Friday, June 29, 2007



Ketika Susu Boyolali Tak Lagi Segar

DAERAH ini tak banyak berubah. Masih seperti dulu. Di sana-sini, patung sapi tampak kokoh berdiri di setiap sudut kota. Patung-patung itu pun berjejer teratur. Mulai dari yang di tengah pertigaan jalan hingga sejumlah kantor atau di beberapa rumah-rumah penduduk setempat.

Ukurannya beragam. Besar dan kecil. Namun, kendati begitu, ada satu kesamaan: patung-patung itu dicat hitam putih. Dan, patung-patung sapi itu bisa disebut sebagai simbol daerah ini. Sepintas menegaskan bahwa di dalamnya terdapat usaha peternakan yang begitu berkembang, sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi bagi penghuninya.

Boyolali, begitulah ia disebut. Diakui, debutan sebagai salah satu sentral peternakan di Jawa Tengah tak bisa dipisahkan dari identitas daerah ini. Terutama usaha tani sapi perah. Boyolali pun terkenal dengan julukan sebagai kota susu.

Sebab, iklim yang sejuk karena topografi wilayah yang terletak di ketinggian 200-1500 meter di atas permukaan laut (dpl), sangat mendukung keberadaan peternakan sapi perah di daerah ini. Budidaya sapi perah di Boyolali tersebar di enam kecamatan di antaranya Cepogo, Boyolali, Mojosongo, Musuk, Selo dan Ampel.

Total produksi susu yang dihasilkan peternak sapi perah di enam kecamatan tersebut mencapai 31.177.928 liter dengan rata-rata per hari sebesar 75 ribu liter sampai 80 ribu liter. Angka itu merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Dengan populasi sapi perah mencapai 58.792 Ekor.

Selama ini, susu asal Boyolali menopang kebutuhan industri pengolahan susu (IPS) yang berada di Jawa Tengah, Yogyakarta maupun Jakarta. Susu Boyolali juga memenuhi kebutuhan susu segar di wilayah sekitar kabupaten itu sendiri, seperti Solo, Klaten, dan Semarang.

Namun sayang, produksi susu yang berlimpah tersebut tidak didukung oleh industri pengolahan susu. Proses pemasaran produksi susu dari peternak selama ini ditangani oleh Koperasi Unit Desa (KUD) di masing-masing kecamatan.


Setelah itu, disetorkan ke Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Selanjutnya dari GKSI, dipasarkan ke industri pengolah susu di luar Jateng, seperti PT Sari Husada di Yogyakarta, PT Nestle di Jawa Timur, dan PT Indomilk di Jakarta.

Kondisi inilah yang membuat peternak sapi di Boyolali kian merugi. Harga jual susu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk membeli pakan ternak. Mereka pun tak berdaya menghadapi ketentuan yang ditetapkan industri pengolahan susu. Terutama soal penetapan harga jual susu segar di tingkat peternak.

Akibatnya, kini peternakan sapi perah di Boyolali tengah terancam. Tak sedikit dari mereka yang beralih ke usaha penggemukan sapi. Hal itu disebabkan terlalu rendahnya harga susu. Produksi susu di kabupaten itu pun kian tergerus.

Doko (35), peternak asal Desa Musuk menyatakan, rendahnya harga jual susu mengakibatkan dirinya kini tak bergairah lagi melanjutkan usaha tani tersebut. Menurut dia, kondisi ini umum terjadi pada seluruh peternak sapi perah di Boyolali.

Dikatakannya, kalau pun masih ada yang memeras susu hanya sekadar untuk pekerjaan sampingan dan mengisi waktu luang. “Memeras susu dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu hanya merugi,” ucapnya ringan.

Doko mengungkapkan, harga makanan ternak sekarang ini cenderung naik sehingga biaya pemeliharaan satu ekor ternak berkisar Rp 10.000 per hari. Biaya sebesar itu untuk membeli konsentrat, katul, dan ketela pohon.

Sedangkan, setiap ekor sapi perah terkadang hanya memproduksi lima liter susu per hari. Dengan demikian, dengan harga saat ini yang berkisar antara Rp1.400—Rp1.500 per liter, maka hasil penjualan susu KUD hanya menerima Rp7.500 per hari per ekor.

'”Kalau punya lima ekor sapi dengan produksi susu 25 liter per hari sih, masih bisa untung. Tapi kalau kaya saya ya rugi. Lha wong punyanya 2-3 ekor saja. Jadi bisa bangkrut,” tutur Doko yang mengaku akan mencoba mencari usaha lain karena menilai memeras susu sudah tak bisa diharapkan lagi. (tur)


Demak, Si Miskin yang Dermawan

Pergilah ke Demak, di sana tersimpan pesona yang melimpah. Ada masjid Agung Demak, makam kadilangu, grebeg besar, alat musik rebana, ukir gebyok, kaligrafi, dan sanggul. Ingin melihat pesta sedekah laut? Demak juga punya. Namanya Syawalan Morodemak.

Di sana juga ada acara Garebek. Sebuah tradisi tahunan jamasan (memandikan) pusaka Kyai Crubuk milik Sunan Kalijaga, Kyai Siri’an miliki Kesepuhan, dan Kotang Ontokusumo milik Raden Fatah.

Setiap acara itu berlangsung, warga Demak selalu ramai dan memadati alun-alun Kia Turmudi sampai Jogoloyo. Mereka minta keberkahan dan reziki. Terutama para pedagang kaki lima dan jajanan.

“Tumpengnya selalu laris lho, sambil membagikan, biasanya saya bilang, ‘semoga dagangannya laris ya…banyak dapat rezeki’,” ucap Bupati Demak, Endang Setyaningdyah.

Hebatnya sekali Garebek, Demak mendapatkan pemasukan kas derah Rp198,6 juta hingga Rp250 juta. Kas itu berasal dari para pengunjung dan peziarah makam yang tumpah ruah.

Selain itu, Kabupaten ini juga memiliki buah khas: blimbing dan jambu delima. Kekhasan yang mengingatkan kita akan sebuah syair Jawa: iliir-illir.

Berkat blimbing, Demak jadi terkenal. Malah buah ini menjadi brand di tiap gapura-gapura rumah. Blimbing Demak juga memberikan pemasukan daerah yang lumayan. ”Dijual di Supermarket mahal mas, sebuah mencapai Rp4.000,” kata Imam (35), warga kota Semarang.

Jika Anda kenal dengan bakpia khas Yogyakarta, siapa sangka kalau kacang hijau yang dijadikan bahannya itu berasal dari Demak. Harganya cukup tinggi dan menguntungkan orang sana, yaitu Rp3.500 hingga Rp5.000 per kg.

Di sana kacang hijau di produksi pada lahan sekitar 10 hektare dengan total produksinya 24,5 ton per musim panen. Kini, perluasaan lahannya mencapai 24 hektare yang tersebar di 14 kecamatan dengan produksi hampir 32 ton per musim.

Demak juga erat dengan sebutan Kota Wali. Tempat Sunan Kalijaga (yang hidup 1455—1586 M) berada. Sejarah mencatat, Demak juga tempat kerajaan Islam pertama di Indonesia saat Raden Fattah memimpin.

Kebesaran itulah yang membuat Demak merupakan daerah yang tiap tahunnya dikunjungi ribuan peziarah dari segala penjuru. Tercatat saat puasa tiba, setiap hari Demak menyerap 10.000 orang pengunjung dan saat sepi 5.000 orang. Dari peziarah itu pula Demak setiap hari menerima pemasukan rata-rata Rp10 juta per hari dari pengelolaan makam Sunan Kalijaga.

Kalimat promosi di atas bukanlah isapan jempol belaka. Demak memang kaya potensi. Dari aset daerah itu, Endang mampu memberikan pengobatan gratis pada warganya. Bidan dan dokter Demak selalu siap membantu dan warga yang berobat tidak dipungut biaya.

Tidak itu saja, Universitas Sultan Fatah Demak adalah perguruan tinggi dengan SPP paling murah. “Tak hanya di Indonesia, tapi di dunia. Sultan Fatah, SPP-nya paling murah,” tegas Endang.

Menurut dia, pemerintah daerah juga selalu memberikan bantuan daging 5 kg dan beras 10 kg tiap bulannya pada setiap guru PNS. Pengajar surau dan madarasah juga diberi insentif. Mereka mendapat gaji tambahan Rp50.000 tiap bulan. “Biar warga Demak bisa tertawa. Menikmati hasil daerahnya sendiri,” kata Endang.

Namun, siapa sangka? Bila merupakan daerah termiskin di Jawa Tengah? Pendapatan per kapita penduduknya hanya Rp2 juta per bulan. Dengan Pendapatan Aseli Daerah (PAD) Rp8 miliar per tahun.

Sedangkan 41% dari 200 ribu penduduknya masuk kategori miskin. Warga yang berpendidikan strata satu hanya 2%, berpendidikan SLTA (3%), dan sisanya (95%) lulusan sekolah dasar atau tak sekolah sama sekali.

“Mereka kebanyakan orang pesantren. Pendidikan umum tak seberapa diperhatikan,” kata Endang. (tur)

*suatu waktu kala menyusuri sisi demak

Se-asal

Memiliki latar belakang daerah sama ternyata menjadi ikatan batin tersendiri bagi saya ketika bertemu dengan sejumlah orang-orang penting. Karena di situ, saya bisa ngakak, atau bahkan saling olok dengan dia tanpa ada perasaan sungkan sekalipun.

Padahal, semestinya saya harus rikuh jika berbuat seperti itu dengan dia. Sebab, dia itu punya kelas. Ada yang direktur utamalah...ada yang sudah jadi politikuslah, ada yang sudah begini, begitu...sedang saya, masih begini-begini saja!

Hanya, lantaran kita ini setelah diurut-urut punya asal wilayah hidup serupa, maka hilanglah semua keangkuhan itu...Wah, jadi ada perlunya jika saya menghafal soal silsilah dan seluk beluk peta kota masa lampau.