Sunday, May 27, 2007

Sahabat


Sahabat Lama!

Seorang sahabat lama, baru-baru ini menelepon untuk janji bertemu. Entah apa yang terjadi dengannya, setelah sekian lama tak ada kabar darinya, tiba-tiba ia menelepon saya dan meminta kesediaan untuk bertemunya. Terakhir yang saya tahu tentangnya, ia telah sukses menjalankan usahanya di bidang percetakan.
Bahkan kabar dari sahabat yang lain, “kalau kita masih berdebu, dia sudah kedinginan, ” maksudnya, saya dan beberapa sahabat lain masih terus menerus kena debu lantaran masih menggunakan kendaraan roda dua, sedangkan sahabat yang satu ini sudah memiliki kendaraan roda empat yang cukup bagus.

Isterinya juga bekerja dan menduduki level midle management di kantornya, sehingga ia bisa menyekolahkan dua anaknya di sekolah elit, salah satu sekolah mahal di Jakarta. Buat orang seperti saya, harus memeras keringat sampai tetes terakhir untuk bisa mendaftarkan anak saya ke sekolah itu. Itu pun baru sekadar mendaftar, belum lagi biaya bulanan dan lain-lainnya. Rumahnya pun cukup besar, type 72 di sebuah kawasan perumahan mewah cukup terkenal. Singkatnya, saya menilai hidupnya sangat bahagia!

Tetapi pagi itu, suara di seberang telepon lebih terdengar seperti suara murung, suntuk dan kehilangan semangat. “Ada apa kawan?” tanya saya ringan sekadar membuatnya merasa menemukan sahabat. Lalu dia bilang, “Saya bosan dengan kehidupan saya … tolong bantu saya?”

Ah, awalnya agak aneh mendengar kalimatnya. Apa yang membuatnya bosan menjalani kehidupan? Segalanya ia punya. Isteri yang cantik, anak-anak yang mempesona, rumah mewah, mobil bagus, uang pun ada. Setiap akhir bulan ia tinggal menentukan ke mana harus berlibur, domestik maupun ke luar negeri ia mampu. Tidak ada barang yang ia tak punya, setidaknya ia mampu membelinya jika berminat. Tapi kenapa? Kenapa justru ia merasa bosan dengan kehidupan yang dijalaninya?

Saya menduga ia terlalu lelah dengan bisnisnya. Karenanya saya minta ia meluangkan waktu bersama keluarga untuk rekreasi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya. Saya pun menyebut beberapa tempat sebatas yang saya tahu; Nusa Dua, Bunaken, Bukit Tinggi, … jawabannya: sudah! Malah dia menyebutkan nama-nama daerah lain yang masih sebatas mimpi untuk saya kunjungi. Itu berarti usul saya tidak diterima.
Kemudian ia mendesak lagi, “ayo bantu saya…” saya pun kelimpungan dibuatnya. Tawaran saya untuk ambil cuti selama beberapa hari dan menghabiskan waktu sepenuhnya bersama keluarga pun ditolak mentah-mentah. “Bukan itu masalahnya…” seraya menjelaskan bahwa hubungannya dengan isteri dan anak-anaknya tidak ada masalah secuilpun, bahkan sangat hangat dan harmonis.

Hingga akhirnya, saya memintanya untuk bertemu di suatu tempat. Sebelumnya ia meminta saya menemuinya di sebuah cafĂ© resto, namun saya menolaknya. Saya menyebut satu tempat yang membuat ia merasa kaget mendengarnya, “Ah, gila… masak saya harus ke tempat itu lagi?” Bahkan, sebelum hilang kagetnya saya membuatnya bertambah bingung, “jangan pakai baju bagus, jangan bawa kendaraan, naik angkot saja”. Lagi-lagi singkat komentarnya, “Usul gila apa lagi nih?” saya menutup telepon dengan mengatakan, “saya tunggu jam delapan malam ini…”

Saya bertaruh dia tidak akan datang malam itu ke tempat yang saya tentukan. Saya tidak yakin ia mau kembali ke masa lalu, ke tempat ia dan sahabat-sahabat lamanya –termasuk saya- biasa bercengkerama menikmati malam, menyeruput segelas kopi bersama, menyantap penganan kecil seperti kue putu atau gorengan bakwan, tempe dan pisang goreng. Mengingat kembali masa-masa diwaktu sama-sama tidak punya uang, padahal sudah makan sekitar delapan gorengan. Dengan segala hormat kepada si tukang gorengan, sahabat saya ini memberikan arloji kesayangannya kepada tukang gorengan sebagai alat pembayaran. Tertawalah semuanya karena si tukang gorengan sangat bahagia dan membiarkan kami menghabiskan banyak dagangannya.

Atau ketika di satu malam kami kemalaman dan tidak berani pulang ke rumah masing-masing, akhirnya tidur di masjid dengan ditemani ratusan nyamuk. Esok paginya, nyamuk-nyamuk itu tidak bisa terbang lantaran kegendutan oleh darah yang dihisap dari tubuh-tubuh kami. Maka berlombalah kami mengejar nyamuk-nyamuk yang keberatan badan untuk terbang itu dan menepuknya.

Semoga ia juga masih mengingat di satu malam yang lain, ketika ia datang dengan baju lusuhnya. Kemudian saya mempersilahkannya mengenakan baju yang saya bawa di tas. Saya masih ingat betul, hingga detik ini pun baju itu tidak pernah kembali. Tapi cukup senang jika mengingatnya, bahwa apa yang saya miliki bermanfaat untuk sahabat saya.

Sungguh terlalu banyak yang harus diingat dari masa lalu. Namun… saya ragu, apakah dia mau datang malam ini? Padahal saya sudah mengundang beberapa sahabat lain untuk juga datang.

Jam delapan lebih sembilan menit, sesosok bayangan tegap pun singgah. Saya dan beberapa sahabat lama memeluknya erat. Sepiring gorengan dan beberapa gelas yang siap dituangkan kopi dan teh sudah tersaji. Lahap ia menyantap beberapa potong gorengan dan menyeruput kopi. Tiba-tiba, “Siapa yang bayar nih? Punya uang nggak?” meledaklah tawa kami memecah keheningan malam itu. Sungguh, itu pertanyaan yang sama persis ketika dulu kami tidak punya uang untuk membayar gorengan.

Esok paginya, saya kembali mendapat telepon darinya, “terima kasih, ternyata saya hanya perlu kembali kepada sahabat dan mencoba menikmati masa lalu yang terlalu indah untuk dilupakan”.

Saya pun tersenyum. Begitulah sahabat, saya pun takkan pernah bisa meninggalkan sahabat-sahabat lama yang telah banyak memberikan suntikan semangat di masa lalu. Kadang kita hanya perlu memutar kembali peristiwa lampau, dan jika mengingat lagi apa-apa yang telah terlalui di waktu silam, seberkas senyum akan selalu tercipta. Dan senyum itulah yang kerap membuat hidup ini lebih terasa indah. Semoga…[dari web tetangga]

GAS

Defisit Gas Tiada Akhir

LAGU lama itu kembali terdengar. Entah, tak seorang pun tahu sampai kapan berhenti diputar. Padahal tiada yang baru dalam setiap ketukan nada di dalam lagu itu. Lirik dan kisahnya pun masih serupa.

Semuanya belum berubah. Begitu pula dengan si penyanyi yang membawakannya. Suaranya tetap terdengar nyaring. Berteriak. Mendesak. Kendati ia sadar, semua itu hanya berupa harap yang tak kunjung jelas dinanti. Hingga, si pembawa lagu itu kian meratap dalam tanya: kapan industri domestik mendapatkan kepastian pasokan gas?

Adalah Achmad Widjaya, Ketua Umum Asosiasi Industri Aneka Keramik Indonesia (Asaki) yang kembali turun ke panggung untuk menyanyikan lagu lama itu. Terutama, setelah dalam dua tahun terakhir ini pasokan gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) ke industri yang banyak berada di Jawa Barat tersebut mulai tersendat.

Suatu kondisi yang disebut Achmad Widjaya sebagai faktor penghambat terhadap kinerja industri keramik di Tanah Air. Sebab, selama ini gas adalah bahan bakar utama bagi pembuatan semua produk keramik.

Karena itu, guna mendukung hasil akhir yang maksimal bagi produk keramik dibutuhkan pasokan gas yang berkualitas dan konstan, baik dari sisi jumlah pasokan maupun tekanannya.

Menyusul Achmad Widjaya, ada lagi Ketua Umum Asean Rubber Glove Manufacturer Association, Henry Tong yang turut mengeluh akibat ketidakjelasan pasokan gas. Menurut dia, sejak 2005 telah terjadi lost profit di industri sarung tangan karet nasional karena kelangkaan jenis bahan bakar industri tersebut.

Selain dua jenis industri di atas, masih banyak lagi industri lain yang hidupnya sangat tergantung pada gas. Khususnya, untuk mereka yang menjadikan gas sebagai bahan baku utama untuk mengolah produknya, semisal industri pupuk dan petrokimia.

Bagi industri yang menjadikan gas sebagai bahan bakar, tentu persoalan ketidakjelasan pasokan tersebut masih bisa diatasi dengan penggunaan energi alternatif, seperti batubara atau bahan bakar nabati (biofuel). Tetapi, untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, tersendatnya pasokan gas dapat membuat industri kolaps.
Selama ini, di Indonesia gas dimanfaatkan untuk dua hal, yaitu sumber energi dan bahan baku industri. Sebagai sumber energi gas digunakan untuk power plant, gas kota, compressed natural gas (CNG untuk BBG), dan bahan bakar industri. Sedangkan sebagai bahan baku industri, gas dimanfaatkan untuk pembuat ammoniak, metanol, hidrogen, asam asetat, subtitusi minyak solar (DME), dan lainnya.

Dilematis
Bila ditilik ke belakang, apa yang dialami industri berbahan baku dan berbahan bakar gas itu sebenarnya ibarat kidung lama yang kembali terdengar. Kendati pemerintahan di negara ini telah beberapa kali berganti. Tetapi, diakui belum satu pun yang mampu mengatasi krisis pasokan gas di dalam negeri.

Semua itu terjadi akibat peningkatan kebutuhan gas bumi yang tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur, berupa pipa gas bumi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan sebagai daerah penghasil utama minyak dan gas.

Di Indonesia, pemanfaatan gas bumi dimulai sejak 1977 dengan berproduksinya kilang liquefied natural gas (LNG) Arun dan Bontang. Sejak saat itu, sepanjang tiga dekade terakhir Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Dengan kontribusi 30 persen dari kebutuhan konsumen global.

Pasar terbesar LNG Indonesia yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan, telah direncanakan pasar ini diperluas hingga ke China dan Amerika. Kendati diakui cadangan gas alam domestik hanya mencapai 1,5 persen dari cadangan dunia.

Namun, dibalik kesuksesan sebagai pengekspor LNG terbesar di dunia tersebut, ternyata di dalam negeri pembangunan industri gas bumi sangat tertinggal jauh. Hal ini ditandai dengan kelangkaan pasokan gas untuk pembangkit listrik maupun industri.

Memang, harus diakui sekitar 85 persen eksplorasi kontrak kerja dikuasai oleh kontraktor asing, sehingga hasil eksplorasi gas bumi banyak dijual ke luar negeri. Padahal, sebagai komoditas ekspor, kebutuhan gas domestik cukup besar.

Kondisi ini seiiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai menjamurnya industri strategis seperti pupuk, petrokimia, dan energi pembangkit.

Berbagai dilema lantas dihadapi, antara lain apakah produksi gas itu tetap diekspor? Baik dalam bentuk gas atau dicairkan menjadi LNG? Atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri menegaskan bahwa prinsip pemerintah tentang kebijakan gas sudah jelas, yaitu prioritas utama untuk kebutuhan dalam negeri. Tetapi, pada kenyataannya tetap saja pasokan gas di dalam negeri kerap defisit dan tak menentu.

Defisit
Menteri Perindustrian, Fahmi Idris mengakui kebutuhan gas untuk industri memang masih kurang sehingga pemerintah harus mengupayakan untuk mengekplorasi sumur-sumur gas di Indonesia.

Menurut dia, sejumlah sektor industri yang masih kekurangan gas seperti industri sarung tangan, keramik, bola lampu, dan pukuk. Defisit gas itu membuat industri domestik terancam hengkang dari Indonesia yang menyebabkan kuantitas maupun kualitas pasokan gas tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga industri bekerja tidak maksimal.

Kebutuhan gas dalam negeri yang belum terpenuhi yaitu 0,3 miliar kaki kubik per hari, sedangkan kebutuhan gas dalam negeri pada tahun 2007 sebesar 8,4 miliar kaki kubik.

Dalam neraca gas Departemen Perindustrian, selama 2005 tercatat defisit gas domestik mencapai 1.362 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day /MMScfd). Pasokan yang ada pada 2005 hanya sebesar 8.100 MMscfd, sementara itu kebutuhan mencapai 9.462 MMscfd.

Sementara, pada 2010 defisit gas bukannya menurun. Justru Depperin memprediksi naik menjadi 1.601 MMscfd karena kebutuhan industri mencapai 14.248 MMscfd, sedangkan pasokan hanya 12.646 MMScfd.

Dan pada 2015, defisit gas mencapai puncaknya hingga 5.281 MMscfd karena pasokan pada tahun itu telah menurun sesuai dengan siklus lapangan gas menjadi hanya 9.608 MMscfd, padahal kebutuhan justru naik menjadi 14.889 MMscfd.

Khusus permintaan gas di Jawa, hasil studi Gas Transportation Project Through Public—Privat Patnership (BeicipFranlab, 2005) menunjukkan akan terjadi peningkatan dari 2005 sampai 2025 hingga mencapai 2.000 billion cubic feet (BCF) per tahun, atau 2.700—5.400 MMscfd.[!] Tur