Thursday, October 12, 2006

SOAL EPA

RI Harus Hati-hati dalam Perundingan EPA
Oleh Turyanto


PEMERINTAH harus hati-hati dalam melakukan perundingan bilateral Persetujuan Kemitraan Ekonomi (economic partnership agreement/EPA) dengan negara-negara maju.

Sebab, EPA dinilai hanya menjadi alat baru bagi negara maju untuk menekan negara berkembang, setelah mereka gagal ‘memaksakan’ kehendaknya dalam setiap perundingan yang digelar World Trade Organization (WTO).

Legal Consultant Third World Network Malaysia, Sanya Reid Smith punya kisah menarik bagaimana kondisi ekonomi negeri Jiran tersebut, pasca penandatanganan kesepakatan perdagangan bebas (free trade area/FTA) dengan Amerika Serikat (AS) beberapa tahun silam.

Menurut dia, setelah tahun pertama kesepakatan FTA dibuat, terjadi dampak cukup signifikan terhadap penurunan nilai perdagangan lokal, keterpurukan industri, dan melemahnya penyerapan tenaga kerja domestik.

Hal paling mencolok, lanjut ia, terlihat pada nilai ekspor produk AS ke Malaysia yang mengalami peningkatan cukup tajam, yakni mencapai US$2,3 miliar. Angka itu pun terus merangkak naik setelah tahun kedua perjanjian menjadi US$5 miliar, atau melonjak hingga 200 persen.

Sedangkan, meskipun terjadi pertumbuhan nilai ekspor Malaysia ke AS, namun tidaklah sepesat yang dialami negara Pamansam itu. Malah, produk impor AS kini membanjir di pasar Malaysia.

Akibat, tidak adanya hambatan tarif yang diberlakukan pemerintah Malaysia kepada para eksportir AS yang mengirimkan produknya ke negara tersebut.

“Ini konsekuensi kesepakatan bilateral Malaysia—AS. Sebab, AS meminta agar Malaysia menghapus 100 persen tarif dan itu disepakati,” kata Sanya usai seminar liberalisasi perdagangan.

Kondisi inilah, menurut dia, yang menyebabkan Malaysia dalam perjanjian itu tetap dirugikan. Karena, setelah perjanjian ditandatangani, ternyata AS tidak turut menghapus 100 persen tarif yang dimilikinya untuk beberapa produk tertentu, seperti manufaktur dan komoditas pertanian.

Selain itu, mereka juga tetap memberikan subsidi pada beberapa sektor, terutama pertanian.

Jadi, lanjut Sanya, meskipun AS telah menandatangani kesepakatan perdagangan bebas yang seyogyanya semua subsidi dihapus dan tidak ada hambatan tarif antarnegara, tetapi mereka masih memberikan proteksi terhadap produk lokalnya.

Jelaslah, ujar dia, hal itu sangat tidak menguntungkan bagi negara berkembang yang tengah menjalin hubungan perdagangan bebas dengan AS. Karena, secara tak langsung melalui perjanjian bilateral tersebut, AS lebih mendominasi kepentingan dagangnya.

“Itulah cerdiknya mereka. Minta tarif ini, itu dihapus, tetapi masih memproteksi produk dalam negerinya,” tegas dia.

AS juga, kata Sanya, selalu meninjau ulang program bebas pajak untuk impor dari suatu negara, ketika negara yang sedang berkembang tersebut dinilai secara berkelanjutan menikmati keuntungan perdagangan dengan mereka.

Seperti yang baru-baru ini dilakukan negara Adikuasa itu, dengan meninjau status program bebas pajak 133 negara berkembang, setelah para pembuat kebijakan AS mengkomplain bahwa negara-negara itu secara terus-menerus menikmati keuntungan dagang.

Berkaca dari pengalaman itu, Sanya menyarankan, Indonesia harus cermat dalam mempelajari isi perjanjian yang diajukan oleh negara-negara maju ketika akan meneken suatu kontrak kerjasama dagang.

“Baca dengan teliti, satu per satu dan pikirkan dampaknya secara luas. Karena perjanjian bilateral itu patut diwaspadai,” jelasnya.

Khusus untuk AS, dia menegaskan, RI sebaiknya tidak menjalin perdagangan bebas secara sendirian tanpa menggandeng negara berkembang lain yang senasib.

Dia menyatakan, semua sektor ekonomi di Indonesia masih membutuhkan perlindungan oleh pemerintah, sehingga sangat rentan bagi RI untuk menjalin kerjasama dagang dengan negara maju seperti AS yang lebih mementingkan kehendaknya.

Namun, Sanya mengakui, untuk Jepang, negara tersebut cukup santun dalam melakukan negosiasi bilateral. Kendati begitu, dia mengingatkan RI harus tetap berhati-hati. Sebab, EPA yang digagas Jepang mengusung kepentingan khusus untuk melakukan ekspansi produk manufaktur mereka.

“Tetap harus dicurigai motifnya.”

Assesment of Indonesia’s Strategy, Case Study of Japan and US, Soemadi D.M Brotodiningrat mengakui, perjanjian bilateral tetap memberikan resiko bagi negara berkembang.

Namun, lanjutnya, liberalisasi perdagangan merupakan realita yang tak bisa dipungkiri oleh Indonesia, sehingga jalan tengahnya adalah menjalin kerjasama dengan negara maju yang dinilai bisa memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak.

“Memang oposisi terhadap liberalisasi perdagangan bisa memperkecil dampak negatif bagi negara berkembang. Namun, efektifitasnya diragukan. Karena tiap-tiap negara memiliki kepentingan berbeda,” paparnya.

Soemadi mengungkapkan, Jepang merupakan negara pertama yang dipilih RI untuk menjalin mitra EPA bilateral.

Alasannya, negara Matahari Terbit tersebut adalah pasar ekspor terbesar bagi produk RI, investor terbesar, dan donor bilateral terbesar.

“Selain itu, produk RI-Jepang memiliki tingkat komplementaritas yang tinggi. Jadi tidak ada persaingan dagang,” katanya.

Terkait membuka hubungan perdagang bebas dengan AS, Soemadi menyatakan, pemerintah baru akan memfokuskan melakukan negosiasi dengan Jepang, sehingga pembicaraan dengan AS belum secara intensif dilakukan.

Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu pembicaraan EPA antara RI-Jepang masih menunggu penyelesaian RUU Penanaman Modal. Dia mengatakan kondisi ini berbeda untuk lini perundingan EPA yang lain, baik itu berupa bantuan teknis peningkatan kapasitas industri maupun penurunan tarif bea masuk barang dan jasa.

"Yang paling kita harapkan dari Jepang adalah investasi. Dan negosiasinya itu nanti akan mengambil prinsip-prinsip, dan harus konsisten dengan RUU Penanaman Modal. Jadi harus hati-hati," katanya.

Mendag mengatakan penyelesaian RUU Penanaman Modal menjadi penting karena tanpa itu, "Kita tidak bisa binding di level bilateral kalau berbeda dengan RUU kita, jadi secara pararel (semua lini perundingan) akan dilakukan," tambahnya.

Terkait Kerja sama Ekonomi Asean (Asean Economic Cooperation), Mendag Mari mengakui perkembangannya tidak begitu baik. Sebab ternyata minat negara anggota Asean terhadap kerja sama itu belum terlalu tinggi.

"Jadi ini kita memang harus ubah strategi kita dan banyak koordinasi, misalnya, karena yang paling berkepentingan di satu sektor seperti produk kayu itu kan kita dan Malaysia yang punya industri wood base product," jelasnya.

Dia mengatakan meski produk tersebut sudah ditetapkan sebagai prioritas unggulan dari 11 produk prioritas Asean yang sudah ditetapkan, sampai kini detail pembagian tugasnya di Asean belum ada.

Menurut dia, di luar faktor bahan baku yang hanya ada di Indonesia, Malaysia, dan Myanmar, pembagian tugas per produk prioritas itu tetap penting agar jelas siapa yang berada di sektor produksi, termasuk yang di sisi pensuplai bahan baku.

Karena itu, agenda pertemuan Kerjasama Ekonomi Asean berikutnya bukan hanya pembahasan di sektor itu saja, tapi juga 11 sektor lain, dan tetap dengan target 2010 tercapai Asean Economic Community untuk 11 sektor itu.

Friday, October 06, 2006


Alfath

Ada keceriaan kala itu! Ketika langkah gontai kita mengayun bersama. Menyelesuri hening desa tempat kita mengaji. Kepuasan? Kau muncul!

Lihatlah itu. Muka kita lugu. Serasa tak ada dosa. Kalian semua berseragam. Sedang aku, hanya puas sekedar melihat kalian berbahagia. Bercanda. Dalam rajut ukhuwah. Kita pernah berjanji: selalu bersama.

Alfath....
Senandungmu pernah bergetar!
Serumu pernah menggelegar!
Dan degup degapmu pernah membara

Dalam hijjah
Dalam ukhuwah
Dalam jihad
Dan dalam manis zikir....!

Kita berpisah!
Bersama egomu
Egoku
dan...
(turyanto81@yahoo.com)

Karet

PE Karet Segera Diberlakukan

Oleh Turyanto
Wartawan Bisnis Indonesia

Kabar akan dikenakannya pajak ekspor (PE) untuk komoditas karet menggelinding.
Pemerintah melalui Departemen Keuangan (Depkeu) tampaknya telah berketetapan hati untuk menggulirkan kebijakan itu. Bahkan, surat resminya pun sudah dikeluarkan. Ancaman serius bagi petani karet, di saat bulan madu tengah berlangsung.

Faisal Basri berseloroh. Ekonom asal Universitas Indonesia (UI) itu menyatakan pemerintah dalam waktu dekat ini akan mengenakan pajak ekspor (PE) untuk karet, meski ia lebih suka menyebut dengan istilah pungutan ekspor. Malah, menurut dia, surat resmi dari Depkeu telah keluar.

Ungkapan Faisal tersebut muncul ketika Kamar Dagang Indonesia (Kadin) membuat road map industri 2010 dan roundtable discussion visi 2030 di hotel Four Seasons akhir bulan lalu.

Karuan saja, peserta yang dihadiri oleh kalangan pengusaha dan asosiasi perkebunan tersebut saat itu terkejut mendengar kabar yang disampaikan Faisal.

Walau bagaimana, jika pemerintah positif memberlakukan PE karet, jelaslah kabar ini tidak baik untuk pengusaha, apalagi petani. Sebab, pendapatan mereka secara otomotis pasti turun.

“Sekarang saat harga karet bagus, pemerintah malah mau mengenakan PE. Janganlah, kasihan petani,” ungkap Faisal.

Dia mengatakan berita awal rencana pengenaan PE karet tersebut mencuat kala Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) melakukan pertemuan di Bali pada 26-28 Juli lalu.

Berdasarkan pertemuan itu, menurut dia, munculah keluhan dari Gapkindo bahwa pemerintah dalam waktu dekat ini siap memberlakukan kebijakan baru dengan mengenakan PE untuk karet.

“Mereka (Gapkindo) bercerita ke saya, kalau karet akan kena PE. Tapi besarnya saya belum tahu,” jelasnya.

Menurut Faisal, sebenarnya pemerintah tak perlu memberlakukan kebijakan itu. Karena, tegasnya, selama ini tata niaga karet berlangsung tanpa ada regulasi dari pemerintah.

Jadi, katanya, apabila sekarang harga karet tengah melambung, maka sebenarnya yang menikmati juga adalah petani, menyusul hampir 85% perkebunan karet dimiliki oleh petani.

“Sehingga bisa dilihat, yang terkena imbasnya juga petani. PE CPO (crude palm oil) dan batubara saja sedang diusahakan untuk kita hapus, masa sekarang mau ditambah karet?” tanyanya.

Senada dengan Faisal, Asisten Perkebunan II Deputi Bidang Industri Agro Kertas Percetakan dan Penerbitan Kementerian BUMN Rusdonobanu mengakui pernah mendengar rencana itu. Menurut dia, apabila Depkeu jadi menerapkan PE ini, maka penghasilan BUMN perkebunan bisa merosot.

“Beberapa waktu lalu rapat Kadin sempat membahas hal ini. Tapi saya tidak seberapa memperhatikan. Katanya mereka akan membuat pernyataan menolak,” ungkapnya.

Menurut Rusdonobanu, selama ini karet merupakan komoditas andalan PTPN yang cukup signifikan menggenjot laba perusahaan.

Secara terpisah, Asril Sutan Amir, Wakil Ketua Umum Gapkindo mengatakan dirinya memang pernah mendengar rencana pemerintah yang akan mengenakan PE untuk karet. Namun, terkait kepastiannya, Gapkindo belum mengetahui secara detail.

“Kalau sampai diberlakukan, ini beban baru bagi kami. Sebab, kami sudah banyak terbebani pajak. Toh, nanti pada akhirnya petani yang akan merasakan,” katanya ketika dihubungi Jurnal Nasional kemarin.

Menurut dia, dampak paling ekstrim dari penerapan PE ini adalah turunnya pendapatan yang akan diterima oleh petani, karena harga jual karet mentah turut anjlok.

Pada akhirnya, lanjut ia, produksi karet nasional bisa menurun drastis, seiiring dengan rendahnya minat petani menanam karet.

“Dari 3,3 juta hektare total luas perkebunan karet nasional, 85% merupakan milik petani. Jadi imbas penerapan PE, ya petani juga,” jelasnya.

Terkait produksi, Asril mengatakan hingga semester I/2006 produksi karet nasional telah mencapai 1,1 juta ton. Sedangkan pada semester II/2006 pihaknya menargetkan dapat menembus 0,9 juta ton, sehingga total produksi karet untuk tahun ini diprediksi 2 juta ton.

Sementara itu, menurut dia, nilai ekspor karet domestik pada semester I/2006 mencapai US$2 miliar atau naik sekitar 6% dan diperkirakan mampu mencapai US$4,2 miliar hingga akhir tahun ini.

Perolehan ekspor pada semester I itu berasal dari 1 juta ton karet, sementara Gapkindo memprediksikan tren kenaikan ekspor itu akan terus berlanjut sampai akhir tahun ini, sehingga Indonesia berpeluang meraih devisa senilai US$4,2 miliar setara 2,1 juta ton.

Asril mengatakan ekspor periode Januari-Juni tahun ini tumbuh signifikan, yakni naik 6% dibandingkan periode sama yang tahun lalu. Dengan volume ekspor lebih dari 1 juta ton, nilai ekspor sekitar US$2 miliar, dengan harga rata-rata US$2 per kg

Kinerja ekspor karet itu, lanjutnya, diharapkan bisa mendukung kelanjutan kenaikan ekspor nonmigas dalam negeri sepanjang 2006, setelah ekspor Mei berhasil mencatat rekor baru senilai US$8,34 miliar.

“Terdapat beberapa faktor pendukung penting atas kinerja ekspor karet, yakni tingkat kebutuhan dunia tetap tinggi, terutama China, India, Eropa dan AS,” paparnya.

Selain itu, lanjut dia, kini banyak kalangan perusahaan dan perorangan di Tanah Air yang banyak berminat menanam karet, sehingga dapat mendukung peningkatan produktivitas nasional.

Gapkindo sendiri, katanya, terus berupaya aktif melakukan kampanye dan promosi pemasaran ke sejumlah negara tujuan ekspor tradisional, serta berupaya menggarap pasar baru di sejumlah kawasan. Di antaranya kawasan Mediterania dan Australia, yang merupakan pasar potensial bagi karet Indonesia.

Saturday, June 17, 2006

POJOK

Kala Pojok Bicara
Simpul pertemuan
(dd&ago)
Kita sepertinya ingin perfect
Ketika menatap blitz itu....
Kita rasanya ingin jadi satu
Saat berkumpul dalam cerita akhir episode

Bolehkah aku berkata, nafas kita sama?
Izinkan aku berucap, keinginan kita serupa?
Tapi, apakah jalan kita sama?
Kawan, itulah tantanganmu
Jika kita berkumpul nanti
Saya harap ada yang baru
Meski saya tak menuntut untuk berbeda
Dirimu punya hak untuk memilih

Lihatkanlah padaku tentang janjimu
Buktikan kepadaku tentang idialisme
Perlihatkan kepadaku tentang citamu
Hingga, aku pun akan berucap:selamat bergabung!


Satu waktu.....
Tuk, Ino&Wisnu

Ada yang hadir dalam degub
Wajah itu telah tengkurup
Pojok ruang ini adalah kesaksian
Ketika muka-muka kusut mencoba dalam tatap

Harapan?
Masa depan?
Hidup?
Kebahagiaan?

Cobalah sapa muka-muka kami
Manusia yang mencoba untuk mebicarakanmu setiap hari
Mengguncing
Mengumpat
Hingga, lelah terbaring dalam asa kehampaan

Kawan, antara kita telah ada cerita
Kamar itu adalah oase
Bagaimana kita saling bercerita

Dukamu....
Sedihku....
Gumammu....
Dalam desah statistik sebuah skripsi!

Sapi gila & 'gilanya' importir daging
Oleh Turyanto

Setiap kali saya menuliskan "sapi gila" dari Amerika Serikat (AS), saat itu pula saya harus bertanya: siapa yang rugi atau untung? Siapa yang senyum atau termenung? Siapa yang bingung dan berkabung? Produsen dagingkah? Pengusaha pakan ternak atau importir daging?

Lantas, siapa pula yang mesti repot? Pemerintah RI atau AS? Mengapa daging asal AS itu perlu dilarang, lalu kenapa juga susah-susah negosiasi sana-sini dan muncul perkataan, pertimbangan dulu pak! Sebelum dilarang! Nasib importir, produsen pakan ada di tangan Anda!

Saat saya berbicara dengan Dirjen Peternakan Departemen Pertanian (Deptan), Mathur Riyadi, dia berkata kepada saya:

"Mas tadi saya dapat banyak sms dari DPR, mereka bilang 'Pak jangan dilarang dong,
impor daging dari Amerika [Serikat]', lalu saya jawab saja sedang dibahas,"
"Wah, pertimbangannya apa pak? Kok merka [DPR] bisa minta begitu?"
"Mereka itu juga kan ada yang jadi importir mas?"
"Lalu sikap bapak bagaimana?"
"Ya, biasa saja, yang perlu dipikirkan kami membela siapa? Produsen, konsumen,

atau pedagang?"
"Tentu konsumen dong pak! Jangan prinsipnya dagang, tapi demi kesehatan

masyarakat dengan melindungi konsumen."
"Betul mas, makanya pemerintah akan terus bernegosiasi sebelum surat edaran ini
saya tanda tangani," tutup Mathur.

Ketika itu pula saya mencoba berpikir, memang ada yang perlu dicermati saat memandang kasus ini. Tentu saja, pemerintah tidak ingin asal larang. Main tutup tanpa mendengar keluhan semua pihak. Namun, Deptan juga harus tegas. Sapi gila adalah penyakit serius. Mengancam kesehatan, tidak hanya manusia tapi juga hewan. Sebab, penulurannya melalui pakan.
Begitu pula dengan produsen daging dalam negeri. Mereka tak boleh seenaknya 'bersorak', sebab dengan dilarangnya impor dari AS, daging yang mereka produksi dalam negeri akan kembali mampu bersaing. Tidak kalah dengan jeroan impor dari AS.

Memang dari data Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner tahun ini, dari 20.581,4 ton total daging yang diimpor dari AS pada periode 1 Januari hingga 27 Juni, sebanyak 15.650 ton masuk kategori jeroan/variety meat. Jumlah itu tentu menguasai sekitar 75% impor daging dari AS, karena impor daging beku cuma 4.810 ton dan daging segar 121,4 ton.

Hal inilah, mungkin yang dalam kacamata saya kalangan importir daging terlihat ketar-ketir. Saya teringat ucapan Ketua Umum Asosiasi Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring beberapa waktu lalu.

"Kami harus siap putus kontrak. Padahal uangnya sudah dibayar dimuka. Masa kontaknya itu enam bulan. Bila dilarang, jadi bisa rugi banyak," katanya.

Tak hanya Sembiring. Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMT) Fenni Firman Gunardi juga mengatakan sama. Larangan impor daging asal AS, akan turut melarang bahan Meat and Bone Meal (MBM). Padahal, lanjutnya, MBM itu merupakan bahan utama untuk industri pakan ternak dalam negeri, selain soybean meal yang merupakan pakan hijaun ternak.

"Bahan MBM dari Australia itu mahal, sekitar US$ 400 lebih per ton, berbeda dengan yang dari Amerika [Serikat] yang lebih murah, karena mereka over. Bila impor MBM dari AS dilarang, apa kami harus menaikkan harga pakan ternak dalam negeri?" ujarnya.

Ungkapan Sembiring dan Fenni, sebagai importir, tentu sangat beralasan. Pertama, mereka sudah menargetkan untuk mengimpor 8.000 ton daging jeroan tahun ini dari AS. Realiasi dari pemerintah AS, baru 7.950 ton yang terkirim. Parahnya lagi, sejumlah daging beku masih tercampur dengan jeroan/variety meat. Sampai bulan lalu 200 ton masih dalam masa pengapalan.

Jadi, bila tiba-tiba dilarang, siapa yang akan menaggung biaya pengiriman? Pembelian? Dan segala macam administratif yang telah diselesaikan di muka? Jelas, bila hal ini yang dijadikan patokan importir berada pada pihak yang dirugikan.

Kedua, pelarangan impor daging asal AS tentu akan menjadikan negara Kanguru dan Selandia Baru menjadi raja eksportir. Kebutuhan daging dalam negeri hanya bisa disetok dari dua negara itu. Akibatnya bisa dibayangkan. Monopoli akan terjadi. Lebih-lebih akan menghadapi masa hari raya. Impor daging akan mahal. Harga dalam negeri tentulah akan ikut mengimbangi.
Ketiga, tentu posisi sulit akan dialami importir, bila larangan daging impor asal AS kedua ini kembali diterapkan. Era sekarang berbeda dengan tahun lalu. Kalau dulu mereka masih bisa mencuri-curi dengan memasukkan bahan asal hewan pada masa larangan.

Seperti dilaporkan United States Departement of Agriculture (USDA) pada masa larangan importir masih bisa memasukkan daging pada Januari jumlah offal yang diimpor sebanyak 207,8 ton, Maret 361,9 ton, April 815,7 ton, Mei 1.437,8 ton, dan Juni 1.121,3 ton, sedangkan untuk kategori beef secara berurut 0,0 ton, 22,3 ton, 0,0 ton, 52,9 ton, dan 118,8 ton.
Namun, tentu posisi sekarang saya katakan sulit. Sebab, semua akan menjadi pengawas dari ular importir--bila larangan terjadi. Seperti yang dikatakan Bambang Herman, dari Badan Karantina Deptan, pihaknya akan serius membongkar semua kontainer daging di pelabuhan.

Berbicara sapai gila, saya jadi teringat pertemuan dengan seorang dokter hewan, Maria P Omega di Jakarta beberapa waktu lalu. Dia memberikan saya sebuah artikel tentang gambaran penyakit ini. Secara gamblang, dalam artikel tersebut dia menjelaskan apa itu penyakit sapi gila. Menurut dia memang BSE bukanlah jenis virus, tapi sejenis Prion yang menyerang pada manusia dan hewan.

Penyakit ini, lanjutnya, muncul akibat perubahan pola hidup, ego dan ambisi manusia untuk menghasilkan lebih banyak protein hewani (daging dan susu), sebabya ruminansia yang secara alami adalah pemakan tumbuh-tumbuhan dipaksa menjadi karnivora (sapi dipaksa untuk makan MBM/meat borne meal atau pakan yang berasal dari lambung kelenjar/perut dari hewan lain).

"Secara tak langsung hal itu merupakan praktik kanibalisme masyarakat manusia. Memakan segala," ujarna secara tidak langsung.

Penyakit Sapi Gila/Mad Cow atau Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE, jelas Maria, merupakan penyakit yang terjadi pada otak sapi yang tergolong dalam kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE).

"Penyakit ini disebabkan oleh suatu jenis protein [tanpa asam nukleat] yang bersifat infeksius yaitu prion (proteinaceous infectious)," jelasnya.

Menurut Maria, agen penyebab dari penyakit berbaya pada manusia adalah prion yang berasal dari BSE. Penyakit BSE tersebut menyerang sapi berumur tiga sampai lima tahun dengan gejala penurunan produksi susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (transmissible encephalopathy).

"Yang lebih parah, BSE menyebabkan penyakit gerstmann-straussler-scheinker (GSS) sangat berbahaya pada manusia. Penyakit ini menyebabkan inkoordinasi otot, dementia dan kematian dalam dua sampai tiga tahun. Penyakit Kuru karena kanibalisasi di Papua Nugini [penanganan dan memakan otak manusia], dengan inkubasi tiga bulan sampai 30 tahun dan akhirnya mematikan," tegasnya

Sebenarnya ada pesan Maria yang diberikan kepada saya: "Jangan dipandang remeh soal BSE."
Kata ini sekali lagi membuat saya harus bertanya, mengapa kebijakan yang berdasarkan pada segi ilmiah ini harus dinegosiasi demi kepentingan dagang?

Lalu, mengapa pula negara ini yang menegoasiasi AS? Siapa yang butuh? Importir atau eksportir? Dan yang lebih penting lagi, mengapa para importir daging jadi ikut 'gila' gara-gara di AS ada sapi gila? Karena bila sama-sama sadar, kesehatan masyarakat banyak lebih diutamakan, maka tak perlu ada yang diperdebatkan. [!]

OTOMOTIF

India, ancaman serius otomotif China

Oleh Turyanto
Bisnis Indonesia

China disebut sebagai pasar mobil terbesar ketiga di dunia. Julukan itu diberikan 20 tahun lalu. Ketika pabrikan otomotif dunia mulai melirik peluang bisnis sektor otomotif di negara tirai bambu ini.

Sejak 1985, ekspansi besar-basaran pun dilakukan. Raksasa raksasa otomotif dunia dan Eropa macam General Motor Coorp, Volkwagen AG, Bayerische Motorean Werke AG, serta Ford Motor Co berbondong bondong mendirikan unit usaha baru di China. Sekedar memperlaris produk dan capaian target penjualan globalnya.

Sebelumnya, pabrikan asal Jepang terlebih dahulu menancapkan dominasinya di China dan menguasai semua lini pasar mobil.

China Association of Automobile Manufactures mencatat investasi yang dikeluarkan para pabrikan tersebut pada 1985 mencapai sekitar US$19 miliar. Dan sejak itulah, di China berdiri 117 pabrikan kendaraan baru.

Di mata mereka China adalah pasar 'seksi'. Dengan dukungan populasi penduduk yang besar dan kebijakan percepatan ekonomi pemerintah yang menggenjot pertumbuhan sektor industri.

Satu lagi, China dipilih sebagai skenario jangka panjang untuk memperluas jaringan pasar di kawasan Asia. Bagi pabrikan asal Eropa, jelas ekspansi tersebut adalah salah satu langkah untuk memulai menggerogoti dominasi pabrikan asal Jepang, seperti Toyoto Motor Corp, Honda Motor Co, dan Nissan Motor Co.

Namun, kegairahan itu mulai terusik. Tak semua pabrikan menikmati manisnya dagang mobil di China. Hal itu membuat mereka berpikir ulang. Memasuki 2005, keinginan ekspansi besar-besaran pun tertuda.

Harian China Daily menulis perusahaan otomotif di China pendapatannya merosot sebesar 45% dalam tujuh bulan pertama tahun ini menjadi 27 miliar yuan (US$3,3 miliar).

Dibandingkan tahun sebelumnya, beberapa unit otomotif dari prinsipal dunia di China pun merasakan masa pahit untuk tahun ini. Keuntungan bisnis penjualan mobil mereka anjlok 59% menjadi 11 miliar yuan. Ditambah penjualan suku cadang otomotif yang hanya menjadi 11 miliar yuan, atau turun 26% dibandingkan tahun sebelumnya.

Volkswagen (VW) adalah salah satu pabrikan terbesar di Eropa yang merasakan penurunan itu. Selama iniChina merupakan pasar terbesar VW setelah Jerman. Namun, bagi VW, China kini bukan lagi masuk dalam skenario bisnis mereka.

17 Oktober lalu, Bloomberg menulis VW menghentikan ekspansinya ke China. Rencana itu diputuskan sebagai langkah pemangkasan biaya operasional, akibat jatuhnya penjualan mereka di China.

Sebuah survai yang dilakukan National Bureau of Statistics yang dilakukan 10 Oktober lalu menyebutkan dalam kuartal kedua tahun ini, pasar mobil di China turun 10% dari 13% pada kuartal sama tahun sebelumnya.

Hal itu terjadi karena pola konsumsi masyarakat China mulai beralih. Mereka lebih memikirkan membeli rumah ketimbang mobil.

India pilihan selanjutnya
Membuka kembali laporan beberapa CEO (Chief executive officer) dari beberapa perusahaan internasional tahun lalu, mereka mendudukkan India dalam ranking yang tinggi sebagai salah satu negara yang pasarnya tumbuh pesat, meski lebih banyak yang memasukkan China sebagai pasar terpenting yang baru tumbuh.

Laporan berjudul "Kemitraan untuk keberhasilan: perspektif bisnis dalam kemitraan multi pihak" itu juga mendudukkan Brasil, Rusia, Afsel, Asean dan Timur Tengah sebagai negara dan kawasan yang pasarnya tumbuh pesat.

Berdasarkan survei yang dilakukan GCCI (Global Corporate Citizenship Initiative) terhadap 40 perusahaan, ditemukan bahwa cepatnya pembangunan ekonomi dan pertumbuhan geopolitik memiliki pengaruh yang signifikan dengan pasar yang menawarkan dengan potensi bisnis dalam jangka panjang.

Selain itu, potensi itu juga terkait dengan sikap kepemimpinan dan resiko untuk sebagian besar perusahaan swasta.

Tantangan restrukturisasi ekonomi yang fundamental, termasuk struktur pemerintahan, kondisi kerja yang menyedihkan, perbaikan HAM, tekanan terhadap lingkungan, dan perbedaan yang tajam menjadi isu penting di pasar yang baru tumbuh.

Laporan itu juga menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih, pemberantasan korupsi, kedamaian dan keamanan yang berkelanjutan, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penurunan tingkat kemiskinan dan perkembangan dunia.

Sembilan dari 10 mitra CEO menyatakan kemitraan antara kalangan bisnis, pemerintahan, dan masyarkat memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan pembangunan di dunia saat ini.

Laporan tersebut dihasilkan dari kolaborasi dengan The Prince of Wales International Bisiness Leaders Forum dan Corporate Social Responsibility Initiative, dan Harvard University.

Dengan konsistensi regulasi, ternyata India pelan-pelan mencuri 'milik' China. Mata pabrikan otomotif dunia bergesar. Mereka pun kini beramai-ramai ekspansi ke India.

Setidaknya raksasa otomotif Korea Selatan Hyundai Motor Co, Renault SA asal Prancis sedang menyusun stategi khusus untuk memulai peluang baru. Tak ketinggalan Suzuki Motor Corp turut meramaikan prospek tersebut.

Ketiganya berencana menanamkan investasinya di India sebesar US$2 miliar hingga 2010. Negara yang memiiki populasi penduduk terbesar kedua di dunia itu mulai dilirik.

Selain itu, Nissan Motor Co dan Daihatsu Motor Co juga tak mau kalah bersaing. Pekan lalu Bloomberg menulis dua pabrikan ini siap mendirikan pabrik perakitan baru di India.

Carlos Ghosn, Chief Executive of both Nisaan dan Renault mengatakan pihaknya dan Renault akan mendirikan kantor baru di India sebelum 2008, dengan nilai kerjasama sebesar US$165 juta untuk membuat model mobil Logan yang dimulai pada 2007.

Dengan pertumbuhan ekonomi 6,9%, pertumbuhan pasar mobil di India terdongkrak. Penjualan kendaraaan di India berhasil menembus 1,06 juta mobil yang terdiri dari truk dan van tahun ini hingga akhir Maret.

Dari situ nampak. India adalah ancaman serius bagi China. Karena konsistensi regulasi pemerintah India di sektor industri.

Bagaimana Indonesia?
Gunadi Sindhuwinata, Presiden Direktur Indomobil Group menyebut kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia tak konsisten. Maka dari itu, sulit bagi bangsa ini untuk meniru China atau India. Karena, prinsipal akan berpikir ulang untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.

"Ya...kayak kurikulum pelajaran-lah. Setiap tahun ganti. Sama seperti kebijakan ekonomi negara ini. Setiap menteri ganti. Jadi investor ya...bingung," paparnya.

Bagi Gunadi ketidakkonsistenan itulah yang membuat RI selama ini hanya dijadikan sebagai basis pemasaran oleh prinsipal, bukan produksi. Jadi, hanya sekedar seperti Thailand juga sulit.

Padahal, sebelumnya Presiden Direktur PT Astra Honda Motor Minoru Yamashita pernah menyebut RI merupakan pasar sepeda motor terbesar ketiga di dunia dan ada kemungkinan menggeser India yang menempati urutan kedua. Sedangkan, pasar sepeda motor terbesar masih ditempati China.

Namun, harapan-harapan hanya menjadi euforia. Indonesia berkutat pada perdebatan antara 'boleh' dan 'tidak'. Perangkat kebijakan banyak yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi.

Bila melihat survai CGGI mestinya pemerintah harus memperhatikan kontinuitas regulasi. Dengan itu, Indonesia yang memiliki penduduk besar punya potensi untuk seperti China atau India. Tak sekedar mimpi. (
turyanto81@yahoo.com)