Thursday, February 28, 2008

MIGAS

Bermula dari Kisruh Bagi Hasil

Oleh Turyanto


KONTRAKTOR mana yang tak kepincut mengelola Blok Natuna D-Alpha. Lapangan gas yang ditaksir memiliki cadangan hingga 46,3 trillion cubic feet (TCF) dengan umur mencapai 20 tahun itu.

Meskipun diakui, mengebor gas Natuna bukanlah urusan gampang. Perlu ongkos tak sedikit. Malah terbilang mahal. Sebab, letaknya jauh hingga ke lepas pantai (offshore).

Tepatnya, 225 kilometer sebelah timur laut dari Pulau Natuna dan berada di kedalaman 145 meter. Sementara, Pulau Natuna terletak 600 kilometer Timur Laut Singapura dan 1.100 kilometer Utara Jakarta.

Selain itu, sekitar 71 persen dari cadangan hidrokarbon Natuna itu masih merupakan karbondioksida (CO2). Sebabnya, setiap kontaktor minyak dan gas (Migas) yang mengoperasikan blok tersebut wajib berteknologi mumpuni.

Hal inilah yang memicu biaya eksplorasi dan eksploitasi Blok Natuna bisa membengkak. Apalagi, harga gas saat itu tak seberapa menarik. Berada di bawah kisaran US$3 per kaki kubik.

Keekonomian Blok Natuna D—Alpha pun disebut-sebut begitu rendah. Biaya investasi tak sebanding dengan perolehan capaian ekonomi.

Meskipun jika dihitung-hitung dengan harga jual gas US$3 per kaki kubik saja, nilai ekonomi blok tersebut sudah cukup besar, yakni mencapai US$138 miliar dengan asumsi produksi 46 TCF.

Bermula dari alasan nilai keekonomian inilah, pengembangan Blok Natuna menjadi terbengkalai sampai kini. Walaupun potensinya telah ditemukan sejak 1973.

Pemerintah pun lantas seolah ’mengobral’ kepada investor dengan menawarkan bagi hasil 100 persen. Lalu, pemerintah memberikan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) kepada ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) pada 1985.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), Kardaya Warnika menjelaskan, memang sudah dari 1980-an Blok Natuna dikelola oleh perusahaan Esso yang kemudian berubah menjadi Exxon. Pada mulanya, pemerintah masih memeroleh bagi hasil dari pengelolaan Blok Natuna.

Tetapi sejak 1994, Esso dan PT Pertamina (Persero) mengubah kontrak dengan penguasaan sepenuhnya oleh Esso. Dalam kontrak tersebut, Esso yang kemudian berganti nama menjadi Exxon, menguasai 76 persen Blok Natuna. Sedangkan sisanya 24 persen menjadi milik Pertamina.

Namun, porsi bagi hasil kontrak ini dinilai sangat timpang karena Exxon kemudian mendapatkan 100 persen dari hasil eksploitasi gas Natuna, sedangkan pemerintah nol persen. Pemerintah pusat cuma kebagian pajak saja.

”Setelah itu ada suatu kontrak yang berjudul basic agreement. Antara Pertamina dengan Esso. Dalam basic agreement itu diaturlah pembagiannya. Pemerintah hanya dapat pajak,” tutur Kardaya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Tetapi, cukup disayangkan, setelah hampir 20 tahun berjalan, justru Exxon belum berbuat apa-apa terhadap Natuna. Eksplorasi blok inipun dibiarkan terkatung-katung begitu saja. Hingga sampai kini Natuna belum juga berproduksi.

”Setahu saya saat itu Exxon lebih kepincut mengeksploitasi sumur gasnya di kawasan Teluk, khususnya Qatar. Natuna lalu ditinggakan. Meski mereka sudah teken kontrak,” kata Wahyudin Munawir, anggota Komisi VII DPR kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, rupanya setelah melihat kecenderungan harga gas yang terus melambung di pasar dunia, Exxon kembali melirik Natuna. Kendati, lanjut dia, berdasarkan perjanjian awal yang dibuat pada 1985, kontrak Exxon otomotis terputus (terminated) pada 9 Januari 2005. Dan, setelah itu, Exxon wajib menyerahkan pengelolaan Natuna kepada pemerintah Indonesia.

Tapi, perusahaan migas asal negara Paman Sam itu, tetap ngotot mengelola blok tersebut. Dengan dalih Exxon telah memberikan surat pernyataan akan melanjutkan kontrak. Exxon bersikeras melanjutkan eksplorasi Natuna karena kontrak baru berakhir pada tahun 2009.

Akhirnya, karena adanya perubahan perjanjian dasar, maka pemerintah lantas memberikan perpanjangan hingga 2007 untuk negosiasi ulang.

”Mereka (Exxon) itu tak mau diputus kontraknya begitu saja oleh pemerintah. Dia merasa masih berhak melanjutkan kontrak itu sampai 2009,” tutur Wahyudin.

Memang, kini kondisi berbalik. Harga gas alam kian kinclong. Terdorong semakin tingginya permintaan pasar dunia. Bahkan, dalam tiga bulan terakhir ini harga gas global mencatat rekor baru.

New York Mercantile Exchange melaporkan, harga gas alam untuk pengiriman Maret 2008 menguat hingga 23 sen atau 2,8 persen ke posisi US$8,531 per million british thermal unit (mBtu). Bahkan, sejak penutupan 1 Februari lalu, harga gas alam telah menguat 10,3 persen di level US$7,74 dan 14,2 persen pada bulan berjalan 2008.

Situasi ini tentu membuat operator migas manapun tergiur mengelola Blok Natuna. Sebab, kendati kebutuhan investasinya besar, tetapi cadangan gasnya juga cukup menggiurkan. Dengan begitu, jika harga gas di pasar dunia kian melambung, maka nilai keekonomisan Blok Natuna kian mendulang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemerintah tetap mengambil posisi ingin memutus kontrak pengelolaan Blok Natuna D Alpha yang dipegang oleh ExxonMobil.

Kendati sampai kini proses negosiasi ulang kontrak antara pemerintah dan pihak Exxon terus berlanjut hingga menemui jalan buntu. ”Ada sekitar sembilan masalahan yang tak mencapai titik temu. Antara lain soal split (bagi hasil), pajak, cost (biaya) dan lainnya,” katanya.

Purnomo mengakui, dulu bagi hasil nol persen yang diberikan pemerintah merupakan strategi agar Blok Natuna dapat dikelola terlebih dahulu. Sebab, kandungan CO2 di blok itu cukup besar sehingga dibutuhkan teknologi tinggi.

Dia menjelaskan, langkah pemerintah memutus kontrak Exxon sebenarnya berdasar pada perjanjian yang ada. Hal ini karena Natuna dibiarkan mangkrak kurang lebih 10 tahun hingga 2004 dan tak ada tanda-tanda Exxon akan mengeskplorasi.

Menurut Purnomo, Exxon hanya menyampaikan selembar surat bahwa itu commercial paper. Karena itu, ketika BP Migas menolak surat Exxon, maka secara otomatis kontrak mereka berhenti tepat 1 Januari 2005.

Argumen pemerintah itu dinilai Purnomo cukup kuat mengingat berdasar basic aggrement 1985, comemercial paper bukan hanya selembar surat tapi harus diikuti dengan feasibility studies, dan suatu cashflow analysist.

Sementara itu, President Direktur ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI), Peter Coleman mengakui tak bisa menentukan kapan proses negosiasi Blok Natuna D Alpha dengan pemerintah selesai. Dia menuturkan, pihaknya telah membicarakan masalah ini dengan baik sejak 2007.

”Sampai kini negosiasi Natuna masih berlangsung dan berjalan dengan baik. Kami duduk bersama, berdiskusi, dan saling bertukar pikiran mencari jawaban yang terbaik bagi semuanya," katanya.

Juru Bicara ExxonMobil, Deva Rahman menambahkan, pengajuan surat kontrak oleh perusahaannya memungkinkan dilakukan karena karakteristik Blok Natuna tergolong unik jika ketimbang kawasan lain. ”Situasi ini membuat kami belum maksimal memproduksi gas Natuna. Bukan membiarkan atau karena tergiur oleh harga gas.”

Dia menuturkan, Blok Natuna 70 persen dari kandungannya terdiri dari CO2. Karena itu, untuk mengelola Blok tersebut diperlukan teknologi dan biaya tinggi. ”Isi kontrak Exxon selama ini tak curang. Pemerintah dan para pejabat telah

menyepakati skema itu,” ujarnya.

TAMBANG


Kisruh Batu Bara

oleh Turyanto


SEKRETARIS Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ernovian G. Ismy mengaku miris dengan nasib yang tengah dialami pihaknya belakangan ini. Belum saja sembuh derita industri tekstil akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tiga tahun silam, kini persoalan baru terkait pasokan bahan bakar kembali muncul.

Pemakaian batu bara yang semula digadang-gadang bisa menjadi alternatif murah dan mudah pengganti BBM, ternyata tak seindah janji di atas kertas. Terutama, sejak sejumlah industri tekstil mulai awal Januari lalu kian sulit mendapat pasokan komoditas itu di pasaran.

”Akibatnya dua perusahaan TPT berstatus PMA (perusahaan milik asing) kini sekarat. Satu perusahaan di Bandung juga lima hari ini kehabisan pasokan. Malah di Tangerang ada yang dua bulan tak mendapat batu bara dari Kalimantan,” katanya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Ernovian, krisis pasokan batu bara tersebut juga ikut mengancam kelangsungan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang bergerak di sektor pengolahan serat sintetis (viscose staple fibre). Tercatat, terdapat 50 pabrik skala besar di Jawa Tengah dan 140 pabrik TPT di Jawa Barat yang kini mengalami krisis pasokan batu bara.

Dia mengatakan, untuk satu pabrik tekstil berskala besar umumnya butuh 400 ribu ton batu bara per tahun. Ini digunakan sebagai sumber energi.

Selain itu, akibat gelombang tinggi di beberapa pantai Jawa Barat, termasuk di Pelabuhan Cirebon, pasokan batu bara ke kalangan industri juga semakin tersendat. Bahkan, kiriman bahan bakar itu ke industri TPT di sejumlah pabrik di Jawa Barat sudah berhenti total.

”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam 2–3 pekan ke depan produksi industri TPT di Jawa Barat bisa terhenti,” tuturnya.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat, Ade Sudrajat menambahkan, lebih mengkhawatirkan lagi jika industri TPT yang menggunakan batu bara itu berorientasi ekspor. Sebab, kalau sampai menghentikan produksinya maka bisa berakibat fatal bagi seluruh industri TPT di Jawa Barat. ”Semua akan kena imbasnya.”

Menurut Ade, di Bandung Raya saja kini terdapat 140 dari 450 industri TPT yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar utamanya. Kebutuhan rata-rata 5.000 ton per hari. “Kalau harus beralih ke energi lain, produksi jadi tak efisien dan bisa merugi,” ujarnya.

Kisruh pasokan batu bara itu, ternyata tak hanya menimpa industri tekstil. Industri semen juga ikut kena getahnya. Bahkan, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ikut-ikutan meminta pemerintah menerapkan kebijakan pasok ke dalam negeri (domestic market obligation/DMO) untuk menjamin ketersediaan batu bara nasional.

PLN khawatir, pasokan komoditas itu tak lagi mencukupi kebutuhan nasional yang terus meningkat. Khususnya, setelah program pembangkit 10 ribu megawatt (MW) beroperasi pada 2009-2010. Apalagi, untuk memuluskan program nasional 10 ribu MW itu, perlu tambahan pasokan batu bara dalam negeri 50 juta ton per tahun. Kini kebutuhan domestik diperkirakan baru mencapai 50 juta ton per tahun.

Padahal, jika melihat hitung-hitungan pemerintah, mestinya kisruh batu bara di kalangan industri itu, tak perlu terjadi. Sebab, tak pernah ada masalah dengan produksi. Jadi, sekedar mencukupi kebutuhan domestik, angka produksi masih jauh di atas total permintaan seluruh industri nasional.

Namun, akibat tak adanya aturan wajib bagi produsen batu bara dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan lokal terlebih dahulu, membuat mereka lebih memburu permintaan pasar global ketimbang memasok pasar domestik. Apalagi, harga batu bara di pasar internasional memang tengah kinclong.

Berdasarkan data Ditjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara nasional tumbuh rata-rata 15 persen per tahun. Pada 2007 lalu, produksi batu bara nasional mencapai 215 juta ton, atau naik 11,39 persen dari 193 juta ton pada 2006.

Tetapi, kenaikan tersebut juga diikuti dengan melonjaknya ekspor batu bara ke sejumlah negara tujuan. Jika pada 2006 ekspor komoditas itu hanya 148 juta ton, maka pada 2007 naik menjadi 165 juta ton. Kontras dengan alokasi untuk kebutuhan domestik yang hanya 45 juta ton (2006) dan 49 juta ton (2007). Selama ini, Jepang, Korea, Taiwan merupakan negara tujuan ekspor terbesar, disusul China dan India.

Sementara, harga batu bara di pasar global juga melesat sampai ke level tertinggi, yakni US$92-US$94 per ton. Hal ini kian mendorong ekspor batu bara Indonesia secara besar-besaran.

”Karena itu, kami mendesak pemerintah menjamin 60 persen produksi batu bara untuk memenuhi kebutuhan domestik terlebih dahulu,” tegas Ernovian.

Menanggapi persoalan yang dihadapi industri tersebut, Direktur Pembinaan Usaha Mineral dan Batubara ESDM, MS Marpaung justru menuding rumitnya pasokan batu bara bermula dari ulah industri yang tak pernah jelas melaporkan kebutuhan riil mereka.

”Termasuk dari mana industri itu mendapatkannya dan berapa harga yang yang dibayarkan. Ini semua tak ada yang jelas,” tuturnya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, akibat ketidaktahuan kebutuhan batu bara secara riil untuk konsumsi domestik itu, pihaknya kesulitan menerapkan aturan DMO. Sebab, jika dipaksakan kinerja perusahaan batu bara juga bisa terganggu.

Penurunan pasokan batu bara yang dikeluhkan kalangan industri semen dan tekstil belakangan ini, yang kemudian memunculkan wacana penetapan regulasi DMO, kata Marpaung, disebabkan karena industri terkait tak pernah membuka angka kebutuhan batu baranya kepada pemerintah.

Dia mengatakan, selama ini memang ada beberapa industri yang terbiasa membeli dari penambang batu bara tanpa ijin (PETI) karena harganya murah. Namun, pasokan dari PETI ternyata tidak bisa berkelanjutan. Jadi ketika para penambang ilegal itu tak bisa lagi memasok, maka barulah industri menjerit.

Menurut dia, harusnya industri mengajukan kebutuhan batu bara setidaknya setiap bulan Agustus atau enam bulan sebelum perusahaan batu bara mengesahkan rencana produksi di awal tahun.

”Kalau tetap 30 juta ton, ternyata menjadi 40 juta ton bagaimana? Bahkan kalau kebutuhannya kurang dari 30 juta ton? Batu bara itu kan tak bisa disimpan lama karena bisa terbakar sendiri,” katanya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menilai, seretnya pasokan batu bara ke sektor industri karena maraknya aksi penyelundupan ke luar negeri. Hal itu diperparah dengan sikap beberapa pelaku industri yang memperoleh pasokan batu bara secara ilegal.

“Ada 10 juta sampai 12 juta ton batu bara ilegal berasal dari pemasok batu bara berskala kecil. Harganya memang lebih murah, tapi kontinuitas pasokannya tidak terjamin,” katanya ketika dihubungi Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Sofjan, ketidakjelasan pemetaan mengenai kebutuhan batu bara dan ketiadaan kontrak jangka panjang menyebabkan pasokan bagi industri di dalam negeri tidak pernah pasti. Kesulitan pasokan juga terjadi karena pengusaha batu bara lebih suka mengekspor ketimbang memasok industri di dalam negeri.

“Harus ada pemetaan yang jelas mengenai kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Harga jual batu bara di dalam negeri pastinya tak boleh lebih murah dibandingkan harga di luar,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Soedjoko Tirtosoekotjo menyatakan langkah terbaik yang harus diambil pemerintah saat ini adalah tetap membuat kewajiban DMO dan diikuti dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP). Sebab, tanpa PP kebijakan ini tak akan efektif.

Menurut dia, jika PP itu ikut diterbitkan, baik perusahaan yang memegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) maupun kuasa pertambangan (KP) bakal wajib menerapkan DMO. Karena selama ini, hanya PKP2B saja yang terkena aturan harus memprioritaskan pasokan ke dalam negeri, sedangkan KP tidak.

”Kami usul DMO itu memakai rumus jumlah produksi perusahaan dibagi produksi nasional lalu dikali kebutuhan domestik,” ujarnya.

Soedjoko mengatakan, dengan DMO pula, penggunaan broker batu bara bisa terkurangi sehingga terjadi kesetaraan bagi semua produsen batubara di Indonesia. ”Kami akan senang menjual batu bara ke dalam negeri ketimbang ekspor kalau harganya sama.”

MIGAS



Audit Migas

Memburu Luapan Aliran Cost Recovery

oleh Turyanto

SELURUH kontraktor minyak dan gas (Migas) di dalam negeri tahun ini tampaknya dibuat tak bisa tidur dengan nyenyak. Sebab, tak lama lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menerjunkan tim guna mengaudit semua Kontraktor Production Sharing (KPS), terkait klaim penggantian biaya produksi (cost recovery) migas selama ini.

Jika tahun-tahun lalu, BPK cuma mengaudit 11 KPS, maka pada 2008 ini lembaga itu bakal memeriksa seluruh kontraktor migas di Indonesia. Kini, jumlah kontraktor itu mencapai 46—47 perusahaan.

Langkah BPK tersebut, tentu terbilang maju. Maklumlah, selama ini transparasi pengelolaan keuangan di sektor energi tergolong sulit dilakukan. Apalagi, terkait cost recovery. Biaya kegiatan perminyakan yang menjadi tanggungan pemerintah itu, setiap tahun selalu menjadi isu santer. Penyababnya, apalagi kalau bukan soal urusan klaim duit yang dinilai janggal.

Bayangkan saja, dengan produksi minyak nasional yang kian turun di bawah satu juta barel per hari saat ini, tetapi mengapa cost recovery yang harus dibayar pemerintah semakin membangkak tiap tahunnya? Malah bisa disebut makin menggila.

Tak percaya? Lihat saja data yang dipunyai Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Jika pada 2004, untuk memproduksi minyak sebesar 1,96 juta barel per hari pemerintah cukup merogoh kocek US$4,99 miliar, tetapi pada 2007 nilai cost recovery yang harus dikeluarkan nyaris menyentuh US$9 miliar.

Padahal, produksi minyak tahun lalu turun hingga di bawah 1 juta barel per hari. Itu artinya, biaya produksi minyak di Indonesia pada 2007 cukup mahal. Yaitu, rata-rata US$14,8 per barel. Kontras dengan negara lain yang hanya US$6 per barel.

Tentu saja, secara hitung-hitungan sederhana lonjakan itu tak masuk akal. Pemerintah seperti kecolongan. Sebab, beban yang ditanggung kian menggelembung. Tetapi, produksi minyak nasional malah melempem.

”Kami (BPK) banyak menemukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan KPS dalam biaya cost recovery. Karena itu, semua KPS akan diaudit,” tutur Auditor BPK, Arief Handoko.

Menurut dia, alasan BPK hendak mengaudit seluruh KPS pada tahun ini sudah sangat jelas. BPK, ingin membantu pemerintah agar mendapatkan hasil optimal dari setiap kontrak karya di sektor energi dan pertambangan. Jadi, jangan sampai terdapat akal-akalan dalam sistem perhitungan cost recovery oleh KPS.

”Kalau semua dihitung dalam cost recovery, ya pemerintah dapat apa. Karena itu, kami akan audit seluruhnya. Biar KPS yang ada ini juga bisa transparan.”

Arif menuturkan, selama ini aturan klaim cost recovery kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi tak pernah jelas. Akibatnya, klaim cost recovery menjadi tak terkontrol.

Karena ada aturan yang sumir tersebut, akhirnya kontraktor pun mengaitkan kegiatan yang terkadang tak ada kaitannya dengan produksi, seperti membangun image perusahaan. ”Tapi, setiap kami temukan masalah, selalu saja ada bantahan dari mereka,” kata dia.

Selain itu, ujar dia, klaim restitusi pajak dalam komponen cost recovery selama ini juga merupakan komponen yang paling mencurigakan.

Berdasarkan temuan BPK, ongkos terbesar yang dibebankan kepada cost recovery adalah beban bunga recovery atau interest recovery serta klaim restitusi yang dalam kontrak migas yang lebih lazim disebut reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Interest recovery adalah bunga yang harus ditanggung pemerintah karena KPS telah mengeluarkan uang untuk investasi. Investasi dari KPS itu dianggap sebagai kredit sehingga pemerintah harus menanggung bunganya.

Sementara untuk PPN, semua KPS memang hanya terkena dua pajak, yakni pajak penghasilan perusahaan dan pajak atas bunga, dividen, maupun royalti. Di luar ketiga pos itu, kontraktor bebas dari pajak termasuk PPN. Hanya saja, dalam pelaksanaannya KPS harus membayar PPN terlebih dulu kepada para pemasok barang dan jasa yang mereka beli atau sewa.

Sebagai gantinya, KPS akan meminta pengembalian PPN tadi kepada pemerintah. Bedanya dengan restitusi pajak biasa, reimbursment ini berupa minyak mentah. Verifikasi terhadap reimbursement PPN KPS itu cukup dilakukan BP Migas.

Sedangkan aparat pajak harus rela menerima pembayaran PPN sesuai dengan pengakuan pemasok. ”Karena itu, kami curiga pada pos ini banyak terjadi penggelembungan PPN oleh KPS. Karena itu BPK akan berupaya masuk ke situ," kata Arief.

Selain itu, aparat pajak juga kesulitan mengecek kesahihan angka-angkanya. Soalnya, pembayaran reimbursement KPS berasal dari rekening pemerintah khusus yang menampung penerimaan migas, sedangkan pembayaran PPN oleh pemasok tertuju kepada rekening khusus penerimaan pajak. ”Ini rumit.”

Sebelumnya, Ketua BPK, Anwar Nasution mengatakan, selama ini transparasi sektor migas memang banyak menjadi pertanyaan berbagai pihak. Apalagi, ujar dia, dari hasil pemeriksaan BPK ditemukan laporan keuangan BP Migas memiliki status advers.

Karena itu, dia meminta BP migas segera memperbaiki laporannya dengan menggunakan standar akuntansi yang memadai. ”BP Migas itu kan terima duit dalam dolar AS (Amerika Serikat), jadi mereka bisa sewa konsultan dan akuntan yang terbaik di muka bumi. Dia terima duit banyak, kenapa mereka tidak melakukan?” ujar Anwar.

Menanggapi hal ini, President Director Star Energy, Supramu Santosa justru mempertanyakan parameter apa yang dipakai, sehingga ada penilaian cost recovery naik. Dia berpendapat, meskipun cost recovery naik, tetapi toh pendapatan negara dari migas tahun ini ikut naik menjadi US$24,6 miliar.

“Ini kan artinya sama besarnya. Kalau pengeluaran naik, pendapatan ikut naik. Kecuali, jika pendapatan pemerintah di sektor migas turun. Itu baru patut dipertanyakan,” katanya.

Menurut Supramu, penyebab mengapa cost recover naik meski produksi minyak menurun adalah karena saat ini harga minyak sedang mencapai posisi yang tinggi. Jadi, memicu kegiatan eksplorasi bahkan di lapangan-lapangan marjinal.

Dampaknya, dibutuhkan biaya untuk pengadaan barang dan jasa seperti harga besi dan baja yang juga naik sampai 50 persen beberapa tahun ini.

"Ongkos perusahaan jadi naik, dan men-trigger cost recovery," katanya.

Selain itu, saat ini masih banyak dibuka lapangan-lapangan baru yang membutuhkan investasi. Padahal, produksi belum mencapai tingkat yang diinginkan. Ditambah lagi, pengadaan rig dengan sistem tunjuk langsung karena mendesak sehingga biayanya menjadi lebih mahal.

Direktur Utama Medco Energi Internasional, Hilmi Panigoro menambahkan, selama ini cost recovery merupakan salah satu faktor penarik investor untuk melakukan eksplorasi di Indonesia.

Dia menyatakan cost recovery perusahaan yang dikelolanya tak pernah lebih dari 35 persen. "Efisiensi sudah kami lakukan."

Menurut dia, pihaknya tak mempersoalkan semua keinginan pemerintah menghitung ulang cost recovery. Kontraktor, ujar dia, tak pernah menyembunyikan setiap pengeluaran yang ada.

Dia menuturkan, cost recovery merupakan isu tahunan yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang baru yang tidak mengerti persoalan. ”Kami siap-siap saja diaudit.”