Monday, October 01, 2007

Lombok

Pesona Kuta

KUTA Lombok tak sekedar pantai yang elok. Di balik bersih butiran lembut pasirnya itu, ikut diceritakan bagaimana suku aseli di daerah itu secara turun temurun mencari peruntungan hidup.

SEPOI angin Kuta bertiup. Berdesir. Mengantarkan riak pecah ombak di tepi pantai sana kepada butiran pasir putih dan serak daun-daun niur.

Pyakkkk...pyakkk...srakkk!” Air laut Kuta menghampiriku. Lalu, menyapu bersih setiap butiran pasir nan lembut yang dari tadi menempel di jari kaki. Dia seolah ingin menyapa. Berbisik dan bercerita: betapa indahnya diriku! Lihatlah ini! Mukaku yang tampak begitu asri dan berseri.

Aku terpejam. Merebah. Ditemani percik air laut pantai Kuta yang kadang timbul tenggelam. Hening. Tentram dan damai. Hmmm...alam Kuta kini benar-benar berhasil membiusku. Kagum.

Meski akhirnya, aku harus menyerah pada kantuk yang tak tertahan. Maklumlah, perutku sedang kosong. Karena hari ini, terhitung pertama kali aku berpuasa di bulan Ramadan tahun ini.

Namun, tiba-tiba aku terjaga. Terkejut. Saat dua bocah perempuan kecil ditemani seorang ibu paruh baya duduk di sampingku. Kulit mereka umumnya legam. Tebungkus kain kusam. Rambutnya pun memerah. Tak terawat. Kering karena setiap hari terbakar terik matahari pantai Kuta. ”Apa mereka ini pengemis?” batinku.

Mereka lalu menatap. Tajam. Dan, kian mendekat. Lantas, salah satu dari bocah perempuan itu berkata, ”Mas, beli pasir ini? Tak jual murah. Rp2.000 saja. Untuk tambahan biaya sekolah.”

Saya terkekeh mendengar tawaran itu. Anak tadi menawariku pasir yang dimasukkan ke tiga botol air mineral berukuran 600 mililiter. Huh! Ada-ada saja, pasir kok dijual!

”Untuk apa pasir itu?” tanyaku. ”Buat oleh-oleh mas. Di dalamnya sudah diisi cacing,” jawabnya singkat. ”Ha? Cacing? Jijik ah!” ”Iya mas cacing. Nanti kan bisa diletakkan di pot bunga. Bisa bawa berkah lo?”

Aku pun melirik ke arah sosok ibu paruh baya di samping kanan anak itu, Menelisik, seolah memberi isyarat kepada dia agar ikut bicara.

Tentu, wajar jika aku akhirnya penasaran juga dengan ucapan bocah tadi. Lho, ada apa dengan pasir Kuta? Apa bedanya dengan pasir-pasir di pantai lainnya? Kok sampai dijual-jual seperti barang antik! Lantas, cacing itu?

Perlahan kantuk yang ku rasakan mulai hilang. Keningku berkerut. Berpikir. Ingin mengetahui soal pasir dan cacing-cacing Pantai Kuta, Lombok itu.

Lalu, aku pun mengenalkan diri kepada mereka. Dua orang bocah itu menyebutkan namanya, Lainum dan Laika. Mereka baru berumur 12 dan 10 tahun. Hari itu, mereka libur sekolah. Datang ke pantai untuk mencari tambahan pendapatan dengan berjualan alakadarnya. Ada kalung dan gelang khas Lombok, atau botol-botol pasir seperti tadi.

Sedangkan ibu paruh baya itu bernama Lumi. Dia memiliki empat orang anak yang masih bersekolah semuanya. Malahan, putra yang paling besar kini tengah kuliah di Universitas Mataram, Lombok.

Pantai Kuta, sudah 20 tahun ini menjadi ladang penghasilan bagi Lumi. Dia berjualan kain khas daerah setempat pada para pengunjung. Baik itu wisatawan manca negara atau domestik. Jika musim libur datang, Lumi dapat untung hingga Rp300 ribu per hari. Namun, bila sedang sepi, bisa saja dia tidak mendapatkan uang sama sekali.

Baik Lainum, Laika, dan Lumi adalah penduduk kampung tradisional suku Sasak di Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Mereka membutuhkan ongkos Rp6.000 untuk bisa sampai ke Kuta.

”Mas, ayo beli. Buat bantu sekolah. Ini kalau sama turis saya jual mahal. Untuk mas murah saja, Rp2.ooo,” rayu Laika tak menyerah.

Aku hanya tersenyum. Diam tak menanggapi. Lalu, dengan sedikit bercada aku pun menjawab, ”Eh, sekarang tak boleh jualan pasir lagi. Dilarang. Lihat tuh papan pengumuman di depan. Dilarang jualan pasir Kuta. Entar ditangkap polisi lho...!”

Laika dan Lainum saling tatap mendengar ucapanku tadi. Mereka terdiam. Perlahan keduanya, bergegas pergi meninggalkanku. Tiga botol pasir itu pun terlupa mereka bawa. Entah sengaja atau tidak.

Setelah Laika dan Lainum pergi, aku pun mulai berbicara dengan Lumi. Jujur, aku ingin tahu banyak soal makna pasir dan cacing-cacing Kuta tersebut. Namun sayang, Lumi tak banyak tahu.

Dia hanya menyarankan agar saya menemui Agus, seorang warga Sasak di Sade untuk menjelaskan itu semua. ”Kebetulan orangnya masih di sini mas. Itu yang jualan kaos,” tuturnya sambil menunjuk pria gempal berkaos kuning dan topi hitam. Aku pun menghampiri Agus. Lantas, kami mulai bicara sana-sini.

Soal pasir dan cacing itu, Agus mengisahkan tentang sosok Putri Mandalika yang saat itu merasa putus asa. Ia tidak ingin menikah dengan salah seorang pangeran yang melamarnya. Ia berusaha menghindar dari kejaran si pangeran itu hingga tiba di pinggir laut.

Tanpa berpikir panjang, akhirnya ia menceburkan diri ke laut. Tak lama setelah tenggelam ditelan ombak, tiba-tiba dari sela-sela batu karang muncullah cacing-cacing yang beraneka warna.

Cerita rakyat itu, akhirnya menjadi awal mula timbulnya tradisi bau nyale di pesisir Pulau Lombok. Tradisi warisan dari suku Sasak, suku asli Lombok, ini sudah ada sebelum abad ke-16. Masyarakat setempat berbondong-bondong menangkap binatang tersebut karena diyakini dapat memberikan berkah.

Sampai sekarang tradisi ini masih dipertahankan oleh penduduk setempat, terutama di Pantai Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Menjelang berakhirnya bulan Februari, warga berkumpul di sepanjang pesisir selatan untuk menangkap cacing.

Annelida laut yang sering juga disebut cacing palolo (Eunice fucata) ini, termasuk jenis yang dapat dikonsumsi. Banyaknya cacing yang dapat ditangkap menunjukkan tingkat keberhasilan panen yang akan didapat oleh petani.

Hewan ini dipercaya masyarakat setempat sebagai pembawa kesejahteraan dan keselamatan, khususnya untuk kesuburan pertanian agar membawa panen yang memuaskan. Pantai Kuta, ternyata juga merupakan tempat peruntungan nasib bagi petani Lombok.

Matahari kian bergeser ke tengah. Duh, sudah pukul 14.00 WIT. Tak terasa hampir lima jam aku di sini. Tapi, keindahan Pantai Kuta, Lombok benar-benar tak mengecewakan. Perjalananku yang cukup jauh terbayar sudah ketika melihat keindahan alam yang masih asli ini.

Dari kejauhan, aku menatap beberapa pengguna jetski dan windsurfer yang berasal dari hotel Novotel Coralia Lombok yang berada sekitar 1 - 1,5 kilometer dari Pantai Kuta.

Yah, Kuta memang dikenal sebagai ajang untuk bermain jetski. Aku lantas bangkit. Bergeser dan meninggalkan Kuta. Di perjalanan, aku berbisik, ”Kuta memang memesona.”
(turyanto)