Thursday, January 24, 2008

Kusak-kusuk

Ancem-Anceman

SETIAP baca koran, lihat TV, dan dengerin radio, aku ini gelisah minta ampun. Takut. Serba deg-degan. Was-was, serem dan jadi malas ngapa-ngapain. Tak tau kenapa, tapi perasaan yang ku alami itu, ternyata sama dengan temanku di Malang.

Dia itu masih mahasiswa. Yah, baru semester-semester awal. Dia ingin banget datang ke Jakarta mengunjungi saudaranya. Selain itu juga mungkin mau mengisi libur semester tahun ini.

Semalam dia sms begini, "Mas aku takut ke Jakarta. Apalagi sendirian. Kan serem. Aku pernah di jambret dan digodain di jalan. Terus sekarang ada berita mutilasi. Mobil terjun dari gedung. Wah, pokoknya
gak berani. Milih di rumah ae."

Baca sms ini aku tentu sedikit geli. Lah, itu kan cuma berita yang dibuat besar di koran dan seluruh stasiun TV. Diramaikan biar semarak. Makanya, aku jawab sms itu dengan kata-kata ngademin. Memberi kepercayaan, keyakinan, bahwa tak akan terjadi apa-apa di jalan. Toh, kalau pun nasib apes harus menimpa, semuanya adalah takdir. Bukan kehendak kita. Tapi, ya itu, sms adem jawabanku gak ngefek. Dia tetap takut dan keburu ilfil. Jadi, tak mau datang ke Jakarta sekarang.

Soal ketakutan-ketakutan ini, Gombal dan Gombel, tokoh idolaku waktu di kampus, pernah sampai marah-marahan gara-gara nonton sepak bola antara Persija dan Persik Kendiri. Padahal, mereka itu cuma nonton di TV.

Gombel, saat itu tidak terima dengan gol yang dibuat Gonzales ke gawang Khamaruk. Dia langsung mencak-mencak. Maklum, Gombel itu anggota Jack Mania yang kebetulan gak keangkut ke stadion langsung. Tapi, anehnya, si Gombal malah tak satu kubu dengan si Gombel. Hati Gombal saat itu untuk Persik.

"Itu tidak sah! Pelanggaran. Tonjok!"
"Mana? Sah begitu kok!"
"Jangan
ngeyel Mbal! Lihat tayangan ulang itu. Gonzales dorong Herman Abanda."
"Ah, itu biasa kontak fisik! Apalagi di Liga Indonesia"
"Biasa dari mana? Harus
fair play dong?"
"Saya bilang, biasa itu kontak fisik!"
"Maksud
lo?"
"
Ya, kalau tak ada kontak fisik, mana mungkin ada orang ngeyel di dunia ini kayak Gombel."
"
Gue gak ngerti! Maksud lo apaan sih?"
"
Ya, kalau tak ada kontak fisik, mana mungkin ada dana ini...itu, bisa cair! Mana ada kata anggota dewan, Presiden, Gubernur, Bupati sampai lurah!"
"Tambah bingung
gue!"
"
Ya, kalau tak ada kontak fisik Mbal, jangan harap ada dunia! Makanya saya bilang itu biasa!"
"
Ups, tunggu dulu, kenapa bisa sampai ada kontak fisik?"
"Dasar otak
lo jongkok! Ya, jelas karena ada yang direbutin. Terus ada yang mengadu. Diadu."
"Apa yang diadu? Direbutin? Terus siapa yang mengadu?"
"Pikir saja sendiri!"

Mendengar percakapan Gombal dan Gombel itu, saya benar-benar dibuat terpingkal-pingkal. Terang saja, si Gombal dengan pikiran dalam harus ngomong dengan si Gombel yang cetek itu. Jadi mana nyambung!

Eittt, tapi tunggu dulu! Saya jadi tertarik dengan omongan si Gombal soal kontak fisik, perebutan, adu, dan mengadu itu.

Memang bener kok, di republik ini tentang adu mengadu, perebutan, dan kontak fisik itu lagi ngetrend. Lho, kenapa bisa?
Ya, terang saja, soalnya untuk bisa memeroleh jabatan, seseorang itu memang harus siap diadu dan mengadu.

Kesiapan diadu, itu umumnya harus dimiliki oleh si pendatang baru. Sedangkan, keharusan mengadu itu umumnya ditunjukan oleh si penguasa lama. Kenapa tidak mengadu,
wong kalau nyalon lagi selalu saja bilang, "Ya kemarin itu gagal karena banyak hambatan teknis. Makanya, saat ini saya siap memperbaiki." "Kalau kemarin saya menjabat masih gagal, itu disebabkan birokrasi yang rumit. Nanti, kalau terpilih lagi semua akan saya pangkas!"

Sedangkan, yang suka diadu selalu saja berperilaku aneh! Jelas-jelas dia belum pernah menjabat jadi Presiden, Gubernur, atau Bupati, tapi dengan percaya dirinya dia bilang, "Nanti kalau saya menjabat, pendidikan geratis! Kesahatan bagi rakyat miskin gratis!" Lalu dengan lantang, dia juga menebar kritik, "Pemerintahan lalu itu bobrok! Penuh korupsi! Menyengsarakan rakyat! Apakah bapak ibu terus mau begini? Dibohongi? Terus menderita? Makanya pilih nomor ini dan ono!"

Nah, ini dia masalahnya. Saling ribut dan berebut. Adu mulut! Dan yang membuat saya kesel, koran, TV, serta radio menangkap hal ini. Ikut-ikutan latah. Demi dapur iklan, pemasaran. Tanpa mikirin nasib diriku ini yang jadi belebek. Serba takut. Was-was dan pusing tujuh keliling.

Mereka terkekeh setiap pagi menampilkan, orang saling beradu. Saling tuding. Tebar pesona. Kusak-kusuk. Saling usil. Akhirnya semua saling ancam-ancaman. Selalu saja ngomong, jika tak dituruti, saya mau begini....Kalau tidak mau ikuti aturan, kami laporkan ke polisi! Bila tidak....dan tidak....
ah tidak!

Karena itu, jangan salahkan penonton yang emosional itu, akhirnya dibuat beratmosfir tinggi. Ikut gerah. Jadi panas...panas! Padahal, cuma denger kata-kata "jika" "bila" "kalau" dan "maka" itu. Dan, kontak fisik terjadi. Sampai semua dibuat menjadi d
udududududu....duh! Duh! Aduuuuuuuuuhhhhhhhhh!

Karena itu, saya gak mau jadi pusing mikirin soal ini. Bagaimana
ya, kalau saya saja yang diadu sama Bunga Citra Lestari, Nirana Zubir, atau si Tamara. Gak papa deh, bila saya dibuat berbusa-busa ngomong pakai kata "jika" "bila" "kalau" dan "maka" setiap pagi. Toh akhirnya, yang terjadi juga kontak fisik.....hahahahahahahaha! Dudududu..duh! Malah mikir jorok!