Thursday, February 28, 2008

MIGAS

Bermula dari Kisruh Bagi Hasil

Oleh Turyanto


KONTRAKTOR mana yang tak kepincut mengelola Blok Natuna D-Alpha. Lapangan gas yang ditaksir memiliki cadangan hingga 46,3 trillion cubic feet (TCF) dengan umur mencapai 20 tahun itu.

Meskipun diakui, mengebor gas Natuna bukanlah urusan gampang. Perlu ongkos tak sedikit. Malah terbilang mahal. Sebab, letaknya jauh hingga ke lepas pantai (offshore).

Tepatnya, 225 kilometer sebelah timur laut dari Pulau Natuna dan berada di kedalaman 145 meter. Sementara, Pulau Natuna terletak 600 kilometer Timur Laut Singapura dan 1.100 kilometer Utara Jakarta.

Selain itu, sekitar 71 persen dari cadangan hidrokarbon Natuna itu masih merupakan karbondioksida (CO2). Sebabnya, setiap kontaktor minyak dan gas (Migas) yang mengoperasikan blok tersebut wajib berteknologi mumpuni.

Hal inilah yang memicu biaya eksplorasi dan eksploitasi Blok Natuna bisa membengkak. Apalagi, harga gas saat itu tak seberapa menarik. Berada di bawah kisaran US$3 per kaki kubik.

Keekonomian Blok Natuna D—Alpha pun disebut-sebut begitu rendah. Biaya investasi tak sebanding dengan perolehan capaian ekonomi.

Meskipun jika dihitung-hitung dengan harga jual gas US$3 per kaki kubik saja, nilai ekonomi blok tersebut sudah cukup besar, yakni mencapai US$138 miliar dengan asumsi produksi 46 TCF.

Bermula dari alasan nilai keekonomian inilah, pengembangan Blok Natuna menjadi terbengkalai sampai kini. Walaupun potensinya telah ditemukan sejak 1973.

Pemerintah pun lantas seolah ’mengobral’ kepada investor dengan menawarkan bagi hasil 100 persen. Lalu, pemerintah memberikan kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) kepada ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) pada 1985.

Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), Kardaya Warnika menjelaskan, memang sudah dari 1980-an Blok Natuna dikelola oleh perusahaan Esso yang kemudian berubah menjadi Exxon. Pada mulanya, pemerintah masih memeroleh bagi hasil dari pengelolaan Blok Natuna.

Tetapi sejak 1994, Esso dan PT Pertamina (Persero) mengubah kontrak dengan penguasaan sepenuhnya oleh Esso. Dalam kontrak tersebut, Esso yang kemudian berganti nama menjadi Exxon, menguasai 76 persen Blok Natuna. Sedangkan sisanya 24 persen menjadi milik Pertamina.

Namun, porsi bagi hasil kontrak ini dinilai sangat timpang karena Exxon kemudian mendapatkan 100 persen dari hasil eksploitasi gas Natuna, sedangkan pemerintah nol persen. Pemerintah pusat cuma kebagian pajak saja.

”Setelah itu ada suatu kontrak yang berjudul basic agreement. Antara Pertamina dengan Esso. Dalam basic agreement itu diaturlah pembagiannya. Pemerintah hanya dapat pajak,” tutur Kardaya kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Tetapi, cukup disayangkan, setelah hampir 20 tahun berjalan, justru Exxon belum berbuat apa-apa terhadap Natuna. Eksplorasi blok inipun dibiarkan terkatung-katung begitu saja. Hingga sampai kini Natuna belum juga berproduksi.

”Setahu saya saat itu Exxon lebih kepincut mengeksploitasi sumur gasnya di kawasan Teluk, khususnya Qatar. Natuna lalu ditinggakan. Meski mereka sudah teken kontrak,” kata Wahyudin Munawir, anggota Komisi VII DPR kepada Jurnal Nasional di Jakarta, pekan lalu.

Menurut dia, rupanya setelah melihat kecenderungan harga gas yang terus melambung di pasar dunia, Exxon kembali melirik Natuna. Kendati, lanjut dia, berdasarkan perjanjian awal yang dibuat pada 1985, kontrak Exxon otomotis terputus (terminated) pada 9 Januari 2005. Dan, setelah itu, Exxon wajib menyerahkan pengelolaan Natuna kepada pemerintah Indonesia.

Tapi, perusahaan migas asal negara Paman Sam itu, tetap ngotot mengelola blok tersebut. Dengan dalih Exxon telah memberikan surat pernyataan akan melanjutkan kontrak. Exxon bersikeras melanjutkan eksplorasi Natuna karena kontrak baru berakhir pada tahun 2009.

Akhirnya, karena adanya perubahan perjanjian dasar, maka pemerintah lantas memberikan perpanjangan hingga 2007 untuk negosiasi ulang.

”Mereka (Exxon) itu tak mau diputus kontraknya begitu saja oleh pemerintah. Dia merasa masih berhak melanjutkan kontrak itu sampai 2009,” tutur Wahyudin.

Memang, kini kondisi berbalik. Harga gas alam kian kinclong. Terdorong semakin tingginya permintaan pasar dunia. Bahkan, dalam tiga bulan terakhir ini harga gas global mencatat rekor baru.

New York Mercantile Exchange melaporkan, harga gas alam untuk pengiriman Maret 2008 menguat hingga 23 sen atau 2,8 persen ke posisi US$8,531 per million british thermal unit (mBtu). Bahkan, sejak penutupan 1 Februari lalu, harga gas alam telah menguat 10,3 persen di level US$7,74 dan 14,2 persen pada bulan berjalan 2008.

Situasi ini tentu membuat operator migas manapun tergiur mengelola Blok Natuna. Sebab, kendati kebutuhan investasinya besar, tetapi cadangan gasnya juga cukup menggiurkan. Dengan begitu, jika harga gas di pasar dunia kian melambung, maka nilai keekonomisan Blok Natuna kian mendulang.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro mengatakan, pemerintah tetap mengambil posisi ingin memutus kontrak pengelolaan Blok Natuna D Alpha yang dipegang oleh ExxonMobil.

Kendati sampai kini proses negosiasi ulang kontrak antara pemerintah dan pihak Exxon terus berlanjut hingga menemui jalan buntu. ”Ada sekitar sembilan masalahan yang tak mencapai titik temu. Antara lain soal split (bagi hasil), pajak, cost (biaya) dan lainnya,” katanya.

Purnomo mengakui, dulu bagi hasil nol persen yang diberikan pemerintah merupakan strategi agar Blok Natuna dapat dikelola terlebih dahulu. Sebab, kandungan CO2 di blok itu cukup besar sehingga dibutuhkan teknologi tinggi.

Dia menjelaskan, langkah pemerintah memutus kontrak Exxon sebenarnya berdasar pada perjanjian yang ada. Hal ini karena Natuna dibiarkan mangkrak kurang lebih 10 tahun hingga 2004 dan tak ada tanda-tanda Exxon akan mengeskplorasi.

Menurut Purnomo, Exxon hanya menyampaikan selembar surat bahwa itu commercial paper. Karena itu, ketika BP Migas menolak surat Exxon, maka secara otomatis kontrak mereka berhenti tepat 1 Januari 2005.

Argumen pemerintah itu dinilai Purnomo cukup kuat mengingat berdasar basic aggrement 1985, comemercial paper bukan hanya selembar surat tapi harus diikuti dengan feasibility studies, dan suatu cashflow analysist.

Sementara itu, President Direktur ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI), Peter Coleman mengakui tak bisa menentukan kapan proses negosiasi Blok Natuna D Alpha dengan pemerintah selesai. Dia menuturkan, pihaknya telah membicarakan masalah ini dengan baik sejak 2007.

”Sampai kini negosiasi Natuna masih berlangsung dan berjalan dengan baik. Kami duduk bersama, berdiskusi, dan saling bertukar pikiran mencari jawaban yang terbaik bagi semuanya," katanya.

Juru Bicara ExxonMobil, Deva Rahman menambahkan, pengajuan surat kontrak oleh perusahaannya memungkinkan dilakukan karena karakteristik Blok Natuna tergolong unik jika ketimbang kawasan lain. ”Situasi ini membuat kami belum maksimal memproduksi gas Natuna. Bukan membiarkan atau karena tergiur oleh harga gas.”

Dia menuturkan, Blok Natuna 70 persen dari kandungannya terdiri dari CO2. Karena itu, untuk mengelola Blok tersebut diperlukan teknologi dan biaya tinggi. ”Isi kontrak Exxon selama ini tak curang. Pemerintah dan para pejabat telah

menyepakati skema itu,” ujarnya.

No comments: