah dzat yang menguasai atas segala sesuatu yang hamba miliki.

Ya, Alloh, aku bermunajat kepadamu. Meminta, tenangkahlah batin ini. Berilah hamba-Mu senyum dan keceriaan hari esok dengan istirahat yang cukup dalam hidup normal. Sungguh, aku rindu hal itu....

Sahabat, siapapun dirimu yang membaca ini, maafkanlah diriku bila ada alpa dan menyimpan salah selama ini. Sungguh, aku tulus mengetuk pintu maafmu. Hingga, aku bisa tenang menapaki hidup ini!

Saturday, September 13, 2008

Stop ghibah?

Ghibah atau ngrumpi memang merupakan kegiatan paling asyik dan menyenangkan saat kumpul di sana-sini. Tahukan? Dengan ghibah, kepuasan batin itu bisa muncul. Seolah-olah semuanya tertumpah dan terlampiaskan.

Mengapa sih aku terkadang masih terjebak pada perbuatan ini? Mengapa pula, aku menjadi ingin tahu kondisi atau kabar apapun tentang orang lain? Mengapa juga aku musti bertanya dan mengajak orang untuk berbicara soal ini dan itu atau tentang siapa dan apa?

Padahal, masih ada kan pembicaraan lain. Pembahasan lain. Atau semunya yang serba lain....

Tapi inilah susahnya. Ghibah itu telah jadi menu. Kadang, aku sudah coba untuk tidak melakukannya, namun eh...teman ngomong malah ngajakin ngrumpi tentang kantor, soal dia, ia, dan hahahaha....apa sih?????

Hmmmm...gimana ya untuk bisa menghindar? Kalau gak ngomongin orang lain, apa harus bicarain diri sendiri saja? Wah, bisa-bisa tergolong kaum narsis alias terjebak ujub! Kalau ini dibiasakan, toh gak baik juga kan? Lama-lama, kita bisa sakit. Bermain diangan-angan dan mimpi sendiri hingga menganggap apa yang dilakukan orang lain itu selalu salah di mata kasat atau hati kita!

Lantas, baiknya gimana dong? Bingung kan?

Wew, mengapa repot! Bukankah, ghibah itu memang adalah bagian dari silaturrahim yang ada di sekitarku?

Tak percaya? Lihat sajalah, bila kita ketemu teman, pasti juga ikut membicarakan teman yang lain. Meskipun hanya bilang, ”Gimana kabar si anu? Dia lagi sibuk apa? Terakhir bagaimana?”

Nah, berhubung tak bisa dihindari, ya aku gak bisa dong menyetop ghibah! Cuma, satu komitmenku, sportiflah! Yah, aku puji dia dihadapan orang lain bila memang dia layak mendapatkan itu semua. Atau, mengapa kita tutupi aib ia, bila ternyata dirinya sendiri tak mampu menjaga aibnya itu?

Sebab, saat ia mulai bercerita tentang aib dirinya, maka babak kenaifan itu sudah ditabuh. Bukankah Alloh sebenarnya sudah menutup aibnya itu di kala pagi hari???? Jadi, mengapa ia memaksakan bercerita di siang harinya???? Wallohu’alam deh!

Thursday, September 11, 2008

Untuk yang tanya-tanya soal kapan menikah


BELUM lama ini saya mendapatkan surat undangan dari seorang teman lama, sewaktu masih masih aktif di organisasi kampus. Kawan itu datang pada malam hari, dengan membawa empat helai kertas berdesain lux plus foto-foto mesra.

Entah, sudah berapa banyak silih berganti surat undangan seperti itu atau sekedar SMS pemberitahuan ihwal walimatul ursy jatuh ke tangan saya. Kala membacanya, di dalam hati pun kerap terselip pertanyaan,"”Kapan ya menyusul?”

Begitulah yang selalu terlintas dalam benak saya. Apalagi, saat melihat rekan saya yang datang kali itu membawa banyak surat undangan untuk disebarluaskan kepada teman-teman lain, atau kerabat.

Wah, enak nih sudah dapat calon!” kata saya saat menerima undangan itu. "Ya, namanya juga jodoh, Yan, ” jawabnya.

Nah, kebetulan kawan saya itu datang bersama calon isterinya. Dia bilang, calon isterinya itu sudah layak dan sangat sesuai dengan kriteria akhwat shaleha yang dia cari.

Yah, itulah yang namanya jodoh! Kadang selama ini, saya atau yang lain sering kali menganggap jodoh adalah sebuah misteri. Artinya, jodoh adalah sesuatu yang tak dapat diketahui oleh manusia--hanya Alloh yang mengetahui hal tersebut.

Anggapan orang-orang bilang bahwa jodoh adalah misteri terlihat dengan sebuah kepercayaan jika jodoh merupakan sesuatu yang telah Alloh tentukan untuk kemudian disembunyikan dari hambanya, sehingga dia sama sekali tak bisa mengetahuinya.

Tetapi, saya berpikir, benarkah jodoh itu misteri? Apakah jodoh adalah sesuatu yang telah ditetapkan dan diatur Alloh begitu saja? Apakah tak ada kebebasan bagi manusia untuk memilih jodoh bagi dirinya sendiri?

Memikirkan soal ini, mengingatkan saya pada Murabbi ketika ia mengajukan kepada Ma'du-nya di halaqah. MR saya itu bilang, ”Siapa nih yang sudah siap nikah? Di tangan saya ada proposal akhwat yang mencari ikhwan. Siapa di antara kalian yang siap menjadi calon suaminya?" kata Murabbi itu.

Tiba-tiba suasana halaqoh pun jadi hening. Saya dan teman-teman satu kelompok hanya saling pandang. Kadang senyum tertahan tampak dari mimik kami. Kiranya, siapa yang bersedia berumah tangga alias menerima tantangan ustadz?

Sekian lama bengong, akhirnya suasanya pun menjadi riuh. Saling tunjuk pun terjadi. “Nah, ente aje deh yang buru-buru nikah. Ente kan udah gawe dan mapan? Siapa sih akhwat yang tak mau?” Itulah kalimat-kalimat yang terlontar dari kawan-kawan saya yang lain. Mereka saling tunjuk mencari sasaran dengan memilih saya.

Hah????Saya? Sepertinya tidak! Kenapa? Karena saya belum bisa dikriteriakan ikhwan yang mapan untuk sebagai lelaki yang siap menikah. Memang menikah adalah suatu hal yang sunnah yang perlu di laksanakan.

Tapi, bagaimana kalau seorang seperti saya belum mapan—menikah juga bukan sebuah permaianan. Karena dalam suatu pernikahan tersimpan suatu yang sakral untuk kita hormati. Untuk itulah saya tak mau terburu-buru. Toh, nanti jodoh akan datang sendirinya—Alloh yang akan memberi jalan-Nya dalam ikhtiar saya. Semoga!

Namun dengan demikian, ada hukum kehidupan yang kita kenal dan juga pepatah “Tak Kenal Mak Tak Sayang. Tak Sayang Maka Tak Cinta”. Artinya, untuk memeroleh pasangan hidup, maka kita harus ada proses interaksi terlebih dahulu. Jadi, sangatlah tak mungkin kalau seorang berdiam diri saja di rumah, tanpa berinteraksi atau ber muamalah dengan siapa pun bakal memeroleh pasangan.

Oleh karena itu jodoh kita berada di tempat di mana kita berada dengan tingkat intensitas yang tinggi. Apabila, kita sering nongkrong di CafĂ©, tentu kita akan memeroleh jodoh di tempat di mana kita nongkrong. Seperti ungkapan yang sering terdengar, “Kalau bergaul dengan tukang minyak wangi, aroma wanginya akan ikut menempel. Begitu juga kalau bergaul dengan seorang pembunuh, tentunya kitajuga akan kecipratan darahnya pula!”

Entahlah, benar atau tidaknya saya juga masih rancu dengan pepatah tersebut.
Tapi bagi saya itu tak ada pengaruhnya dalam kehidupan pribadi. Begitu juga ketika menentukan jodoh! Kalau ingin mendapatkan akhwat shaleha, ya kita harus banyak pergi ke majlis taklim bukannya ke bar maupun ke pub. Bukankah begitu?

Jadi jodoh bukanlah sebuah misteri, karena pada dasarnya kita dapat mengetahui siapa yang kira-kira akan menjadi jodoh kita?

Lalu bagaimana dengan orang yang sudah menikah dan kemudian cerai, apakah itu bukan jodoh? Janganlah kita katakan, ”bukan jodoh” atas hal tersebut. Sesungguhnya hal tesebut kegagalannya dalam mengelola hubungan dengan seseorang di mana seseorang masih mengedepankan egon-nya.

Terus bagaimana dengan yang belum dapat pasangan? Seperti saya contohnya yang high quality jomblo? Hahahahaha.....

Hal itu bukankah berarti Alloh belum menimbulkan atau memilih seseorang untuk kita karena seperti yang telah saya sebutkan tadi, pengalaman saya bahwa masalah siapa-siapa adalah urusan sendiri. Dan apabila kita masih belum mendapatkan pasangan juga, jangan men-judge-Alloh dengan kata: belum jodoh!

Sebab, bisa jadi ada yang tak beres pada diri kita. Hehehe....Jodoh, itu memang pulang tak di antar, datang tak dijemput....Kalau ingin datang, jemputlah ia....Nah, masalahnya, saya belum mau 100% menjemputnya hingga semua harus kembali berpulang! Gitu lho rekan-rekan.....

Di Cirebon Plaza....


WAH gak nyangka kalau di hotel Cirebon Plaza kayak gini bisa free wi-fi. Tadi sempet ketar-ketir. Habisnya, isi pulsa TelkomselFlash lagi habis. Jadi bingung, malam ini ngenet dimana? Nah, iseng tanya sama si resepsionis, di sini ada empat makan yang bisa free wifi dimana ya?

Eh, dia bilang, di sini ada kok mas....Huhu, makanya ini malam langsung dipuas-puasin ngenet. Kemarin sih memang harus prihatin. Soalnya menginap di Purwekerto. Di Unsoed sih memang ada free wifi, tapi masa sih ngenet di kampus. Mana nyamuknya pasti banyak.....

Ya sudahlah, aku mau puas-puasin saja tidur....Besok masih harus mutar-muter di Cirebon. Satu langkah lagi, aku balik lagi ke Jakarta...

Puas, puasin mas....

Thursday, September 04, 2008

Meluruskan Moral Puasa

SUATU ketika, Rasulullah Saw pernah bertanya kepada para sahabat-sahabatnya:

”Tahukah kalian, siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat pun kemudian menjawab,”Orang yang bangkrut adalah mereka yang kehilangan hartanya dan seluruh miliknya ya, Rasul."

Mendengar ucapan sahabat-sahabanya itu, Nabi berkata, “Tidak!” ”Lantas, siapa mereka itu ya, Rasulullah?” tanya sahabat.

Nabi pun kemudian mengatakan bahwa mereka yang bangkrut adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala dari puasanya, zakatnya, hajinya, namun saat pahala-pahala itu ditimbang, datanglah orang mengadu, ”Ya Allah dulu orang itu menuduhku pernah berbuat

sesuatu padahal aku tak pernah melakukannya.” Lalu, Allah menyuruh orang yang diadukan itu untuk membayar kepada pengadunya dengan sebagian pahala dan menyerahkannya.

Kemudian datang orang yang lain lagi dan mengadu, ”Ya Allah hakku pernah diambil dengan sewenang-wenangnya.” Lalu Allah menyuruh lagi membayar dengan amal shalehnya kepada orang yang mengadu itu.

Setelah itu datang lagi orang yang mengadu, sampai seluruh pahala shalat, haji dan puasanya tersebut habis untuk membayar orang yang pernah haknya dirampas, yang pernah disakiti hatinya, yang pernah dituduh tanpa alasan yang jelas.

Semuanya dia bayarkan sampai tak tersisa lagi pahala amal shalehnya. Tetapi, orang yang mengadu masih datang juga. Maka, Allah memutuskan agar kejahatan orang yang mengadu dipindahkan kepada orang itu.

Rasulullah melanjutkan,”Itulah orang yang bangkrut di hari kiamat, yaitu orang yang rajin menjalankan upacara-upacara ibadah (shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya) tetapi dia tak memiliki akhlak yang baik. Dia merampas hak orang lain dan menyakiti hati mereka.”

Kisah percakapan Rasulullah dengan para sahabat ini, tentu cukup menggambarkan kepada kita, betapa ibadah yang selama ini kita lakukan akan sia-sia bila tidak diikuti dengan perubahan akhlak. Sebab, setiap ibadah, termasuk puasa, di dalamnya terkandung pesan moral yang mendidik nilai tertentu, akhlak tertentu agar sang hamba bisa kian dekat dengan Allah, Swt.

Bahkan, begitu mulianya pesan moral tersebut, Rasulullah sampai menilai ’harga’ suatu ibadah itu dilihat dari sejauh mana kita mampu menjalankan pesan-pesan moral itu. Karenanya, bila ibadah yang kita jalankan tersebut tak mampu meningkatkan akhlak kita, maka Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tak bermakna apa-apa. Dengan kata lain, kita tak melaksanakan pesan moral ibadah ini.

Lantas, mengapa Islam sangat menekankan prinsip moral itu? Prinsip akhlak itu? Karena kedatangan Rasulullah sendiri tak sekedar mengajarkan zikir dan doa. Nabi sudah secara tegas mengatakan misinya di bumi ialah menyempurnakan akhlak, termasuk ibadah puasa, bangun di tengah malam, dan shalat. Semuanya diarahkan demi menyempurnakan akhlak manusia.

Bahkan, kalau ada orang yang menjalankan pelbagai ibadah, tetapi kurang memperhatikan akhlaknya, sekali lagi Islam tak pernah menghitungnya sebagai ibadah.

Ada pernyataan kepada Rasulullah,”Ya Rasulullah ada orang yang berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk melakukan qiyamul lail, tetapi ia menyakiti tetangganya dengan lidahnya.” Maka Nabi menjawab, ”Dia di Neraka.”

Lalu, apa sebenarnya yang menjadi pesan moral ibadah puasa yang kita lakukan saat ini? Salah satunya adalah dilarang memakan makanan haram. Agar kita menjaga diri jangan sembarang memakan makanan. Bahkan, makanan halal pun tak boleh kita lakukan sebelum datang waktunya.

Pesan moral Ramadan adalah jangan jadikan perut Anda sebagai kuburan orang lain. Jangan jadikan perut Anda sebagai kuburan rakyat kecil.

Jangan pindahkan tanah dan ladang milik mereka ke perut Anda. Itulah pesan moral puasa yang mungkin relevan dengan kondisi bangsa saat ini. Semoga kita berpuasa sesuai dengan hakikatnya dan meluruskan moral ibadah kita dengan perbaikan akhlak.

Mudik, Jalan, Mudik....!

HARI mendadak mudik. Hehe, bukan berarti pulang kampung. Tapi, baru saja selesai ngisi form-form liputan mudik. Wadauuu...seperti biasa, tahun ini kena jatah lagi meliput kesiapan jalan di jalur pantai utara dan selatan. Tujuannya sih, gak jauh-jauh. Cuma sampai Purwekerto terus balik lagi ke Jakarta.

Nah, saya berangkat rencananya, Rabu 10 September esok. Pulang Minggu. Lumayan juga tuh, pasti bisa bikin aku patah tulang. Untungnya, aku punya kenalan dari manajemennya Anissa Bahar. Jadi, bisa diajarin dulu deh, goyang patah-patah....hahahaha...So, di jamin, meski badan bakal remuk redam tapi karena dibawa bergoyang, akan balik modal....

Tapi, ada yang ganjel nih! Puasa...puasa, pasti jadi agak susah ibadanya. Secara tak langsung, perjalanan-perjalanan keluar kota kayak gini, pastilah membuat aku jadi terganggu. Wah, bisa gak khusu' nih ibadanya di Ramadan.

Jadi, ingat tahun lalu. Puasa pertama sampai hari keempat ada di Lombok. Buka puasa di Segigi. Cari makan agak susah. Jatuhnya, makanan padang melulu. Belum lagi, karena pas musim panas, energi terkuras setelah seharian mutar-muter liputan. Trawihnya pun gak jelas. Gara-gara start yang buruk itulah, aku harus legowo bila satu bulan berpuasa terasa hambar..Aku cuma lapar dan haus saja secara fisik yang akan selesai, bila dahaga dan lapar terobati. Namun, ruh ini? Mana ketehe.....????

Terus, tahun sebelumnya, ceritanya nyaris sama. Lagi di Banjarmasin. Berputar-putar hingga berujung di Entikong. Weleh-weleh, bener-bener mabok....

So, doakan, aku bisa berpuasa dengan tenang dan sesuai hakikat tahun ini. Aku juga akan berbagi cerita jalan-jalan. Sekalian berbagi info makanan enak..... Allohuakbar!!! Jangan nyerah sama kerjaan!

Mulai dari yang ringan....

LAMA gak ngeblog, kangen juga. Sebenarnya sih, ingin memulai lagi dengan yang ringan-ringan saja. Yah, mengembalikan blog-ku ini seperti pada trah-nya. Menjadi catatan elektronik harian, dan atau semua keluh kesah perjalanan tiap hari.

Well, meski tak ada yang liat, setidaknya aku sendiri saja deh yang liat. Lumayan kan, bisa dijadikan sebagai tempat menghibur diri di antara kegamangan dan kekesalan duniawi.

Go, go, up date lagi. Kamu ada karena mau berbeda.....

Tuesday, June 17, 2008

kreatif

Sedikit Saja!

Dalam sebuah perjalanan ke Merak, saya bertemu orang yang benar-benar menurut saya sok tahu. Dia mengajak saya main tebak-tebakan, yang sebenarnya jawabannya cukup mudah untuk diterka.

Coba bayangkan, dia bertanya ke saya:
"Mas ada seekor kodok. Dia akan melompati sebuah kolam yang jaraknya
5 meter. Sekali melompat kodok itu mampu menempuh jarak 1 m. Jadi
coba, berapa kali lompatan yang dia butuhkan untuk menyebrangi
kolam itu?"
"Ah, gampang!"
"Ayo, berapa?
"Ya, tinggal tambahkan saja toh. Pasti lima lompatan lah!"
"Wah, salah!"
"Lho...? Apanya?"
"Ya itu! Pokoknya salah!"
"Lha, apanya?"
"Kodok itu kan memang melompat, tapi kalau di air dia berenang. Jadi
dia cukup dua kali melompat. Turun dan naik. Selanjutnya berenang!"

Wah, busyeettt! Saya jadi bingung sama orang satu ini. Saya yang sudah gede begini dan masih hapal betul rumus statistik dan fisika dikibuli soal angka dan logika sama orang yang menurut saya sok tahu itu!

Tapi, upssss...bukankah gara-gara acara kibul-kibulan itu orang sulit ditunjuk mana yang salah dan mana yang benar? Dan lebih lagi, gara-gara angka itu orang jadi hatinya gelap? Sulit berucap? dan suka berlogika kalap? Lantas berbisik: "Sttt...ini angka sekian jeti untuk bikin logika publik! jangan bilang-bilang yah!"

Sekarang coba pikirkan lagi! Lantaran logika angka, Mulyana yang mestinya cuma tinggal satu kali lompat harus terjerat? Lalu, Hamid Awaluddin juga ikut-ikutan berlogika, kalau angka yang dia dapat itu dibagi bagi?

Parah lagi, Madiri jadi sok sigap ikutan menghilangkan angka-angka itu? BRI bilang, TI itu tak bermasalah. Angka proyeknya bener kok! Coba lihat saja. Ga ada yang salah menulis angkanya. Tapi, saat logika di pakai, Lho???.....

***

Berbicara masalah angka ini, adik saya Rio yang kelas 6 SD pernah jengkel gara-gara dapat angka sedikit. Lantas, dia juga pernah sok hebat gara-gara angka sedikit juga.

Begitu pula sebaliknya, Rio selalu berjingkrak dengan angka banyak, tapi akan menangis dengan angka banyak juga. Lho? Jadi ada apa dengan angka sedikit dan banyak itu bagi Rio?

Coba sekarang kita bicarakan. Rio akan jengkel dengan angka sedikit tentu bila jatah uang jajannya dikurangi. Nilainya di bawah lima atau jatah kueh dan makanannya di ambil saya. Tapi, Rio yang bungsu itu juga akan sok hebat bila angka yang didapatkannya "nomor satu" di rapot, lomba pidato, atau bulu tangkis.

Terus Rio juga harus berjingkrak bila jatah uangnya besar dan nilai ujiannya besar. Tapi dia mesti menagis kalo peringkatnya di bawah sepuluh besar.

Walah...jadi sebenarnya baiknya dapat angka sedikit atau besar? Tentu jawabnya berbeda-beda. Kalau anggota dewan yang bilang pastilah: gajinya diperbesar. Kalau bisa sampai gaji ke enam belas. Tunjangannya ditambah. Lalu semua intensifnya jangan dikurangi.

Dan, anggota dewan tak pernah mau mendapatkan yang sedikit. Sebab rapat tidak sah bila kurang dari setengah ditambah satu. Rapat fraksi selalu gagal bila yang hadir cuma satu. Parahnya lagi, meskipun proyeknya hanya satu tapi harus sah bila dibagi banyak...!

Lantas, kalo presiden selalu pidato: Indonesia ini banyak pulau! Jangan dibagi-bagi lagi! Karena negara yang besar ini akan disegani bila kita bersatu.

Tapi, anehnya gara-gara orang yang banyak ini pengemis yang pernah saya temui selalu bilang: mas minta sedikit saja, biar saya bisa makan. Mas, bagi sedikit uang saja, untuk mengganjal perut hari ini. Mas...sedikit...saja!

***

Sebenarnya Rio mengingatkan saya akan perilaku bangsa ini. Kesenangan Rio dengan angka sedikit, bila ia mendapatkan prestasi. Lalu kegirangannya dengan angka besar itu muncul saat ia berhasil mengkorupsi angka belanjaan ibu yang banyak.

Duh...saya jadi bingung! Saya tak tahu lagi kalau bebicara masalah Indonesia yang banyak ini. Provinsinya banyak, pejabatnya banyak, penganggurannya banyak,angkatan kerjanya banyak, perangkat hukumnya banyak, aturan mainnya banyak, keluarganya banyak, dan naifnya korupsinya banyak juga! Mulai dari Rio hingga semua santero.

Mengapa Indonesia ini tak meniru kebahagiaan Rio saja? Yang suka bila dapat angka sedikit karena prestasi? Dan sedih dengan angka banyak akibat korupsi?

Dan kelas sosial itu terlalu banyak, hingga bagilah buat orang-orang yang berangka sial? Yang PAD banyak tapi selalu mengucur sedikit? Yang potensi wilayahnya banyak tapi selalu meminta sedikit saja....!

Wednesday, May 21, 2008

menikah



Lagi, Soal Nikah

Seorang sahabat mengirimkan artikel ini ke saya. Maksudnya mungkin terang untuk mengejek saya yang sampai kini tak kunjung menikah. Padahal, umur saya baru 26 tahun. Tapi kenapa ya, banyak orang yang sudah menginginkan saya segera punya pendamping. Well, aku posting saja di sini. Biar ada orang lain yang ikut membaca. Jadi gak kesindir sendirian deh!


Aku Takut Menikah Karena Belum....

1. Belum Bekerja

Inilah masalah klasik seputar menikah, terutama bagi pihak pemuda. Ketika sudah merasa cocok dengan seorang muslimah, dan jika ditunda-tunda bisa berakibat buruk, ternyata si Pemuda belum punya pekerjaan untuk menghidupi keluarga kelak. "mau dikasih makan apa anak dan istri kamu, dikasih cinta doang ?!?" Begitulah perkataan sinis yang senantiasa terngiang-ngiang ditelinganya.

Seorang laki-laki memang merupakan tulang punggung dalam sebuah keluarga. Menghidupi seluruh anggota keluarga adalah tanggung jawabnya. Rasulullah bersabda, yang artinya, "Bertaqwalah kepada Allah dalam memperlakukan wanita. Sebab kamu mengambilnya dengan amanat Allah dan farjinya menjadi halal bagi kamu dengan kalimat Allah. (Menjadi) kewajiban kamu untuk memberi rizki dan pakaiannya dengan cara yang baik." (HR.Muslim)

Dengan demikian, penghasilan dalam suatu keluarga memang diperlukan. Namun sebenarnya, tidak berarti belum kerja kemudian tidak boleh menikah. Allah SWT berfirman, yang artinya, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian (belum menikah) diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Surat An-Nur : 32)

Penghasilan bisa dicari setelah menikah. Yang pertama kali harus dilakukan adalah percaya dan yakin akan janji Allah pada firman-Nya di atas. Tak sedikit pemuda yang susah mencari kerja sebelum menikah, tapi setelah menikah ternyata banyak tawaran kerja dan peluang kerja.

Sebagai persiapan sebelum menikah, kesungguhan dalam menuntut ilmu dunia agar kelak mudah mendapatkan penghidupan yang baik pula untuk dilakukan. Walaupun tak selamanya relevan, kuliah yang baik dan dan prestasi yang bagus masih merupakan suatu modal yang dapat diandalkan dalam mencari kerja. Bagaimana kalau kuliah sudah terlanjur tidak karuan ? Jika sudah begini perlu juga pegang prinsip bahwa pekerjaan kelak tidak harus sesuai dengan bidang yang dipelajari saat ini. Banyak yang dapat rejeki lumayan dari bekerja dalam suatu bidang yang dulu tidak pernal dipelajari dalam jenjang pendidikan formal.

Persiapan lain yang bisa dilakukan adalah kuliah sambil kerja. Sembari menabung, juga bisa untuk jaga-jaga apabila ketika lulus nanti tidak langsung diterima bekerja sesuai bidang yang dipelajari.

2. Belum Lulus

Berbeda dengan yang pertama, masalah yang satu ini bisa menjadi penghalang bagi pihak pemuda dan pemudi. Mungkin seseorang sudah bekerja atau sudah punya prinsip untuk mencari kerja setelah menikah namun ia ragu untuk menikah gara-gara belum lulus kuliah. Bisa jadi pula yang punya alasan seperti ini sang pemudi pujaan hatinya. Bayangan kuliah sambil menikah baginya tampak menyeramkan. Kuliah sambil mengurus diri sendiri saja sudah repot apalagi jika harus ditambah tanggung jawab mengurus orang lain. Ditambah kalau si buah hati sudah lahir dan belum juga lulus kuliah, tampaknya akan tambah repot.

Sebenarnya, menikah tidaklah selalu mengganggu kuliah. Malahan hadirnya pendamping hidup baru bisa menambah semangat untuk belajar. Bisa jadi, sebelum menikah malas-malasan belajarnya, ketika sudah menikah malah tambah semangat dan tambah rajin untuk belajar. Tidak sedikit yang mengalami perubahan demikian, apalagi secara peraturan akademik seorang mahasiswa sudah diperbolehkan untuk menikah. Seorang mahasiswa sudah tidak dianggap ABG (Anak Baru Gede) lagi, tapi AUG (Anak Udah Gede) alias sudah dewasa. Seorang yang sudah dewasa dianggap sudah bisa bertanggung jawab apa yang menjadi pilihan hidupnya.

Memang benar untuk tetap mengadakan persiapan jika mengambil jalan menikah di saat masih kuliah. Yang pertama harus disadari adalah bahwa hidup berkeluarga adalah berbeda dengan hidup sendirian. Tidak pantas jika orang yang sudah menikah tetap bebas, lepas, menelantarkan keluarganya sebagaimana dulu bisa ia lakukan ketika masih lajang. Orang yang menikah sambil kuliah juga harus pandai-pandai mengatur waktu antara tanggung jawabnya dalam keluarga dan dalam belajar. Selain waktu, manajemen pemikiran juga solid, karena begitu menikah masalah-masalah dulu yang belum ada mendadak bermunculan secara serentak. Bagaimana memahami pasangan hidup baru, bagaimana jika hamil dan melahirkan, bagaimana mendidik anak, bagaimana mencari rumah -nebeng mertua atau cari kontrakan-, bagaimana bersikap kepada mertua, tetangga dan lain-lain, apalagi masih harus memikirkan pelajaran.

Pusing....? Semoga tidak. Sebenarnya menikah sambil kuliah bisa disiapkan sejak hari ini, bahkan juga sudah sejak SD. Modal awalnya adalah manajemen diri sendiri. Ketika seorang sudah sejak dahulu berlatih untuk hidup mandiri, akan mudah baginya untuk hidup berkeluarga. Misalnya saja sudah sejak SD bisa mencuci pakaian dan piring sendiri, mengatur waktu belajar, berorganisasi, dan bermain, mengatur keuangan sendiri, dan sebagainya. Kesiapan juga bisa diraih jika seseorang biasa menghadapi dan memecahkan problem hidupnya. Karena itu perlu organisasi dan bersaudara dengan orang lain, saling mengenal, memahami orang lain dan membantu kesulitannya.

3. Belum Cocok

Mungkin pula sudah lulus, sudah kerja, sudah berusaha cari calon pasangan tapi merasa belum menemukan pasangan yang cocok, sehingga belum jadi menikah pula, padahal sudah hampir tidak tahan ! Ini juga merupakan masalah yang bisa datang dari kedua belah pihak, baik pihak pemuda maupun pemudi. Kecocokan memang diperlukan. yang jadi pertimbangan dasar dan awal tentu saja faktor agama, yaitu aqidah dan akhlaknya. Allah berfirman, yang artinya :

"Mereka (perempuan-perempuan mukmin) tidak halal bagi laki-laki kafir. Dan laki-laki kafir pun tidak halal bagi mereka." (Al-Mumtahanah : 10)

Rasulullah juga bersabda, "Wanita itu dinikahi karena 4 hal : karena kecantikannya, karena keturunannya, karena kekayaannya, dan karena agamanya. Menangkanlah dengan memilih agamanya maka taribat yadaaka (kembali kepada fitrah atau beruntung)." (HR. Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

Keadaan yang lain adalah nomor dua setelah pertimbangan agama. Namun kebanyakan di sinilah ketidakcocokannya. Sudah dapat yang agamanya bagus tapi kok nggak cocok pekerjaannya, nggak cocok latar belakang pendidikannya, nggak cocok hobinya, warna matanya kok begitu, pakai kacamata, kok hidungnya...dan lain-lain.

Kalau mau mencari kekurangan tiap orang pasti punya kekurangan karena tidak ada manusia yang diciptakan secara sempurna. Sudah cantik, kaya, keturunan bangsawan, pandai, rajin, keibuan, penyayang, tidak pernah berbuat salah.

Ketika seorang pemuda atau pemudi sudah mau menikah, memang seharusnya cari tahu dulu tentang calon pasangan hidupnya ke sahabatnya, saudaranya atau ustadznya, atau yang lainnya, baik kelebihan maupu kekurangannya. Jika sudah tahu, tanyakan pada diri sendiri, apakah bisa menerima dan memaklumi kekurangan serta kelebihan si dia. Rasulullah bersabda, yang artinya, "Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci mukmin perempuan. Bila dia membencinya dari satu sisi, tapi akan menyayang dari sisi lain." (HR.Muslim)

Jadi, jangan hanya melihat kekurangannya saja, tapi juga perlu melihat kelebihannya. Ketika kekurangan sudah bisa diterima, kelebihan akan lebih bisa menimbulkan perasaan suka. Karena itu, jangan sampai sulit nikah karena dibikin sendiri.

4. Belum Mantap

Masalah satu ini juga bisa terjadi pada tiap orang pihak pemuda, pihak pemudi, baik yang sudah kerja atau yang belum, baik sudah lulus atau belum. Pertama kali, perlu diselidiki belum mantapnya itu karena apa, karena tak sedikit yang beralasan belum mantap, ketika ditelusuri larinya juga menuju ketiga masalah 'belum' di atas.

Namun ada juga yang belum mantap karena memang merasa persiapan dirinya kurang baik ilmu tentang pernikahan, keluarga, dan pernik-pernik di sekitarnya. Orang seperti ini malah tidak memusingkan masalah ketiga 'belum' di atas, karena memang dia merasa belum siap dan belum mampu.

Solusinya tidak lain adalah memantapkan dan mempersiapkan diri. Hal ini bisa ditempuh lewat menuntut ilmu tentang pernikahan, dan keluarga, baik dengan menghadiri pengajian, yang membahas masalah tersebut atau dengan membaca buku-buku mengenainya. Penting pula untuk menimba pengalaman kepada orang yang sudah menikah, karena kadang-kadang buku-buku dan ceramah ilmiah dan formal tidak membahas masalah praktis yang detail yang diperlukan agar siap menikah.

Thursday, February 28, 2008

MIGAS

Bermula dari Kisruh Bagi Hasil

Oleh Turyanto


KONTRAKTOR mana yang tak kepincut mengelola Blok Natuna D-Alpha. Lapangan gas yang ditaksir memiliki cadangan hingga 46,3 trillion cubic feet (TCF) dengan umur mencapai 20 tahun itu.

Meskipun diakui, mengebor gas Natuna bukanlah urusan gampang. Perlu ongkos tak sedikit. Malah terbilang mahal. Sebab, letaknya jauh hingga ke lepas pantai (offshore).

Tepatnya, 225 kilometer sebelah timur laut dari Pulau Natuna dan berada di kedalaman 145 meter. Sementara, Pulau Natuna terletak 600 kilometer Timur Laut Singapura dan 1.100 kilometer Utara Jakarta.

Selain itu, sekitar 71 persen dari cadangan hidrokarbon Natuna itu masih merupakan karbondioksida (CO2). Sebabnya, setiap kontaktor minyak dan gas (Migas) yang mengoperasikan blok tersebut wajib berteknologi mumpuni.

Hal inilah yang memicu biaya eksplorasi dan eksploitasi Blok Natuna bisa membengkak. Apalagi, harga gas saat itu tak seberapa menarik. Berada di bawah kisaran US$3 per kaki kubik.

Keekonomian Blok Natuna D—Alpha pun disebut-sebut begitu rendah. Biaya investasi tak sebanding dengan perolehan capaian ekonomi.

Meskipun jika dihitung-hitung dengan harga jual gas US$3 per kaki kubik saja, nilai ekonomi blok tersebut sudah cukup besar, yakni mencapai US$138 miliar dengan asumsi produksi 46 TCF.

Bermula dari alasan nilai keekonomian inilah, pengembangan Blok Natuna menjadi terbengkalai sampai kini. Walaupun potensinya telah ditemukan sejak 1973.

Pemerintah pun lantas seolah ’mengobral’ kepada investor dengan menawarkan bagi hasil 100 persen. Lalu, pemerintah memberikan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) kepada ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) pada 1985.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), Kardaya Warnika menjelaskan, memang sudah dari 1980-an Blok Natuna dikelola oleh perusahaan Esso yang kemudian berubah menjadi Exxon. Pada mulanya, pemerintah masih memeroleh bagi hasil dari pengelolaan Blok Natuna.

Tetapi sejak 1994, Esso dan PT Pertamina (Persero) mengubah kontrak dengan penguasaan sepenuhnya oleh Esso. Dalam kontrak tersebut, Esso yang kemudian berganti nama menjadi Exxon, menguasai 76 persen Blok Natuna. Sedangkan sisanya 24 persen menjadi milik Pertamina.

Namun, porsi bagi hasil kontrak ini dinilai sangat timpang karena Exxon kemudian mendapatkan 100 persen dari hasil eksploitasi gas Natuna, sedangkan pemerintah nol persen. Pemerintah pusat cuma kebagian pajak saja.

”Setelah itu ada suatu kontrak yang berjudul basic agreement. Antara Pertamina dengan Esso. Dalam basic agreement itu diaturlah pembagiannya. Pemerintah hanya dapat pajak,” tutur Kardaya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Tetapi, cukup disayangkan, setelah hampir 20 tahun berjalan, justru Exxon belum berbuat apa-apa terhadap Natuna. Eksplorasi blok inipun dibiarkan terkatung-katung begitu saja. Hingga sampai kini Natuna belum juga berproduksi.

”Setahu saya saat itu Exxon lebih kepincut mengeksploitasi sumur gasnya di kawasan Teluk, khususnya Qatar. Natuna lalu ditinggakan. Meski mereka sudah teken kontrak,” kata Wahyudin Munawir, anggota Komisi VII DPR kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, rupanya setelah melihat kecenderungan harga gas yang terus melambung di pasar dunia, Exxon kembali melirik Natuna. Kendati, lanjut dia, berdasarkan perjanjian awal yang dibuat pada 1985, kontrak Exxon otomotis terputus (terminated) pada 9 Januari 2005. Dan, setelah itu, Exxon wajib menyerahkan pengelolaan Natuna kepada pemerintah Indonesia.

Tapi, perusahaan migas asal negara Paman Sam itu, tetap ngotot mengelola blok tersebut. Dengan dalih Exxon telah memberikan surat pernyataan akan melanjutkan kontrak. Exxon bersikeras melanjutkan eksplorasi Natuna karena kontrak baru berakhir pada tahun 2009.

Akhirnya, karena adanya perubahan perjanjian dasar, maka pemerintah lantas memberikan perpanjangan hingga 2007 untuk negosiasi ulang.

”Mereka (Exxon) itu tak mau diputus kontraknya begitu saja oleh pemerintah. Dia merasa masih berhak melanjutkan kontrak itu sampai 2009,” tutur Wahyudin.

Memang, kini kondisi berbalik. Harga gas alam kian kinclong. Terdorong semakin tingginya permintaan pasar dunia. Bahkan, dalam tiga bulan terakhir ini harga gas global mencatat rekor baru.

New York Mercantile Exchange melaporkan, harga gas alam untuk pengiriman Maret 2008 menguat hingga 23 sen atau 2,8 persen ke posisi US$8,531 per million british thermal unit (mBtu). Bahkan, sejak penutupan 1 Februari lalu, harga gas alam telah menguat 10,3 persen di level US$7,74 dan 14,2 persen pada bulan berjalan 2008.

Situasi ini tentu membuat operator migas manapun tergiur mengelola Blok Natuna. Sebab, kendati kebutuhan investasinya besar, tetapi cadangan gasnya juga cukup menggiurkan. Dengan begitu, jika harga gas di pasar dunia kian melambung, maka nilai keekonomisan Blok Natuna kian mendulang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemerintah tetap mengambil posisi ingin memutus kontrak pengelolaan Blok Natuna D Alpha yang dipegang oleh ExxonMobil.

Kendati sampai kini proses negosiasi ulang kontrak antara pemerintah dan pihak Exxon terus berlanjut hingga menemui jalan buntu. ”Ada sekitar sembilan masalahan yang tak mencapai titik temu. Antara lain soal split (bagi hasil), pajak, cost (biaya) dan lainnya,” katanya.

Purnomo mengakui, dulu bagi hasil nol persen yang diberikan pemerintah merupakan strategi agar Blok Natuna dapat dikelola terlebih dahulu. Sebab, kandungan CO2 di blok itu cukup besar sehingga dibutuhkan teknologi tinggi.

Dia menjelaskan, langkah pemerintah memutus kontrak Exxon sebenarnya berdasar pada perjanjian yang ada. Hal ini karena Natuna dibiarkan mangkrak kurang lebih 10 tahun hingga 2004 dan tak ada tanda-tanda Exxon akan mengeskplorasi.

Menurut Purnomo, Exxon hanya menyampaikan selembar surat bahwa itu commercial paper. Karena itu, ketika BP Migas menolak surat Exxon, maka secara otomatis kontrak mereka berhenti tepat 1 Januari 2005.

Argumen pemerintah itu dinilai Purnomo cukup kuat mengingat berdasar basic aggrement 1985, comemercial paper bukan hanya selembar surat tapi harus diikuti dengan feasibility studies, dan suatu cashflow analysist.

Sementara itu, President Direktur ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI), Peter Coleman mengakui tak bisa menentukan kapan proses negosiasi Blok Natuna D Alpha dengan pemerintah selesai. Dia menuturkan, pihaknya telah membicarakan masalah ini dengan baik sejak 2007.

”Sampai kini negosiasi Natuna masih berlangsung dan berjalan dengan baik. Kami duduk bersama, berdiskusi, dan saling bertukar pikiran mencari jawaban yang terbaik bagi semuanya," katanya.

Juru Bicara ExxonMobil, Deva Rahman menambahkan, pengajuan surat kontrak oleh perusahaannya memungkinkan dilakukan karena karakteristik Blok Natuna tergolong unik jika ketimbang kawasan lain. ”Situasi ini membuat kami belum maksimal memproduksi gas Natuna. Bukan membiarkan atau karena tergiur oleh harga gas.”

Dia menuturkan, Blok Natuna 70 persen dari kandungannya terdiri dari CO2. Karena itu, untuk mengelola Blok tersebut diperlukan teknologi dan biaya tinggi. ”Isi kontrak Exxon selama ini tak curang. Pemerintah dan para pejabat telah

menyepakati skema itu,” ujarnya.

TAMBANG


Kisruh Batu Bara

oleh Turyanto


SEKRETARIS Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G. Ismy mengaku miris dengan nasib yang tengah dialami pihaknya belakangan ini. Belum saja sembuh derita industri tekstil akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tiga tahun silam, kini persoalan baru terkait pasokan bahan bakar kembali muncul.

Pemakaian batu bara yang semula digadang-gadang bisa menjadi alternatif murah dan mudah pengganti BBM, ternyata tak seindah janji di atas kertas. Terutama, sejak sejumlah industri tekstil mulai awal Januari lalu kian sulit mendapat pasokan komoditas itu di pasaran.

”Akibatnya dua perusahaan TPT berstatus PMA (perusahaan milik asing) kini sekarat. Satu perusahaan di Bandung juga lima hari ini kehabisan pasokan. Malah di Tangerang ada yang dua bulan tak mendapat batu bara dari Kalimantan,” katanya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Ernovian, krisis pasokan batu bara tersebut juga ikut mengancam kelangsungan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang bergerak di sektor pengolahan serat sintetis (viscose staple fibre). Tercatat, terdapat 50 pabrik skala besar di Jawa Tengah dan 140 pabrik TPT di Jawa Barat yang kini mengalami krisis pasokan batu bara.

Dia mengatakan, untuk satu pabrik tekstil berskala besar umumnya butuh 400 ribu ton batu bara per tahun. Ini digunakan sebagai sumber energi.

Selain itu, akibat gelombang tinggi di beberapa pantai Jawa Barat, termasuk di Pelabuhan Cirebon, pasokan batu bara ke kalangan industri juga semakin tersendat. Bahkan, kiriman bahan bakar itu ke industri TPT di sejumlah pabrik di Jawa Barat sudah berhenti total.

”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam 2–3 pekan ke depan produksi industri TPT di Jawa Barat bisa terhenti,” tuturnya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ade Sudrajat menambahkan, lebih mengkhawatirkan lagi jika industri TPT yang menggunakan batu bara itu berorientasi ekspor. Sebab, kalau sampai menghentikan produksinya maka bisa berakibat fatal bagi seluruh industri TPT di Jawa Barat. ”Semua akan kena imbasnya.”

Menurut Ade, di Bandung Raya saja kini terdapat 140 dari 450 industri TPT yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utamanya. Kebutuhan rata-rata 5.000 ton per hari. “Kalau harus beralih ke energi lain, produksi jadi tak efisien dan bisa merugi,” ujarnya.

Kisruh pasokan batu bara itu, ternyata tak hanya menimpa industri tekstil. Industri semen juga ikut kena getahnya. Bahkan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ikut-ikutan meminta pemerintah menerapkan kebijakan pasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk menjamin ketersediaan batu bara nasional.

PLN khawatir, pasokan komoditas itu tak lagi mencukupi kebutuhan nasional yang terus meningkat. Khususnya, setelah program pembangkit 10 ribu megawatt (MW) beroperasi pada 2009-2010. Apalagi, untuk memuluskan program nasional 10 ribu MW itu, perlu tambahan pasokan batu bara dalam negeri 50 juta ton per tahun. Kini kebutuhan domestik diperkirakan baru mencapai 50 juta ton per tahun.

Padahal, jika melihat hitung-hitungan pemerintah, mestinya kisruh batu bara di kalangan industri itu, tak perlu terjadi. Sebab, tak pernah ada masalah dengan produksi. Jadi, sekedar mencukupi kebutuhan domestik, angka produksi masih jauh di atas total permintaan seluruh industri nasional.

Namun, akibat tak adanya aturan wajib bagi produsen batu bara dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan lokal terlebih dahulu, membuat mereka lebih memburu permintaan pasar global ketimbang memasok pasar domestik. Apalagi, harga batu bara di pasar internasional memang tengah kinclong.

Berdasarkan data Ditjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara nasional tumbuh rata-rata 15 persen per tahun. Pada 2007 lalu, produksi batu bara nasional mencapai 215 juta ton, atau naik 11,39 persen dari 193 juta ton pada 2006.

Tetapi, kenaikan tersebut juga diikuti dengan melonjaknya ekspor batu bara ke sejumlah negara tujuan. Jika pada 2006 ekspor komoditas itu hanya 148 juta ton, maka pada 2007 naik menjadi 165 juta ton. Kontras dengan alokasi untuk kebutuhan domestik yang hanya 45 juta ton (2006) dan 49 juta ton (2007). Selama ini, Jepang, Korea, Taiwan merupakan negara tujuan ekspor terbesar, disusul China dan India.

Sementara, harga batu bara di pasar global juga melesat sampai ke level tertinggi, yakni US$92-US$94 per ton. Hal ini kian mendorong ekspor batu bara Indonesia secara besar-besaran.

”Karena itu, kami mendesak pemerintah menjamin 60 persen produksi batu bara untuk memenuhi kebutuhan domestik terlebih dahulu,” tegas Ernovian.

Menanggapi persoalan yang dihadapi industri tersebut, Direktur Pembinaan Usaha Mineral dan Batubara ESDM, MS Marpaung justru menuding rumitnya pasokan batu bara bermula dari ulah industri yang tak pernah jelas melaporkan kebutuhan riil mereka.

”Termasuk dari mana industri itu mendapatkannya dan berapa harga yang yang dibayarkan. Ini semua tak ada yang jelas,” tuturnya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, akibat ketidaktahuan kebutuhan batu bara secara riil untuk konsumsi domestik itu, pihaknya kesulitan menerapkan aturan DMO. Sebab, jika dipaksakan kinerja perusahaan batu bara juga bisa terganggu.

Penurunan pasokan batu bara yang dikeluhkan kalangan industri semen dan tekstil belakangan ini, yang kemudian memunculkan wacana penetapan regulasi DMO, kata Marpaung, disebabkan karena industri terkait tak pernah membuka angka kebutuhan batu baranya kepada pemerintah.

Dia mengatakan, selama ini memang ada beberapa industri yang terbiasa membeli dari penambang batu bara tanpa ijin (PETI) karena harganya murah. Namun, pasokan dari PETI ternyata tidak bisa berkelanjutan. Jadi ketika para penambang ilegal itu tak bisa lagi memasok, maka barulah industri menjerit.

Menurut dia, harusnya industri mengajukan kebutuhan batu bara setidaknya setiap bulan Agustus atau enam bulan sebelum perusahaan batu bara mengesahkan rencana produksi di awal tahun.

”Kalau tetap 30 juta ton, ternyata menjadi 40 juta ton bagaimana? Bahkan kalau kebutuhannya kurang dari 30 juta ton? Batu bara itu kan tak bisa disimpan lama karena bisa terbakar sendiri,” katanya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai, seretnya pasokan batu bara ke sektor industri karena maraknya aksi penyelundupan ke luar negeri. Hal itu diperparah dengan sikap beberapa pelaku industri yang memperoleh pasokan batu bara secara ilegal.

“Ada 10 juta sampai 12 juta ton batu bara ilegal berasal dari pemasok batu bara berskala kecil. Harganya memang lebih murah, tapi kontinuitas pasokannya tidak terjamin,” katanya ketika dihubungi Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Sofjan, ketidakjelasan pemetaan mengenai kebutuhan batu bara dan ketiadaan kontrak jangka panjang menyebabkan pasokan bagi industri di dalam negeri tidak pernah pasti. Kesulitan pasokan juga terjadi karena pengusaha batu bara lebih suka mengekspor ketimbang memasok industri di dalam negeri.

“Harus ada pemetaan yang jelas mengenai kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Harga jual batu bara di dalam negeri pastinya tak boleh lebih murah dibandingkan harga di luar,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Soedjoko Tirtosoekotjo menyatakan langkah terbaik yang harus diambil pemerintah saat ini adalah tetap membuat kewajiban DMO dan diikuti dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP). Sebab, tanpa PP kebijakan ini tak akan efektif.

Menurut dia, jika PP itu ikut diterbitkan, baik perusahaan yang memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) maupun kuasa pertambangan (KP) bakal wajib menerapkan DMO. Karena selama ini, hanya PKP2B saja yang terkena aturan harus memprioritaskan pasokan ke dalam negeri, sedangkan KP tidak.

”Kami usul DMO itu memakai rumus jumlah produksi perusahaan dibagi produksi nasional lalu dikali kebutuhan domestik,” ujarnya.

Soedjoko mengatakan, dengan DMO pula, penggunaan broker batu bara bisa terkurangi sehingga terjadi kesetaraan bagi semua produsen batubara di Indonesia. ”Kami akan senang menjual batu bara ke dalam negeri ketimbang ekspor kalau harganya sama.”

MIGAS



Audit Migas

Memburu Luapan Aliran Cost Recovery

oleh Turyanto

SELURUH kontraktor minyak dan gas (Migas) di dalam negeri tahun ini tampaknya dibuat tak bisa tidur dengan nyenyak. Sebab, tak lama lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menerjunkan tim guna mengaudit semua Kontraktor Production Sharing (KPS), terkait klaim penggantian biaya produksi (cost recovery) migas selama ini.

Jika tahun-tahun lalu, BPK cuma mengaudit 11 KPS, maka pada 2008 ini lembaga itu bakal memeriksa seluruh kontraktor migas di Indonesia. Kini, jumlah kontraktor itu mencapai 46—47 perusahaan.

Langkah BPK tersebut, tentu terbilang maju. Maklumlah, selama ini transparasi pengelolaan keuangan di sektor energi tergolong sulit dilakukan. Apalagi, terkait cost recovery. Biaya kegiatan perminyakan yang menjadi tanggungan pemerintah itu, setiap tahun selalu menjadi isu santer. Penyababnya, apalagi kalau bukan soal urusan klaim duit yang dinilai janggal.

Bayangkan saja, dengan produksi minyak nasional yang kian turun di bawah satu juta barel per hari saat ini, tetapi mengapa cost recovery yang harus dibayar pemerintah semakin membangkak tiap tahunnya? Malah bisa disebut makin menggila.

Tak percaya? Lihat saja data yang dipunyai Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Jika pada 2004, untuk memproduksi minyak sebesar 1,96 juta barel per hari pemerintah cukup merogoh kocek US$4,99 miliar, tetapi pada 2007 nilai cost recovery yang harus dikeluarkan nyaris menyentuh US$9 miliar.

Padahal, produksi minyak tahun lalu turun hingga di bawah 1 juta barel per hari. Itu artinya, biaya produksi minyak di Indonesia pada 2007 cukup mahal. Yaitu, rata-rata US$14,8 per barel. Kontras dengan negara lain yang hanya US$6 per barel.

Tentu saja, secara hitung-hitungan sederhana lonjakan itu tak masuk akal. Pemerintah seperti kecolongan. Sebab, beban yang ditanggung kian menggelembung. Tetapi, produksi minyak nasional malah melempem.

”Kami (BPK) banyak menemukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan KPS dalam biaya cost recovery. Karena itu, semua KPS akan diaudit,” tutur Auditor BPK, Arief Handoko.

Menurut dia, alasan BPK hendak mengaudit seluruh KPS pada tahun ini sudah sangat jelas. BPK, ingin membantu pemerintah agar mendapatkan hasil optimal dari setiap kontrak karya di sektor energi dan pertambangan. Jadi, jangan sampai terdapat akal-akalan dalam sistem perhitungan cost recovery oleh KPS.

”Kalau semua dihitung dalam cost recovery, ya pemerintah dapat apa. Karena itu, kami akan audit seluruhnya. Biar KPS yang ada ini juga bisa transparan.”

Arif menuturkan, selama ini aturan klaim cost recovery kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi tak pernah jelas. Akibatnya, klaim cost recovery menjadi tak terkontrol.

Karena ada aturan yang sumir tersebut, akhirnya kontraktor pun mengaitkan kegiatan yang terkadang tak ada kaitannya dengan produksi, seperti membangun image perusahaan. ”Tapi, setiap kami temukan masalah, selalu saja ada bantahan dari mereka,” kata dia.

Selain itu, ujar dia, klaim restitusi pajak dalam komponen cost recovery selama ini juga merupakan komponen yang paling mencurigakan.

Berdasarkan temuan BPK, ongkos terbesar yang dibebankan kepada cost recovery adalah beban bunga recovery atau interest recovery serta klaim restitusi yang dalam kontrak migas yang lebih lazim disebut reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Interest recovery adalah bunga yang harus ditanggung pemerintah karena KPS telah mengeluarkan uang untuk investasi. Investasi dari KPS itu dianggap sebagai kredit sehingga pemerintah harus menanggung bunganya.

Sementara untuk PPN, semua KPS memang hanya terkena dua pajak, yakni pajak penghasilan perusahaan dan pajak atas bunga, dividen, maupun royalti. Di luar ketiga pos itu, kontraktor bebas dari pajak termasuk PPN. Hanya saja, dalam pelaksanaannya KPS harus membayar PPN terlebih dulu kepada para pemasok barang dan jasa yang mereka beli atau sewa.

Sebagai gantinya, KPS akan meminta pengembalian PPN tadi kepada pemerintah. Bedanya dengan restitusi pajak biasa, reimbursment ini berupa minyak mentah. Verifikasi terhadap reimbursement PPN KPS itu cukup dilakukan BP Migas.

Sedangkan aparat pajak harus rela menerima pembayaran PPN sesuai dengan pengakuan pemasok. ”Karena itu, kami curiga pada pos ini banyak terjadi penggelembungan PPN oleh KPS. Karena itu BPK akan berupaya masuk ke situ," kata Arief.

Selain itu, aparat pajak juga kesulitan mengecek kesahihan angka-angkanya. Soalnya, pembayaran reimbursement KPS berasal dari rekening pemerintah khusus yang menampung penerimaan migas, sedangkan pembayaran PPN oleh pemasok tertuju kepada rekening khusus penerimaan pajak. ”Ini rumit.”

Sebelumnya, Ketua BPK, Anwar Nasution mengatakan, selama ini transparasi sektor migas memang banyak menjadi pertanyaan berbagai pihak. Apalagi, ujar dia, dari hasil pemeriksaan BPK ditemukan laporan keuangan BP Migas memiliki status advers.

Karena itu, dia meminta BP migas segera memperbaiki laporannya dengan menggunakan standar akuntansi yang memadai. ”BP Migas itu kan terima duit dalam dolar AS (Amerika Serikat), jadi mereka bisa sewa konsultan dan akuntan yang terbaik di muka bumi. Dia terima duit banyak, kenapa mereka tidak melakukan?” ujar Anwar.

Menanggapi hal ini, President Director Star Energy, Supramu Santosa justru mempertanyakan parameter apa yang dipakai, sehingga ada penilaian cost recovery naik. Dia berpendapat, meskipun cost recovery naik, tetapi toh pendapatan negara dari migas tahun ini ikut naik menjadi US$24,6 miliar.

“Ini kan artinya sama besarnya. Kalau pengeluaran naik, pendapatan ikut naik. Kecuali, jika pendapatan pemerintah di sektor migas turun. Itu baru patut dipertanyakan,” katanya.

Menurut Supramu, penyebab mengapa cost recover naik meski produksi minyak menurun adalah karena saat ini harga minyak sedang mencapai posisi yang tinggi. Jadi, memicu kegiatan eksplorasi bahkan di lapangan-lapangan marjinal.

Dampaknya, dibutuhkan biaya untuk pengadaan barang dan jasa seperti harga besi dan baja yang juga naik sampai 50 persen beberapa tahun ini.

"Ongkos perusahaan jadi naik, dan men-trigger cost recovery," katanya.

Selain itu, saat ini masih banyak dibuka lapangan-lapangan baru yang membutuhkan investasi. Padahal, produksi belum mencapai tingkat yang diinginkan. Ditambah lagi, pengadaan rig dengan sistem tunjuk langsung karena mendesak sehingga biayanya menjadi lebih mahal.

Direktur Utama Medco Energi Internasional, Hilmi Panigoro menambahkan, selama ini cost recovery merupakan salah satu faktor penarik investor untuk melakukan eksplorasi di Indonesia.

Dia menyatakan cost recovery perusahaan yang dikelolanya tak pernah lebih dari 35 persen. "Efisiensi sudah kami lakukan."

Menurut dia, pihaknya tak mempersoalkan semua keinginan pemerintah menghitung ulang cost recovery. Kontraktor, ujar dia, tak pernah menyembunyikan setiap pengeluaran yang ada.

Dia menuturkan, cost recovery merupakan isu tahunan yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang baru yang tidak mengerti persoalan. ”Kami siap-siap saja diaudit.”

Thursday, January 24, 2008

Kusak-kusuk

Ancem-Anceman

SETIAP baca koran, lihat TV, dan dengerin radio, aku ini gelisah minta ampun. Takut. Serba deg-degan. Was-was, serem dan jadi malas ngapa-ngapain. Tak tau kenapa, tapi perasaan yang ku alami itu, ternyata sama dengan temanku di Malang.

Dia itu masih mahasiswa. Yah, baru semester-semester awal. Dia ingin banget datang ke Jakarta mengunjungi saudaranya. Selain itu juga mungkin mau mengisi libur semester tahun ini.

Semalam dia sms begini, "Mas aku takut ke Jakarta. Apalagi sendirian. Kan serem. Aku pernah di jambret dan digodain di jalan. Terus sekarang ada berita mutilasi. Mobil terjun dari gedung. Wah, pokoknya
gak berani. Milih di rumah ae."

Baca sms ini aku tentu sedikit geli. Lah, itu kan cuma berita yang dibuat besar di koran dan seluruh stasiun TV. Diramaikan biar semarak. Makanya, aku jawab sms itu dengan kata-kata ngademin. Memberi kepercayaan, keyakinan, bahwa tak akan terjadi apa-apa di jalan. Toh, kalau pun nasib apes harus menimpa, semuanya adalah takdir. Bukan kehendak kita. Tapi, ya itu, sms adem jawabanku gak ngefek. Dia tetap takut dan keburu ilfil. Jadi, tak mau datang ke Jakarta sekarang.

Soal ketakutan-ketakutan ini, Gombal dan Gombel, tokoh idolaku waktu di kampus, pernah sampai marah-marahan gara-gara nonton sepak bola antara Persija dan Persik Kendiri. Padahal, mereka itu cuma nonton di TV.

Gombel, saat itu tidak terima dengan gol yang dibuat Gonzales ke gawang Khamaruk. Dia langsung mencak-mencak. Maklum, Gombel itu anggota Jack Mania yang kebetulan gak keangkut ke stadion langsung. Tapi, anehnya, si Gombal malah tak satu kubu dengan si Gombel. Hati Gombal saat itu untuk Persik.

"Itu tidak sah! Pelanggaran. Tonjok!"
"Mana? Sah begitu kok!"
"Jangan
ngeyel Mbal! Lihat tayangan ulang itu. Gonzales dorong Herman Abanda."
"Ah, itu biasa kontak fisik! Apalagi di Liga Indonesia"
"Biasa dari mana? Harus
fair play dong?"
"Saya bilang, biasa itu kontak fisik!"
"Maksud
lo?"
"
Ya, kalau tak ada kontak fisik, mana mungkin ada orang ngeyel di dunia ini kayak Gombel."
"
Gue gak ngerti! Maksud lo apaan sih?"
"
Ya, kalau tak ada kontak fisik, mana mungkin ada dana ini...itu, bisa cair! Mana ada kata anggota dewan, Presiden, Gubernur, Bupati sampai lurah!"
"Tambah bingung
gue!"
"
Ya, kalau tak ada kontak fisik Mbal, jangan harap ada dunia! Makanya saya bilang itu biasa!"
"
Ups, tunggu dulu, kenapa bisa sampai ada kontak fisik?"
"Dasar otak
lo jongkok! Ya, jelas karena ada yang direbutin. Terus ada yang mengadu. Diadu."
"Apa yang diadu? Direbutin? Terus siapa yang mengadu?"
"Pikir saja sendiri!"

Mendengar percakapan Gombal dan Gombel itu, saya benar-benar dibuat terpingkal-pingkal. Terang saja, si Gombal dengan pikiran dalam harus ngomong dengan si Gombel yang cetek itu. Jadi mana nyambung!

Eittt, tapi tunggu dulu! Saya jadi tertarik dengan omongan si Gombal soal kontak fisik, perebutan, adu, dan mengadu itu.

Memang bener kok, di republik ini tentang adu mengadu, perebutan, dan kontak fisik itu lagi ngetrend. Lho, kenapa bisa?
Ya, terang saja, soalnya untuk bisa memeroleh jabatan, seseorang itu memang harus siap diadu dan mengadu.

Kesiapan diadu, itu umumnya harus dimiliki oleh si pendatang baru. Sedangkan, keharusan mengadu itu umumnya ditunjukan oleh si penguasa lama. Kenapa tidak mengadu,
wong kalau nyalon lagi selalu saja bilang, "Ya kemarin itu gagal karena banyak hambatan teknis. Makanya, saat ini saya siap memperbaiki." "Kalau kemarin saya menjabat masih gagal, itu disebabkan birokrasi yang rumit. Nanti, kalau terpilih lagi semua akan saya pangkas!"

Sedangkan, yang suka diadu selalu saja berperilaku aneh! Jelas-jelas dia belum pernah menjabat jadi Presiden, Gubernur, atau Bupati, tapi dengan percaya dirinya dia bilang, "Nanti kalau saya menjabat, pendidikan geratis! Kesahatan bagi rakyat miskin gratis!" Lalu dengan lantang, dia juga menebar kritik, "Pemerintahan lalu itu bobrok! Penuh korupsi! Menyengsarakan rakyat! Apakah bapak ibu terus mau begini? Dibohongi? Terus menderita? Makanya pilih nomor ini dan ono!"

Nah, ini dia masalahnya. Saling ribut dan berebut. Adu mulut! Dan yang membuat saya kesel, koran, TV, serta radio menangkap hal ini. Ikut-ikutan latah. Demi dapur iklan, pemasaran. Tanpa mikirin nasib diriku ini yang jadi belebek. Serba takut. Was-was dan pusing tujuh keliling.

Mereka terkekeh setiap pagi menampilkan, orang saling beradu. Saling tuding. Tebar pesona. Kusak-kusuk. Saling usil. Akhirnya semua saling ancam-ancaman. Selalu saja ngomong, jika tak dituruti, saya mau begini....Kalau tidak mau ikuti aturan, kami laporkan ke polisi! Bila tidak....dan tidak....
ah tidak!

Karena itu, jangan salahkan penonton yang emosional itu, akhirnya dibuat beratmosfir tinggi. Ikut gerah. Jadi panas...panas! Padahal, cuma denger kata-kata "jika" "bila" "kalau" dan "maka" itu. Dan, kontak fisik terjadi. Sampai semua dibuat menjadi d
udududududu....duh! Duh! Aduuuuuuuuuhhhhhhhhh!

Karena itu, saya gak mau jadi pusing mikirin soal ini. Bagaimana
ya, kalau saya saja yang diadu sama Bunga Citra Lestari, Nirana Zubir, atau si Tamara. Gak papa deh, bila saya dibuat berbusa-busa ngomong pakai kata "jika" "bila" "kalau" dan "maka" setiap pagi. Toh akhirnya, yang terjadi juga kontak fisik.....hahahahahahahaha! Dudududu..duh! Malah mikir jorok!

Saturday, January 19, 2008

Kasak-kusuk

Ngebos

DARI kemarin, saya ini benar-benar dibuat sebel. Pokoknya, mangkel...mangkel...dan mangkel. Kenapa? Karena saya ini yang nyata-nyata gak bisa diem harus dipaksa mingkem liat ini dan itu yang serba gak sreg. Makanya, ada sesuatu yang gondok di leher. Bedegel! Bikin sesek saat bernafas. Saya, sekarang dibuat kembang-kempis.

Soal betapa bedegelnya saya itu, pasti tak lepas dari ribetnya persoalan kantor. Walau sadar cuma berpangkat kopral, tapi kok saya ini merasa tak dipedulikan. Gak punya suara. Dicuekin. Mesti nurut. Terima bersih dan pokoke ya harus begini! Gak usah bantah. Harus tepat dead line. Atau...kalau saya iseng males-malesan yang terjadi ada orang grapak-grupuk sambil cembetut.

Huhu, memang punya anak buah itu enak. Dulu, di kampus, saya ini selalu hidup di antara anak buah. Butuh, ini itu, gampang ada yang bisa dimintain tolong. Terus, kalau mukanya ditekuk sedikit, ada yang respons dan tanya, "Ada apa kak?" Sampai-sampai waktu potong rambut atau pakai baju yang nyeleneh dan gak mathcing warnanya semua pada komentar. Ribut, pengennya saya ini cepat-cepat ganti model rambut atau baju. Sampai pernah tak pelontosin saja sekalian.

Saya juga inget betul, kalau lagi sakit, semua ingin memberi perhatian. Kasih obat, vitamin, suplemen, dan malah sampai-sampai ada yang nungguin di kosan. Lalu, karena saya ini suka begadang nyelesain kerjaan di kampus, hampir setiap pagi ada seporsi nasi goreng dan susu khusus buat kak Tur. Di loker milik saya pun dibuat penuh oleh makanan-makanan ringan. Entah siapa pengirimnya, tapi yang jelas mereka itu adalah orang yang perhatian ke saya. Rasaya jadi selebritis deh!

Dari pengalaman sederhana itu, saya mafhum dan paham betul, bila jadi bos itu memang mak nyus! Enak pisan euy!!! Makanya, ada orang-orang yang tak mau melepas statusnya jadi bos. Kalaupun nasib dia, akhirnya terpaksa jadi kopral, ya tetap saja kelakuannya ngebos! Petentang-petenteng, menteng kelek, dan gak nyadar dia itu siapa!

Nah, karena itulah, saya bener-bener gak mau jadi tipe orang yang ngebos itu. Sudah terlanjur keenakan dilayani. Diperhatikan. Serba wah. Jadi pusat omongan. Kemana pun dia bergerak, di situ mata akan memandang. Orang yang suka ngebos ini, kalau jadi kopral juga suka cari perhatiaan. Kusak-kusuk sana-sini. Gangguin yang lain. Orang kalem dibuat berangasan. Yah, biar ia tetap dipandang. Begitu pikirannya, meski pun tetap rusuh!

Saya juga sadar kok! Kalau saat ini masih tetep saja jadi kopral. Makanya, saya usahakan rajin bekerja dan serbat tepat. Walau, kadang-kadang molor dikit. Tapi, gara-gara kesadaran itu, kenapa ya sekarang saya merasa terinjak-injak? Gak punya hak membela diri. Harus serba nurut! Susah untuk usul, berpendapat. Memang kita bekerja dalam kebisuan? Dan yang paling membuat gelisah, lama-lama saya ini kok gak nyaman bekerja. Seperti diteror! Kikuk!

Duh, kalau sudah begini, tak tahulah bagaimana! Apakah saya harus mulai menghitung hari untuk menentukan berapa lama lagi bisa bertahan di news room seperti ini?

Wednesday, January 16, 2008

Luapan

Gombal

DALAM perjalanan hidupku sampai saat ini, aku telah dua kali dibilang "gombal!" Entah apa alasan orang itu, tapi yang jelas saat itu aku langsung tak terima di ngatain begitu. Lha wong, di mana-mana aku ini suka serius kok, masa sih ada-ada saja yang masih tega ngatain ngegombal.

Soal janji, pasti aku selalu tepati. Minta ini dan itu, juga aku kasih. Terus mau ini dan ono aku juga aku usahakan. Yah, saat ini aku tengah berusaha bertanggungjawablah atas semua tindakan yang telah ku pilih. Karena aku ingin menjadi orang dewasa. Ya...itu, orang yang sadar akan pilihan dan ucapannya sehingga dia mau bertanggungjawab dengan tindakan. Makanya wajar-wajar saja kan? Bila aku merasa dienyek! Dihina! Dan disakiti waktu dikatain, "Alah...kamu pagi-pagi kok sudah gombal!"

Tentang dua orang yang bilang aku gombal itu, pastinya dia adalah cewek. Yup! Wanita yang tak percaya dengan omonganku. Lantas, apa omonganku itu? Huhuhuhu...rayuankah? Apakah dia ragu? Berlebihankah? Padahal aku juga pasti ngomong begini kok, "Maaf bila berlebihan". Jadi, mengapa cewek itu masih tega ngatain diriku ini dengan kata gombal?

O ya, aku jadi ingat kata-kata gombal seorang cewek yang sedang didekati cowok di sebuah halte. Waktu itu si cowok itu ngomong begini:

"Mba, boleh kenalan? Aku Joni,"
"Boleh saja mas, aku Sisi."
"Mba, kok sendiri saja? Gak ada yang nemenin nih?"
"Iya sendiri!"
"Boleh ditemenin? Gak ada yang marahkan?"
"Boleh saja!"
"Makasih mba. Orang kayak mba ini kasihan jalan sendiri. Takut diapa-apain.
Soalnya manis sih!"
"Halah gombal! Biasa saja kali...."

Mendengar kata-kata cewek itu, aku langsung ngakak. Duh, kasihan banget tuh cowok. Tapi, pertanyaannya, berlebihankah kata-kata cowok itu? Kayaknya biasa saja deh. Maksud dia mungkin juga bagus. Memuji si cewek dan membuat dia tersanjung. Namun, masalahnya, apakah cewek itu terima dengan sanjungan itu? Pujian itu? Semua omong kosong itu?

***

BICARA soal gombal, saya jadi ingat kata-kata yang sering dikatakan ibu. Dia adalah orang Jawa tulen. Setiap habis mencuci baju, dia dulu pasti nyuruh saya, "Le...angkatin gombalane!" Gombal menurut arti Ibuku adalah baju. Barang ini punya manfaat penting. Harus dijaga. Dirawat. Dibersihkan. Baik itu gombal anyar (baru) atau bodol (lama). Pokoke, gombalane!

Tapi ada pula, Bapakku yang juga suka ngomel-ngomel saat bener-bener kecewa dengan perkataan," Dasar gombal mokio amoh!" Nah, gombal dalam arti bapakku ini adalah kain bodol yang tak terpakai lagi dan teramat menjijikan. Mungkin bentuknya sudah compang-camping, lebih hina dari kain srebet sekalipun. Sudah bau, tak manfaat lagi. Ngotor-ngotorin saja. Yah, seperti sampah begitu.

Nah, soal perkataan gombal dari si cewek itu, mungkin sama artinya dengan difinisi si Bapak. Bukan dari Ibu. Yang jelas, cewek itu pasti kesal dan merasa dikibuli. Atau, takut akan dikibuli makanya buru-buru mengeluarkan jurus gombal andalannya.

Namun, coba ditelusuri mengapa orang suka mengatakan gombal? Dan, mengapa pula ada orang yang sehari-harinya dikatain gombal terus? Ini dia yang menarik.

Bagi orang yang suka mengatakan gombal, tentu tak lepas karena dia sering digombalin. Terlalu sering dikibulin sehingga jadi kebal dan muak dengan kata-kata berbau gombal. Sementara, untuk orang yang suka dikatain gombal, mungkin karena dia terlalu terbiasa mengatakan hal-hal berbau kibal-kibul, gombal-gambel sama siapapun. Terutama lawan jenis.

Tetapi, baik yang ngatain dan dikatain itu ada sebuah persamaan, keduanya sama-sama hidup dalam dunia gombal! Sama seperti perjabat yang suka ngegombal. Jual-jual kecap manis. Janji sana-sini. Jilat-jilatan sampe klimis. Sehingga jadi bodol dan akhirnya seperti gombal milik ibu yang tak pernah diangkat dari jemuran. Kena panas dan hujan. Makanya jadi gombal mokio amoooooohhh!!! Hahahaha....Mabok deh! Digombalin terus!

Beruntung aku kini sadar dan tak mau lagi-lagi hidup dan deket-deket sama dunia gombal. Baik itu dengan tukang si penggombal atau yang suka ngatain aku ini gombal. Dan, bagi dua cewek itu, sungguh kalian merugi telah mengatakan aku gombal! Hihihihi....

BOLA



Bicara Bola

Untuk kali ini aku ingin ngomongin soal bola. Ya, si kulit bundar itu. Tapi, aku tak mau ngrasanin si Drogba, Kaka, Ronaldinho, Raul, atau si Maman, Hendro Kartiko, Bambang Pamungkas, dan si Bendol yang baru saja kepilih jadi pelatih tim nasional senior.

Kebetulan ini blog-ku, dan aku pengin aktif ngeblog lagi, jadi aku bener-bener mau ngomongin soal diriku saja. Yah, si Turyanto sorangan yang kini lagi mutar-muter kayak bola. Bolak-balik kayak setrikaan, dan guling-guling kayak kuda lumping.

Lho, mengapa bisa jadi begitu? Gak taulah! Soalnya pikiranku lagi melayang-layang. Terbang. Muter. Guling. Hmmmm....coba ada punting beliung. Pasti aku bisa menikmatinya tanpa susah-susah mirip-miripin bola, setrikaan, dan kuda lumping.

Tapi, betul! Aku lagi merasa seperti bola. Ditendang. Dioper. Digiring. Dikocek. Ditangkep. Dibuang. Dan, wuuuuusssssss!!!Wusssss!!! Grepaaaakkkkk! Natap tembok, besi gawang, dan jaring yang bikin puyeng nglinding-glinding!

Halah! Bukannya gara-gara bola itu orang jadi ribut. Tawuran. Nesu. Gulet. Adu pukul. Saling tendang. Tepuk-tepuk. Sorak-sorak dan jerit-jerit! Ups! Ada lagi, inget lho...gara-gara bola juga, ada yang meringis mata duitan.

Ya, pokoke itu yang sedang aku alami. Seperti itulah! Aku sedang jadi bola. Glinding terus!!!!!