Thursday, February 28, 2008

MIGAS



Audit Migas

Memburu Luapan Aliran Cost Recovery

oleh Turyanto

SELURUH kontraktor minyak dan gas (Migas) di dalam negeri tahun ini tampaknya dibuat tak bisa tidur dengan nyenyak. Sebab, tak lama lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan menerjunkan tim guna mengaudit semua Kontraktor Production Sharing (KPS), terkait klaim penggantian biaya produksi (cost recovery) migas selama ini.

Jika tahun-tahun lalu, BPK cuma mengaudit 11 KPS, maka pada 2008 ini lembaga itu bakal memeriksa seluruh kontraktor migas di Indonesia. Kini, jumlah kontraktor itu mencapai 46—47 perusahaan.

Langkah BPK tersebut, tentu terbilang maju. Maklumlah, selama ini transparasi pengelolaan keuangan di sektor energi tergolong sulit dilakukan. Apalagi, terkait cost recovery. Biaya kegiatan perminyakan yang menjadi tanggungan pemerintah itu, setiap tahun selalu menjadi isu santer. Penyababnya, apalagi kalau bukan soal urusan klaim duit yang dinilai janggal.

Bayangkan saja, dengan produksi minyak nasional yang kian turun di bawah satu juta barel per hari saat ini, tetapi mengapa cost recovery yang harus dibayar pemerintah semakin membangkak tiap tahunnya? Malah bisa disebut makin menggila.

Tak percaya? Lihat saja data yang dipunyai Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas). Jika pada 2004, untuk memproduksi minyak sebesar 1,96 juta barel per hari pemerintah cukup merogoh kocek US$4,99 miliar, tetapi pada 2007 nilai cost recovery yang harus dikeluarkan nyaris menyentuh US$9 miliar.

Padahal, produksi minyak tahun lalu turun hingga di bawah 1 juta barel per hari. Itu artinya, biaya produksi minyak di Indonesia pada 2007 cukup mahal. Yaitu, rata-rata US$14,8 per barel. Kontras dengan negara lain yang hanya US$6 per barel.

Tentu saja, secara hitung-hitungan sederhana lonjakan itu tak masuk akal. Pemerintah seperti kecolongan. Sebab, beban yang ditanggung kian menggelembung. Tetapi, produksi minyak nasional malah melempem.

”Kami (BPK) banyak menemukan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan KPS dalam biaya cost recovery. Karena itu, semua KPS akan diaudit,” tutur Auditor BPK, Arief Handoko.

Menurut dia, alasan BPK hendak mengaudit seluruh KPS pada tahun ini sudah sangat jelas. BPK, ingin membantu pemerintah agar mendapatkan hasil optimal dari setiap kontrak karya di sektor energi dan pertambangan. Jadi, jangan sampai terdapat akal-akalan dalam sistem perhitungan cost recovery oleh KPS.

”Kalau semua dihitung dalam cost recovery, ya pemerintah dapat apa. Karena itu, kami akan audit seluruhnya. Biar KPS yang ada ini juga bisa transparan.”

Arif menuturkan, selama ini aturan klaim cost recovery kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi tak pernah jelas. Akibatnya, klaim cost recovery menjadi tak terkontrol.

Karena ada aturan yang sumir tersebut, akhirnya kontraktor pun mengaitkan kegiatan yang terkadang tak ada kaitannya dengan produksi, seperti membangun image perusahaan. ”Tapi, setiap kami temukan masalah, selalu saja ada bantahan dari mereka,” kata dia.

Selain itu, ujar dia, klaim restitusi pajak dalam komponen cost recovery selama ini juga merupakan komponen yang paling mencurigakan.

Berdasarkan temuan BPK, ongkos terbesar yang dibebankan kepada cost recovery adalah beban bunga recovery atau interest recovery serta klaim restitusi yang dalam kontrak migas yang lebih lazim disebut reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Interest recovery adalah bunga yang harus ditanggung pemerintah karena KPS telah mengeluarkan uang untuk investasi. Investasi dari KPS itu dianggap sebagai kredit sehingga pemerintah harus menanggung bunganya.

Sementara untuk PPN, semua KPS memang hanya terkena dua pajak, yakni pajak penghasilan perusahaan dan pajak atas bunga, dividen, maupun royalti. Di luar ketiga pos itu, kontraktor bebas dari pajak termasuk PPN. Hanya saja, dalam pelaksanaannya KPS harus membayar PPN terlebih dulu kepada para pemasok barang dan jasa yang mereka beli atau sewa.

Sebagai gantinya, KPS akan meminta pengembalian PPN tadi kepada pemerintah. Bedanya dengan restitusi pajak biasa, reimbursment ini berupa minyak mentah. Verifikasi terhadap reimbursement PPN KPS itu cukup dilakukan BP Migas.

Sedangkan aparat pajak harus rela menerima pembayaran PPN sesuai dengan pengakuan pemasok. ”Karena itu, kami curiga pada pos ini banyak terjadi penggelembungan PPN oleh KPS. Karena itu BPK akan berupaya masuk ke situ," kata Arief.

Selain itu, aparat pajak juga kesulitan mengecek kesahihan angka-angkanya. Soalnya, pembayaran reimbursement KPS berasal dari rekening pemerintah khusus yang menampung penerimaan migas, sedangkan pembayaran PPN oleh pemasok tertuju kepada rekening khusus penerimaan pajak. ”Ini rumit.”

Sebelumnya, Ketua BPK, Anwar Nasution mengatakan, selama ini transparasi sektor migas memang banyak menjadi pertanyaan berbagai pihak. Apalagi, ujar dia, dari hasil pemeriksaan BPK ditemukan laporan keuangan BP Migas memiliki status advers.

Karena itu, dia meminta BP migas segera memperbaiki laporannya dengan menggunakan standar akuntansi yang memadai. ”BP Migas itu kan terima duit dalam dolar AS (Amerika Serikat), jadi mereka bisa sewa konsultan dan akuntan yang terbaik di muka bumi. Dia terima duit banyak, kenapa mereka tidak melakukan?” ujar Anwar.

Menanggapi hal ini, President Director Star Energy, Supramu Santosa justru mempertanyakan parameter apa yang dipakai, sehingga ada penilaian cost recovery naik. Dia berpendapat, meskipun cost recovery naik, tetapi toh pendapatan negara dari migas tahun ini ikut naik menjadi US$24,6 miliar.

“Ini kan artinya sama besarnya. Kalau pengeluaran naik, pendapatan ikut naik. Kecuali, jika pendapatan pemerintah di sektor migas turun. Itu baru patut dipertanyakan,” katanya.

Menurut Supramu, penyebab mengapa cost recover naik meski produksi minyak menurun adalah karena saat ini harga minyak sedang mencapai posisi yang tinggi. Jadi, memicu kegiatan eksplorasi bahkan di lapangan-lapangan marjinal.

Dampaknya, dibutuhkan biaya untuk pengadaan barang dan jasa seperti harga besi dan baja yang juga naik sampai 50 persen beberapa tahun ini.

"Ongkos perusahaan jadi naik, dan men-trigger cost recovery," katanya.

Selain itu, saat ini masih banyak dibuka lapangan-lapangan baru yang membutuhkan investasi. Padahal, produksi belum mencapai tingkat yang diinginkan. Ditambah lagi, pengadaan rig dengan sistem tunjuk langsung karena mendesak sehingga biayanya menjadi lebih mahal.

Direktur Utama Medco Energi Internasional, Hilmi Panigoro menambahkan, selama ini cost recovery merupakan salah satu faktor penarik investor untuk melakukan eksplorasi di Indonesia.

Dia menyatakan cost recovery perusahaan yang dikelolanya tak pernah lebih dari 35 persen. "Efisiensi sudah kami lakukan."

Menurut dia, pihaknya tak mempersoalkan semua keinginan pemerintah menghitung ulang cost recovery. Kontraktor, ujar dia, tak pernah menyembunyikan setiap pengeluaran yang ada.

Dia menuturkan, cost recovery merupakan isu tahunan yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang baru yang tidak mengerti persoalan. ”Kami siap-siap saja diaudit.”

No comments: