Saturday, June 17, 2006

Sapi gila & 'gilanya' importir daging
Oleh Turyanto

Setiap kali saya menuliskan "sapi gila" dari Amerika Serikat (AS), saat itu pula saya harus bertanya: siapa yang rugi atau untung? Siapa yang senyum atau termenung? Siapa yang bingung dan berkabung? Produsen dagingkah? Pengusaha pakan ternak atau importir daging?

Lantas, siapa pula yang mesti repot? Pemerintah RI atau AS? Mengapa daging asal AS itu perlu dilarang, lalu kenapa juga susah-susah negosiasi sana-sini dan muncul perkataan, pertimbangan dulu pak! Sebelum dilarang! Nasib importir, produsen pakan ada di tangan Anda!

Saat saya berbicara dengan Dirjen Peternakan Departemen Pertanian (Deptan), Mathur Riyadi, dia berkata kepada saya:

"Mas tadi saya dapat banyak sms dari DPR, mereka bilang 'Pak jangan dilarang dong,
impor daging dari Amerika [Serikat]', lalu saya jawab saja sedang dibahas,"
"Wah, pertimbangannya apa pak? Kok merka [DPR] bisa minta begitu?"
"Mereka itu juga kan ada yang jadi importir mas?"
"Lalu sikap bapak bagaimana?"
"Ya, biasa saja, yang perlu dipikirkan kami membela siapa? Produsen, konsumen,

atau pedagang?"
"Tentu konsumen dong pak! Jangan prinsipnya dagang, tapi demi kesehatan

masyarakat dengan melindungi konsumen."
"Betul mas, makanya pemerintah akan terus bernegosiasi sebelum surat edaran ini
saya tanda tangani," tutup Mathur.

Ketika itu pula saya mencoba berpikir, memang ada yang perlu dicermati saat memandang kasus ini. Tentu saja, pemerintah tidak ingin asal larang. Main tutup tanpa mendengar keluhan semua pihak. Namun, Deptan juga harus tegas. Sapi gila adalah penyakit serius. Mengancam kesehatan, tidak hanya manusia tapi juga hewan. Sebab, penulurannya melalui pakan.
Begitu pula dengan produsen daging dalam negeri. Mereka tak boleh seenaknya 'bersorak', sebab dengan dilarangnya impor dari AS, daging yang mereka produksi dalam negeri akan kembali mampu bersaing. Tidak kalah dengan jeroan impor dari AS.

Memang dari data Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner tahun ini, dari 20.581,4 ton total daging yang diimpor dari AS pada periode 1 Januari hingga 27 Juni, sebanyak 15.650 ton masuk kategori jeroan/variety meat. Jumlah itu tentu menguasai sekitar 75% impor daging dari AS, karena impor daging beku cuma 4.810 ton dan daging segar 121,4 ton.

Hal inilah, mungkin yang dalam kacamata saya kalangan importir daging terlihat ketar-ketir. Saya teringat ucapan Ketua Umum Asosiasi Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring beberapa waktu lalu.

"Kami harus siap putus kontrak. Padahal uangnya sudah dibayar dimuka. Masa kontaknya itu enam bulan. Bila dilarang, jadi bisa rugi banyak," katanya.

Tak hanya Sembiring. Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMT) Fenni Firman Gunardi juga mengatakan sama. Larangan impor daging asal AS, akan turut melarang bahan Meat and Bone Meal (MBM). Padahal, lanjutnya, MBM itu merupakan bahan utama untuk industri pakan ternak dalam negeri, selain soybean meal yang merupakan pakan hijaun ternak.

"Bahan MBM dari Australia itu mahal, sekitar US$ 400 lebih per ton, berbeda dengan yang dari Amerika [Serikat] yang lebih murah, karena mereka over. Bila impor MBM dari AS dilarang, apa kami harus menaikkan harga pakan ternak dalam negeri?" ujarnya.

Ungkapan Sembiring dan Fenni, sebagai importir, tentu sangat beralasan. Pertama, mereka sudah menargetkan untuk mengimpor 8.000 ton daging jeroan tahun ini dari AS. Realiasi dari pemerintah AS, baru 7.950 ton yang terkirim. Parahnya lagi, sejumlah daging beku masih tercampur dengan jeroan/variety meat. Sampai bulan lalu 200 ton masih dalam masa pengapalan.

Jadi, bila tiba-tiba dilarang, siapa yang akan menaggung biaya pengiriman? Pembelian? Dan segala macam administratif yang telah diselesaikan di muka? Jelas, bila hal ini yang dijadikan patokan importir berada pada pihak yang dirugikan.

Kedua, pelarangan impor daging asal AS tentu akan menjadikan negara Kanguru dan Selandia Baru menjadi raja eksportir. Kebutuhan daging dalam negeri hanya bisa disetok dari dua negara itu. Akibatnya bisa dibayangkan. Monopoli akan terjadi. Lebih-lebih akan menghadapi masa hari raya. Impor daging akan mahal. Harga dalam negeri tentulah akan ikut mengimbangi.
Ketiga, tentu posisi sulit akan dialami importir, bila larangan daging impor asal AS kedua ini kembali diterapkan. Era sekarang berbeda dengan tahun lalu. Kalau dulu mereka masih bisa mencuri-curi dengan memasukkan bahan asal hewan pada masa larangan.

Seperti dilaporkan United States Departement of Agriculture (USDA) pada masa larangan importir masih bisa memasukkan daging pada Januari jumlah offal yang diimpor sebanyak 207,8 ton, Maret 361,9 ton, April 815,7 ton, Mei 1.437,8 ton, dan Juni 1.121,3 ton, sedangkan untuk kategori beef secara berurut 0,0 ton, 22,3 ton, 0,0 ton, 52,9 ton, dan 118,8 ton.
Namun, tentu posisi sekarang saya katakan sulit. Sebab, semua akan menjadi pengawas dari ular importir--bila larangan terjadi. Seperti yang dikatakan Bambang Herman, dari Badan Karantina Deptan, pihaknya akan serius membongkar semua kontainer daging di pelabuhan.

Berbicara sapai gila, saya jadi teringat pertemuan dengan seorang dokter hewan, Maria P Omega di Jakarta beberapa waktu lalu. Dia memberikan saya sebuah artikel tentang gambaran penyakit ini. Secara gamblang, dalam artikel tersebut dia menjelaskan apa itu penyakit sapi gila. Menurut dia memang BSE bukanlah jenis virus, tapi sejenis Prion yang menyerang pada manusia dan hewan.

Penyakit ini, lanjutnya, muncul akibat perubahan pola hidup, ego dan ambisi manusia untuk menghasilkan lebih banyak protein hewani (daging dan susu), sebabya ruminansia yang secara alami adalah pemakan tumbuh-tumbuhan dipaksa menjadi karnivora (sapi dipaksa untuk makan MBM/meat borne meal atau pakan yang berasal dari lambung kelenjar/perut dari hewan lain).

"Secara tak langsung hal itu merupakan praktik kanibalisme masyarakat manusia. Memakan segala," ujarna secara tidak langsung.

Penyakit Sapi Gila/Mad Cow atau Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE, jelas Maria, merupakan penyakit yang terjadi pada otak sapi yang tergolong dalam kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE).

"Penyakit ini disebabkan oleh suatu jenis protein [tanpa asam nukleat] yang bersifat infeksius yaitu prion (proteinaceous infectious)," jelasnya.

Menurut Maria, agen penyebab dari penyakit berbaya pada manusia adalah prion yang berasal dari BSE. Penyakit BSE tersebut menyerang sapi berumur tiga sampai lima tahun dengan gejala penurunan produksi susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (transmissible encephalopathy).

"Yang lebih parah, BSE menyebabkan penyakit gerstmann-straussler-scheinker (GSS) sangat berbahaya pada manusia. Penyakit ini menyebabkan inkoordinasi otot, dementia dan kematian dalam dua sampai tiga tahun. Penyakit Kuru karena kanibalisasi di Papua Nugini [penanganan dan memakan otak manusia], dengan inkubasi tiga bulan sampai 30 tahun dan akhirnya mematikan," tegasnya

Sebenarnya ada pesan Maria yang diberikan kepada saya: "Jangan dipandang remeh soal BSE."
Kata ini sekali lagi membuat saya harus bertanya, mengapa kebijakan yang berdasarkan pada segi ilmiah ini harus dinegosiasi demi kepentingan dagang?

Lalu, mengapa pula negara ini yang menegoasiasi AS? Siapa yang butuh? Importir atau eksportir? Dan yang lebih penting lagi, mengapa para importir daging jadi ikut 'gila' gara-gara di AS ada sapi gila? Karena bila sama-sama sadar, kesehatan masyarakat banyak lebih diutamakan, maka tak perlu ada yang diperdebatkan. [!]

1 comment:

Anonymous said...

Secara tidak sengaja, saya nemuin blog ini waktu googling MBM.

Wah, tidak salah JurNas memilih anda u/ mencover desk pertanian/peternakan.

Wawasannya terus dikembangkan Mas.

Kapan2 kita ketemu untuk tukar pikiran.

FF Gunbadi - GPMT