Thursday, August 23, 2007


Membangunkan Petanian dari Tidur Panjang

MARI kita buka lembaran tahun depan dengan sikap optimisme bahwa bangsa ini akan terbebas dari orang miskin. Tercukupi kebutuhan pangannya dan mampu menjadi negara yang dapat menekan angka pengangguran.

Tentu kita terus risih, jika tahun depan jumlah penduduk miskin masih dinyatakan meningkat. Pastinya, kita bisa menjadi frustasi dengan kinerja pemerintah, saat acap kali Badan Pusat Statistik (BPS) merilis datanya, angka pengangguran terus melonjak.

Meski tidak bisa dinafikan, pemerintah telah berusaha keras menekan kedua angka ini. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula, jika laporan BPS berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006 pada awal bulan lalu mengungkapkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk. Angka itu, tentunya bertambah sekitar empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005.

Berbagai formula pengentasan kemiskinan pun telah beberapa kali kita dengar diujicobakan pemerintah. Seperti melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui bantuan langsung tunai.

Namun faktanya, kemiskinan tetap saja menjadi penyakit umum bagi warga pedesaan di Indonesia. Kondisi ini nyatanya telah mengakar dalam struktur masyarakat desa kita sejak lama. Apa penyebabnya?

Pertama, tentu struktur agraris yang timpang dalam hal kepemilikan lahan. Tidak bisa dibantah apabila saat ini rata-rata petani kita hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare (ha) tanah, sehingga diolah dengan cara apa pun tak akan memberikan nilai tambah. Bahkan, data BPS menyebutkan, sekitar 56,5 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,3 hektare.

Kedua, punahnya kearifan lokal dalam proses produksi pertanian—petani lebih dipicu menggunakan sistem pertanian konvensional dengan high input—serta hilangnya budaya lokal di dalam pengelolaan pascapanen, seperti sistem lumbung sebagai tabungan bersama dan antisipasi persediaan pangan saat musim paceklik hilang.

Saat ini, petani telah terjebak untuk menjual padi ketika mereka panen, dengan rayuan harga tinggi. Bahkan tak sedikit dari tengkulak masuk sawah saat petani panen. Kita tentu sudah jarang menemui sosok petani yang sabar dan mau menjemur padi di rumah kemudian menyimpannya. Para petani dininabobokan dengan sistem yang hanya merugikan mereka itu sendiri.

Ketiga, politisasi bidang pertanian. Di Tanah Air, sedikitnya terdapat empat kebijakan yang kini mengatur persoalan pertanian, yakni kebijakan beras impor, kebijakan mencabut subsidi pupuk, kebijakan pengendalian harga dasar gabah, dan yang lebih parah adalah kebijakan penyediaan lahan untuk kepentingan umum.

Keempat, kebijakan tersebut kalau dianalisis secara tajam tidak satu pun berpihak kepada kaum petani. Padahal, jauh sebelum krisis ekonomi banyak kritikan yang ditujukan kepada pemerintah mengenai paradigma dan strategi pembangunan nasional yang terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan sektor industri sebagai lokomotifnya.

Dalam konteks ini sektor pertanian hanya dijadikan ladang penanaman modal dan sumber subsidi untuk kepentingan industrialisasi. Hal ini berdampak pada banyaknya korban pengangguran, terutama kaum perempuan di pedesaan, sebagai akibat modernisasi dan mekanisasi di sektor pertanian.

Selain itu, pembaruan agraria yang dulu diyakini sebagai salah satu konsep pembaruan sosial ekonomi di pedesaan, kini oleh negara tidak lagi dipandang sebagai jalan strategis untuk membangun tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

Padahal, melalui reformasi agraria, ada pemerataan dan sekaligus pertumbuhan karena redistribusi lahan dilakukan, ada keadilan karena aspek produksi ditata, dan ada keberanian karena petani bebas menentukan pilihannya, termasuk bebas berorganisasi.

Tentu, ingatan kita masih lekat dengan pencanangan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 11 Juni tahun lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) yang semula disebut sebagai salah satu strategi tiga jalur dalam mengobati kesenjangan sosial petani kita.

Memang dari sisi ide, terobosan ini cukup baik. Bahkan jika berhasil, pastinya warga tani kita akan senang. Sebab kehidupan perekonomian mereka akan terangkat, angka kemiskinan dan pengangguran tertekan, dan pertumbuhan pertanian rata-rata dapat menembus nilai 3,5 persen per tahun.

Tetapi, setelah satu tahun lebih kebijakan itu digelontorkan, sejumlah pekerjaan rumah menumpuk. Masing-masing Departemen teknis terkait dinilai gagal menafsirkan program tersebut. Semua berjalan dengan sendiri-sendiri. Parahnya, pemerintah seperti tak pernah membayangkan wajah pertanian Indonesia hingga 20 tahun ke depan.

Berkaca pada hasil penelitian yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE UI) pada 2002, diproyeksikan pada 2015 bangsa ini akan mengalami defisit produksi beberapa komoditas pangan, seperti jagung, kedelai, daging sapi, dan susu.

Dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,8 persen per tahun, maka di asumsikan hingga 2015 jumlah penduduk Indonesia bakal mencapai 254 juta jiwa. Angka penduduk itu berarti, jika pada tahun tersebut Indonesia tak mampu mengejar tingkat produksinya, maka akan terjadi defisit pangan yang luar biasa, yakni 1,4 juta ton untuk jagung, 2,3 juta ton kedelai, 486 ribu ton daging sapi, dan 1,2 juta ton susu.

Di samping itu dalam priode 2004—2006 saja tercatat angka impor sejumlah komoditas pertanian meningkat signifikan. Sebut saja gula yang semula hanya 321,17 ribu ton pada 2004 menjadi 654,68 ribu ton pada 2005.

Kita tentunya sadar, membangun pertanian bukanlah sesuatu yang bersifat jangka pendek. Demikian juga dengan persoalan pertanian yang selalu merupakan masalah jangka panjang, berulang-ulang, dan kondisinya selalu sama.

Akan tetapi, disayangkan selama ini solusi yang diambil pemerintah selalu saja bersifat jangka pendek dan ad-hoc. Karena itu, sangat tepat jika pemerintah mestinya melihat wajah pertanian nasional dulu—walau hanya untuk 2020 saja--sebelum meluncurkan paket-paket kebijakan pertanian.

Pertama, yang patut diperhatikan adalah persoalan petani itu sendiri. Memang berdasarkan data BPS pada Oktober 2006, Nilai Tukar Petani (NTP) bulan lalu naik tipis 0,79 persen menjadi 103,15 point dari bulan sebelumnya yang hanya 102,35 point.

Kenaikan itu, disebabkan indeks harga yang diterima petani naik 1,07 persen, atau lebih besar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,28 persen.

Namun yang patut dipertanyakan adalah, apakah dengan product domestic bruto (PDB) pertanian yang saat ini berkisar 15 persen, sedangkan jumlah tenaga kerja mencapai 45 persen, mungkinkah sumbangan pertanian terhadap gross domestic product (GDP) hingga 2025 dapat mencapai 8 persen? Dengan penyerapan tenaga kerja di atas 10 persen? Tentu sangat sulit.

Di samping itu, nyatanya petani yang makin miskin kini malah terdapat di Jawa. Hal ini membuktikan Jawa mengambil peranan paling besar dalam pembangunan infrastruktur. Namun, dari program Infrastructur Summit yang menghasilkan dana sekitar Rp300 triliun, mengapa tak satu pun dikucurkan untuk pertanian? Sekedar membantu petani miskin di Jawa?

Kedua, menyangkut sumberdayanya. Mungkinkah bangsa ini memiliki 15 juta hektar lahan abadi untuk pertanian? Mungkinkah di Jawa nantinya satu petani akan memiliki satu hektar lahan pertanian seperti yang dicanangkan pemerintah?

Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM). Tak bisa dipungkiri sekitar 70 persen dari 50 juta petani dan buruh tani di Indonesia berpendidikan sekolah dasar (SD). Kondisi itulah yang menyebabkan kualitas SDM kita berada pada peringkat 111 dari 174 negara di dunia.

Ketiga, masalah bisnisnya. Contoh sederhana yang paling mudah dipakai adalah komoditas gula, mungkinkah tebu 40 persennya menjadi gula, 40 persennya menjadi etanol, dan 20 persennya menjadi pakan ternak dan produk lain? Mungkinkah pula 80 persen gula dapat diproduksi di luar Jawa?

Dari berbagai pengamatan juga, pada 2020 nanti, Indonesia diprediksi akan menjadi pasar ekspor bagi produk pertanian dari China karena mereka surplus. Memang, 80 persen produksi lada dunia adalah Indonesia, tapi Madagaskar sudah mulai menyalip sehingga kita perlu waspada. Memang, Indonesia pengahasil pertama kelapa dunia, tapi kalah dengan Filipina.

Mengambil definisi ekonom Indef Bustanul Arifin, revitalisasi pertanian berarti menjadikan pertanian sebagai landasan pembangunan ekonomi. Implikasinya tentu seluruh pembangunan ekonomi yang dilakukan mengacu pada sektor pertanian.

Karenanya seluruh kebijakan pembangunan ekonomi seperti pajak, perbankan, industri, perdagangan, infrastruktur, dan sebagainya acuannya adalah menggerakkan pertanian.

Tentunya dari definisi tersebut, revitalisasi pertanian akan berhasil bila dilaksanakan sebagai satu kesatuan program dengan departemen lain. Dengan saling mendukungnya kebijakan industri, perdagangan, permukiman dan prasarana wilayah, tata ruang, dan perbankan. Hasil besar yang akan didapatkan dari perpaduan komponen ini tentulah peningkatan kesejahteraan petani.

Tapi dari definisi itu, hal yang paling ditakutkan adalah munculnya privatisasi dari revitalisasi yang dicanangkan. Privatisasi yang saya maksud adalah pemerasan sektor lain yang semakin memukul dan mencekik sektor pertanian.

Hal ini muncul karena paradigma pembangunan pertanian belum sepenuhnya mampu dipahami. Revitalisasi pertanian tak memiliki himbauan ideologis yang menjadi rujukan. Memang pembangunan jangka menengah sudah dimiliki yang pastilah merujuk pada visi misi program SBY.

Sadar atau tidak sadar saat ini kita terperangkap dalam pola pikir lama. Konsep ini menempatkan petani sebagai faktor produksi yang kedudukannya sejajar dengan faktor-faktor produksi yang lainnya. Penekanan revitalisasi pertanian pada hanya berada pada dimensi ekonomi saja tanpa ketiadaan nilai-nilai ideologis yang menyebabkan draft RPPK dapat dimaknai multi-tafsir (tur)

MAUT

Pilihan-pilihan Itu Kian Jelas

Keyakinan itu, semakin membulat di kalbuku. Saat, satu per satu mata ini mulai menatap lika-liku gemulai langkahmu. Di situ, kamu janjikan kedamaian laksana mentari menatap petang dan menyambut pagi. Ceritamu, kisahmu benar-benar telah membuatku larut. Menjadikan aku rindu dan ingin segera menjemputmu....
Ajalku, andai kau telah datang, berikanlah keikhlasan pada orang-orang yang menangisinya. Ajarkanlah pada mereka tentang arti hidup. Dan, beritahukan ke semuanya bahwa hidup itu terasa berarti ketika semua telah berakhir....

Mautku, tanamkanlah didadaku ini bahwa aku rindu kepadamu. Jangan biarkan aku takut menyapamu karena ketidakmampuanku menebus semua hutang-hutang ku selama ini. Sungguh, sejatinya aku malu, jika kau jemput dengan keadaan kotor.


Kematianku, satu yang jujur ingin kukatakan saat ini: aku rindu kamu! Benar, aku rindu...bukan karena aku sakit hati dengan hidup atau takut dengan dunia ini. Tapi, aku benar-benar pasrah dan ikhlas, jika suatu saat kau siap menjemputku!

Tuesday, August 14, 2007

Dunia

Dunia Adalah Perhiasan

WAJAH Bunga tersaput kabut. Ia gelisah. Meski telah berusaha tak mau memikirkan kondisi kakak-kakak iparnya, namun tetap saja rasa itu mengganggu perasaannya.

Belum genap satu tahun Bunga meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Bunga menyusul sang suami yang telah lebih dahulu ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah sang suami memperoleh pekerjaan tetap, barulah Bunga bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.

Di Jakarta, Bunga tinggal bersama keluarga besar sang suami dalam satu atap. Ada banyak kamar di rumah itu. Setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Bunga dan gadis ciliknya menempati kamar sang suami. Hanya kamar sempit itu privacy mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga. Sungguh berbeda dengan rumah orang tuanya yang luas dan indah, namun selalu mengajarkan kesederhanaan.

Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Bunga. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar sang suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar.

Apalagi di saat seperti ini, saat-saat di mana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji sang suami yang belum lama kerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Bunga tetap tak berminat menganut gaya hidup seperti itu.

Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidak cocokan antara Bunga dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Bunga. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Bunga, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.

Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.

Semula Bunga tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Bunga hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.

"Apakah... Perempuan harus memakai perhiasan....?" Tanya Bunga pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Bunga lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.


"Ada apa, Kak...?" Tanya sang adik penuh perhatian. Bunga menghela nafas berat sebelum menjawab. "Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena gak pernah pakai perhiasan...."

Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf "R" sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.

"Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah...."

Bunga terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.

"A..Apa, Dik?", Tanya Bunga. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Bunga untuk memperjelas ucapannya.

"Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak… jadi kakak gak perlu sedih karena gak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah..."

Mendengar perkataan sang adik, wajah Bunga berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.

Bunga tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat. "Terima kasih, adikku...."

Kakak beradik itu pun berpelukan. Yah, dunia itu adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.

cemburu

Ajarkan Aku Jadi Pencemburu

“Ketika hati telah mengaku cinta
Maka akan dihadapkan
kepada ayat-ayat ujian dan penafsiran
untuk membuktikan semuanya.”
(Amru Kholid)


Cemburu itu ada karena cinta. Setelahnya, tergantung sikap kita. Cemburu, memang menggemaskan. Kadang, berselimutkan duka, terselipkan sekeping dendam. Tapi, kadangkala justru sebagai pertanda betapa kita tidak bisa membohongi hati nurani sendiri kalau segenggam rasa itu ada. Mengusik dan akhirnya membuat hati gundah gulana.

Cemburu itu merupakan rasa kecintaan di mana tak boleh tersentuh yang lain. Hanya untuk kita. Diri kita sendiri. Rasa cemburu demikianlah sejatinya bisa mendatangkan cinta.

Cinta, memang bahasa universal. Dengan cinta, orang bisa menjadi sosok pecundang. Tapi bisa pula menjadi pahlawan. Tergantung, bagaimana pemikiran dan sikapnya. Manusia, tentu akan beragam dalam memaknainya. Jika dia seorang muslim, tentu akan terikat akan pijakan dan ajaran yang diyakininya. Pijakan kepada wahyu suci dan Muhammad sebagai teladan sepanjang zaman.

Hari ini, saya tidak akan menyoal tentang cinta. Tapi, akan sedikit berbagi gelisah tentang rasa cemburu. Rasa cemburu kepada Dia yang telah memberikan secara gratis setiap nafas yang setiap hari saya hirup.

Dia yang telah mengatur detik waktu dengan memberikan segenap kemurahan dalam keseharian kehidupan. Tepatnya, memang bukan tertuju kepada Dia semata, tapi lantaran segenap manusia yang berlomba-lomba mencintaNya. Ya, sekali lagi tentang cemburu yang dengan harap mendatangkan rasa cinta.

Di zaman ini, kekeringan cinta dan spiritual memang kerap melanda. Bagaimana tidak. Berbondong-bondong orang mengejar rupiah. Ketika dikejar ia lari. Ketika kita diam ikut diam. Simalakama. Bukan tanpa alasan. Inilah fakta yang mungkin terasakan. Entahlah. Memang tak seratus persen benar. Tapi, izinkan itu sebagai gambaran bagaimana sibuknya kita.

Hari demi hari, tersibukkan dengan aroma rupiah. Bukan bermaksud merendahkan orang yang terlalu ambisius mengejar untung dan penghasilan. Hanya ingin sekedar menyapa hati betapa ada kalanya oase jiwa yang mengering perlu kita basahi dengan ayat-ayat Tuhan. Tentang rahasia semesta yang fana. Tentang keyakinan akan dunia “sana” yang hakiki.

Hari ini, saya begitu cemburu. Ya, kepada orang yang seimbang hidupnya. Kepada mereka yang menyeimbangkan rasa cinta dunia dan akhirat. Kepada mereka yang semangat bekerja tapi tidak terlalu ngoyo dalam bekerja. Dalam kesehariannya, mereka bisa membagi waktu antara urusan kehidupan duniawi dan urusan penghambaan kepada Tuhan. Singkatnya, orang yang bisa memaknai secara benar atas eksistensi dirinya dimuka bumi dan pemahaman yang tepat tentang pentingnya sentuhan spiritualitas yang akan mendatangkan kebahagiaan kelak di kemudian hari, hari yang telah dijanjikan dengan segenap kenikmatannya.

Seperti yang pernah terlihat pada seseorang di masjid pada sebuah pagi. Sekira jam delapan. Lelaki itu, dengan baju kantor lengkap dengan dasinya, mampir ke sebuah masjid. Dibasuh mukanya dengan air wudhu. Dia sholat Dhuha, membaca Al-Quran lantas berdoa sejenak. Setelahnya, bergegas memacu motornya ke kantor dengan semangat prima. Bekerja demi seutas seyuman untuk anak dan isterinya di rumah.

Jujur, saya begitu cemburu dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Lelaki yang bisa menyeimbangkan hidup. Semoga, rasa cemburu ini bisa mendatangkan rasa cinta kepadaNya lebih besar dan lebih besar lagi. Pelan-pelan, nampaknya sisi jiwa ini begitu mengering dan mengeras. Mungkin, inilah saatnya untuk membasahi diri dengan Ayat-ayat CintaNya agar keseimbangan hidup semakin terjaga. (tur)

Monday, August 13, 2007

Kisah Hati

Menyentuh Pelangi
Alkisah seorang tuna netra bernama Kusnadi, yang berprofesi sebagai tukang pijat. Cerita ini dikisahkan oleh seorang trainer yang menjadi langganan Mas Kus ini ketika mahasiswa dulu. Saat itu Mas Kus berusia 27 tahun. Singkat cerita, pada suatu kesempatan si trainer ini bertanya-tanya tentang kehidupan sang tukang pijat langganannya itu.
Berpenghasilan seadanya dan tinggal mengontrak di sebuah tempat kos. Si trainer ini bertanya mengapa tidak tinggal saja di mess karena sewa kamar-nya jauh lebih murah. Kemudian Mas Kus menjawab, bahwa ia ingin membantu adik-adiknya (sesama tukang pijat-tuna netra) dengan memberikan kamar mess itu.

Tak habis pikir, si trainer ini bertanya kembali, kenapa ia berlaku begitu. Mas Kus mejawab bahwa kini ia sudah berpenghasilan dan karena itu ia harus belajar mandiri. Si trainer ini bertanya kembali, apakah penghasilannya cukup dan masih tersisakah uang untuk ditabung. Mas Kus kembali menjawab, dengan tenang, bahwa penghidupannya masih mencukupi dan masih bisa menabung, walaupun hanya beberapa perak.
Kembali penuh keheranan, si trainer bertanya, untuk apa uang tabungannya kelak. Mas Kus mengungkapkan kisahnya, bahwa ia terlahir buta dan merasa sebagai orang paling naas di dunia. Tidak pernah melihat indahnya mentari pagi, warna-warni bunga, dll. Namun, ketika orang tua-nya memasukkan ia ke panti, ia sadar bahwa dirinya tidak se-naas itu. Ada banyak orang yang mengalami nasib serupa.

Sejak saat itu, ia bertekad untuk bisa memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meski dengan keterbatasannya. Ia tidak ingin terkungkung dalam perasaan itu. Oleh karena itu, tabungannya kelak akan dibelikan gitar agar dengannya ia dapat membahagiakan orang dengan nyanyian. Si trainer mendengar dengan seksama dan mulai dihinggapi perasaan aneh. Sederhana, menyentuh, dan dalam.

Setelah beberapa hari, si trainer berkunjung ke rumah Mas Kus dan membawakan gitar miliknya. Ia kemudian menyodorkan gitar itu dan Mas Kus mulai memainkan beberapa lagu. Ada pemandangan yang indah di situ, raut wajah Mas Kus menyiratkan kebahagiaan yang tidak terucap. Si trainer mengatakan kepada Mas Kus bahwa ia dengan tulus-ikhlas ingin meminjamkan gitar itu sampai Mas Kus memiliki gitar sendiri.

Namun, seperti yang telah diduga sebelumnya, Mas Kus memasukkan gitar ke sarungnya dan mengembalikan kepada si trainer. Sekali lagi si trainer mengatakan bahwa ia tulus-ikhlas dengan semua ini. Apa jawaban Mas Kus? Katanya, ’izinkan saya membahagiakan adik-adik saya dengan keringat saya sendiri’... Perasaan itu hinggap lagi, sederhana, menyentuh, dan semakin dalam.

Ada lagi kisah yang lain, kalau sudah pernah nonton film-nya pasti tahu kisah ini. Kisah seorang anak perempuan 15 tahun, Ikeuchi Aya yang divonis mengidap penyakit langka yang menyerang otak (lupa namanya^_^) dan menyebabkan kematian secara perlahan. Yup, 1 litre of tears. Diawali dengan kematian fisik akibat rusaknya koordinasi dengan otak secara bertahap hingga kematian sebenarnya.
Tapi, apa yang telah dipilih Aya adalah sesuatu yang luar biasa. Melalui Aya No Niki (buku harian Aya) yang diterbitkan, ia telah menjadi inspring to stay alive bagi banyak orang, terutama orang yang bernasib serupa. Hingga akhir hayatnya ia tetap menjadi pribadi yang bersemangat dan setelah kepergiannya ia tetap hidup di hati banyak orang. Jadi teringat, keinginannya di akhir buku harian: live on, forever...

Pastinya masih banyak kisah lainnya tentang kesejatian manusia di sekitar kita. Tentang makhluk bernama manusia yang ditakdirkan dengan keterbatasan, namun hendak atau bahkan telah berhasil menyentuh pelangi dan menjadi sebuah kemanfaatan bagi manusia lainnya. Kisah yang terkadang sederhana, bisa jadi menyentuh, namun yang pasti sangat dalam makna-nya.

Fragmen-fragmen kehidupan ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk tarbiyyah (pengkaderan) langsung dari Allah kepada kita, jika dan hanya jika kita mau melihat, berpikir, dan merasakan sekitar. Alhamdulillah, atas kesempurnaan fisik penciptaan kita. Namun, kini pertanyaannya adalah sudah sampai tangga mana kita hendak menyentuh pelangi? (diambil dr situs tetangga)