Thursday, August 23, 2007


Membangunkan Petanian dari Tidur Panjang

MARI kita buka lembaran tahun depan dengan sikap optimisme bahwa bangsa ini akan terbebas dari orang miskin. Tercukupi kebutuhan pangannya dan mampu menjadi negara yang dapat menekan angka pengangguran.

Tentu kita terus risih, jika tahun depan jumlah penduduk miskin masih dinyatakan meningkat. Pastinya, kita bisa menjadi frustasi dengan kinerja pemerintah, saat acap kali Badan Pusat Statistik (BPS) merilis datanya, angka pengangguran terus melonjak.

Meski tidak bisa dinafikan, pemerintah telah berusaha keras menekan kedua angka ini. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula, jika laporan BPS berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006 pada awal bulan lalu mengungkapkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk. Angka itu, tentunya bertambah sekitar empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005.

Berbagai formula pengentasan kemiskinan pun telah beberapa kali kita dengar diujicobakan pemerintah. Seperti melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui bantuan langsung tunai.

Namun faktanya, kemiskinan tetap saja menjadi penyakit umum bagi warga pedesaan di Indonesia. Kondisi ini nyatanya telah mengakar dalam struktur masyarakat desa kita sejak lama. Apa penyebabnya?

Pertama, tentu struktur agraris yang timpang dalam hal kepemilikan lahan. Tidak bisa dibantah apabila saat ini rata-rata petani kita hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare (ha) tanah, sehingga diolah dengan cara apa pun tak akan memberikan nilai tambah. Bahkan, data BPS menyebutkan, sekitar 56,5 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,3 hektare.

Kedua, punahnya kearifan lokal dalam proses produksi pertanian—petani lebih dipicu menggunakan sistem pertanian konvensional dengan high input—serta hilangnya budaya lokal di dalam pengelolaan pascapanen, seperti sistem lumbung sebagai tabungan bersama dan antisipasi persediaan pangan saat musim paceklik hilang.

Saat ini, petani telah terjebak untuk menjual padi ketika mereka panen, dengan rayuan harga tinggi. Bahkan tak sedikit dari tengkulak masuk sawah saat petani panen. Kita tentu sudah jarang menemui sosok petani yang sabar dan mau menjemur padi di rumah kemudian menyimpannya. Para petani dininabobokan dengan sistem yang hanya merugikan mereka itu sendiri.

Ketiga, politisasi bidang pertanian. Di Tanah Air, sedikitnya terdapat empat kebijakan yang kini mengatur persoalan pertanian, yakni kebijakan beras impor, kebijakan mencabut subsidi pupuk, kebijakan pengendalian harga dasar gabah, dan yang lebih parah adalah kebijakan penyediaan lahan untuk kepentingan umum.

Keempat, kebijakan tersebut kalau dianalisis secara tajam tidak satu pun berpihak kepada kaum petani. Padahal, jauh sebelum krisis ekonomi banyak kritikan yang ditujukan kepada pemerintah mengenai paradigma dan strategi pembangunan nasional yang terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan sektor industri sebagai lokomotifnya.

Dalam konteks ini sektor pertanian hanya dijadikan ladang penanaman modal dan sumber subsidi untuk kepentingan industrialisasi. Hal ini berdampak pada banyaknya korban pengangguran, terutama kaum perempuan di pedesaan, sebagai akibat modernisasi dan mekanisasi di sektor pertanian.

Selain itu, pembaruan agraria yang dulu diyakini sebagai salah satu konsep pembaruan sosial ekonomi di pedesaan, kini oleh negara tidak lagi dipandang sebagai jalan strategis untuk membangun tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

Padahal, melalui reformasi agraria, ada pemerataan dan sekaligus pertumbuhan karena redistribusi lahan dilakukan, ada keadilan karena aspek produksi ditata, dan ada keberanian karena petani bebas menentukan pilihannya, termasuk bebas berorganisasi.

Tentu, ingatan kita masih lekat dengan pencanangan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 11 Juni tahun lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) yang semula disebut sebagai salah satu strategi tiga jalur dalam mengobati kesenjangan sosial petani kita.

Memang dari sisi ide, terobosan ini cukup baik. Bahkan jika berhasil, pastinya warga tani kita akan senang. Sebab kehidupan perekonomian mereka akan terangkat, angka kemiskinan dan pengangguran tertekan, dan pertumbuhan pertanian rata-rata dapat menembus nilai 3,5 persen per tahun.

Tetapi, setelah satu tahun lebih kebijakan itu digelontorkan, sejumlah pekerjaan rumah menumpuk. Masing-masing Departemen teknis terkait dinilai gagal menafsirkan program tersebut. Semua berjalan dengan sendiri-sendiri. Parahnya, pemerintah seperti tak pernah membayangkan wajah pertanian Indonesia hingga 20 tahun ke depan.

Berkaca pada hasil penelitian yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE UI) pada 2002, diproyeksikan pada 2015 bangsa ini akan mengalami defisit produksi beberapa komoditas pangan, seperti jagung, kedelai, daging sapi, dan susu.

Dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,8 persen per tahun, maka di asumsikan hingga 2015 jumlah penduduk Indonesia bakal mencapai 254 juta jiwa. Angka penduduk itu berarti, jika pada tahun tersebut Indonesia tak mampu mengejar tingkat produksinya, maka akan terjadi defisit pangan yang luar biasa, yakni 1,4 juta ton untuk jagung, 2,3 juta ton kedelai, 486 ribu ton daging sapi, dan 1,2 juta ton susu.

Di samping itu dalam priode 2004—2006 saja tercatat angka impor sejumlah komoditas pertanian meningkat signifikan. Sebut saja gula yang semula hanya 321,17 ribu ton pada 2004 menjadi 654,68 ribu ton pada 2005.

Kita tentunya sadar, membangun pertanian bukanlah sesuatu yang bersifat jangka pendek. Demikian juga dengan persoalan pertanian yang selalu merupakan masalah jangka panjang, berulang-ulang, dan kondisinya selalu sama.

Akan tetapi, disayangkan selama ini solusi yang diambil pemerintah selalu saja bersifat jangka pendek dan ad-hoc. Karena itu, sangat tepat jika pemerintah mestinya melihat wajah pertanian nasional dulu—walau hanya untuk 2020 saja--sebelum meluncurkan paket-paket kebijakan pertanian.

Pertama, yang patut diperhatikan adalah persoalan petani itu sendiri. Memang berdasarkan data BPS pada Oktober 2006, Nilai Tukar Petani (NTP) bulan lalu naik tipis 0,79 persen menjadi 103,15 point dari bulan sebelumnya yang hanya 102,35 point.

Kenaikan itu, disebabkan indeks harga yang diterima petani naik 1,07 persen, atau lebih besar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,28 persen.

Namun yang patut dipertanyakan adalah, apakah dengan product domestic bruto (PDB) pertanian yang saat ini berkisar 15 persen, sedangkan jumlah tenaga kerja mencapai 45 persen, mungkinkah sumbangan pertanian terhadap gross domestic product (GDP) hingga 2025 dapat mencapai 8 persen? Dengan penyerapan tenaga kerja di atas 10 persen? Tentu sangat sulit.

Di samping itu, nyatanya petani yang makin miskin kini malah terdapat di Jawa. Hal ini membuktikan Jawa mengambil peranan paling besar dalam pembangunan infrastruktur. Namun, dari program Infrastructur Summit yang menghasilkan dana sekitar Rp300 triliun, mengapa tak satu pun dikucurkan untuk pertanian? Sekedar membantu petani miskin di Jawa?

Kedua, menyangkut sumberdayanya. Mungkinkah bangsa ini memiliki 15 juta hektar lahan abadi untuk pertanian? Mungkinkah di Jawa nantinya satu petani akan memiliki satu hektar lahan pertanian seperti yang dicanangkan pemerintah?

Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM). Tak bisa dipungkiri sekitar 70 persen dari 50 juta petani dan buruh tani di Indonesia berpendidikan sekolah dasar (SD). Kondisi itulah yang menyebabkan kualitas SDM kita berada pada peringkat 111 dari 174 negara di dunia.

Ketiga, masalah bisnisnya. Contoh sederhana yang paling mudah dipakai adalah komoditas gula, mungkinkah tebu 40 persennya menjadi gula, 40 persennya menjadi etanol, dan 20 persennya menjadi pakan ternak dan produk lain? Mungkinkah pula 80 persen gula dapat diproduksi di luar Jawa?

Dari berbagai pengamatan juga, pada 2020 nanti, Indonesia diprediksi akan menjadi pasar ekspor bagi produk pertanian dari China karena mereka surplus. Memang, 80 persen produksi lada dunia adalah Indonesia, tapi Madagaskar sudah mulai menyalip sehingga kita perlu waspada. Memang, Indonesia pengahasil pertama kelapa dunia, tapi kalah dengan Filipina.

Mengambil definisi ekonom Indef Bustanul Arifin, revitalisasi pertanian berarti menjadikan pertanian sebagai landasan pembangunan ekonomi. Implikasinya tentu seluruh pembangunan ekonomi yang dilakukan mengacu pada sektor pertanian.

Karenanya seluruh kebijakan pembangunan ekonomi seperti pajak, perbankan, industri, perdagangan, infrastruktur, dan sebagainya acuannya adalah menggerakkan pertanian.

Tentunya dari definisi tersebut, revitalisasi pertanian akan berhasil bila dilaksanakan sebagai satu kesatuan program dengan departemen lain. Dengan saling mendukungnya kebijakan industri, perdagangan, permukiman dan prasarana wilayah, tata ruang, dan perbankan. Hasil besar yang akan didapatkan dari perpaduan komponen ini tentulah peningkatan kesejahteraan petani.

Tapi dari definisi itu, hal yang paling ditakutkan adalah munculnya privatisasi dari revitalisasi yang dicanangkan. Privatisasi yang saya maksud adalah pemerasan sektor lain yang semakin memukul dan mencekik sektor pertanian.

Hal ini muncul karena paradigma pembangunan pertanian belum sepenuhnya mampu dipahami. Revitalisasi pertanian tak memiliki himbauan ideologis yang menjadi rujukan. Memang pembangunan jangka menengah sudah dimiliki yang pastilah merujuk pada visi misi program SBY.

Sadar atau tidak sadar saat ini kita terperangkap dalam pola pikir lama. Konsep ini menempatkan petani sebagai faktor produksi yang kedudukannya sejajar dengan faktor-faktor produksi yang lainnya. Penekanan revitalisasi pertanian pada hanya berada pada dimensi ekonomi saja tanpa ketiadaan nilai-nilai ideologis yang menyebabkan draft RPPK dapat dimaknai multi-tafsir (tur)

MAUT

Pilihan-pilihan Itu Kian Jelas

Keyakinan itu, semakin membulat di kalbuku. Saat, satu per satu mata ini mulai menatap lika-liku gemulai langkahmu. Di situ, kamu janjikan kedamaian laksana mentari menatap petang dan menyambut pagi. Ceritamu, kisahmu benar-benar telah membuatku larut. Menjadikan aku rindu dan ingin segera menjemputmu....
Ajalku, andai kau telah datang, berikanlah keikhlasan pada orang-orang yang menangisinya. Ajarkanlah pada mereka tentang arti hidup. Dan, beritahukan ke semuanya bahwa hidup itu terasa berarti ketika semua telah berakhir....

Mautku, tanamkanlah didadaku ini bahwa aku rindu kepadamu. Jangan biarkan aku takut menyapamu karena ketidakmampuanku menebus semua hutang-hutang ku selama ini. Sungguh, sejatinya aku malu, jika kau jemput dengan keadaan kotor.


Kematianku, satu yang jujur ingin kukatakan saat ini: aku rindu kamu! Benar, aku rindu...bukan karena aku sakit hati dengan hidup atau takut dengan dunia ini. Tapi, aku benar-benar pasrah dan ikhlas, jika suatu saat kau siap menjemputku!