Saturday, June 17, 2006

OTOMOTIF

India, ancaman serius otomotif China

Oleh Turyanto
Bisnis Indonesia

China disebut sebagai pasar mobil terbesar ketiga di dunia. Julukan itu diberikan 20 tahun lalu. Ketika pabrikan otomotif dunia mulai melirik peluang bisnis sektor otomotif di negara tirai bambu ini.

Sejak 1985, ekspansi besar-basaran pun dilakukan. Raksasa raksasa otomotif dunia dan Eropa macam General Motor Coorp, Volkwagen AG, Bayerische Motorean Werke AG, serta Ford Motor Co berbondong bondong mendirikan unit usaha baru di China. Sekedar memperlaris produk dan capaian target penjualan globalnya.

Sebelumnya, pabrikan asal Jepang terlebih dahulu menancapkan dominasinya di China dan menguasai semua lini pasar mobil.

China Association of Automobile Manufactures mencatat investasi yang dikeluarkan para pabrikan tersebut pada 1985 mencapai sekitar US$19 miliar. Dan sejak itulah, di China berdiri 117 pabrikan kendaraan baru.

Di mata mereka China adalah pasar 'seksi'. Dengan dukungan populasi penduduk yang besar dan kebijakan percepatan ekonomi pemerintah yang menggenjot pertumbuhan sektor industri.

Satu lagi, China dipilih sebagai skenario jangka panjang untuk memperluas jaringan pasar di kawasan Asia. Bagi pabrikan asal Eropa, jelas ekspansi tersebut adalah salah satu langkah untuk memulai menggerogoti dominasi pabrikan asal Jepang, seperti Toyoto Motor Corp, Honda Motor Co, dan Nissan Motor Co.

Namun, kegairahan itu mulai terusik. Tak semua pabrikan menikmati manisnya dagang mobil di China. Hal itu membuat mereka berpikir ulang. Memasuki 2005, keinginan ekspansi besar-besaran pun tertuda.

Harian China Daily menulis perusahaan otomotif di China pendapatannya merosot sebesar 45% dalam tujuh bulan pertama tahun ini menjadi 27 miliar yuan (US$3,3 miliar).

Dibandingkan tahun sebelumnya, beberapa unit otomotif dari prinsipal dunia di China pun merasakan masa pahit untuk tahun ini. Keuntungan bisnis penjualan mobil mereka anjlok 59% menjadi 11 miliar yuan. Ditambah penjualan suku cadang otomotif yang hanya menjadi 11 miliar yuan, atau turun 26% dibandingkan tahun sebelumnya.

Volkswagen (VW) adalah salah satu pabrikan terbesar di Eropa yang merasakan penurunan itu. Selama iniChina merupakan pasar terbesar VW setelah Jerman. Namun, bagi VW, China kini bukan lagi masuk dalam skenario bisnis mereka.

17 Oktober lalu, Bloomberg menulis VW menghentikan ekspansinya ke China. Rencana itu diputuskan sebagai langkah pemangkasan biaya operasional, akibat jatuhnya penjualan mereka di China.

Sebuah survai yang dilakukan National Bureau of Statistics yang dilakukan 10 Oktober lalu menyebutkan dalam kuartal kedua tahun ini, pasar mobil di China turun 10% dari 13% pada kuartal sama tahun sebelumnya.

Hal itu terjadi karena pola konsumsi masyarakat China mulai beralih. Mereka lebih memikirkan membeli rumah ketimbang mobil.

India pilihan selanjutnya
Membuka kembali laporan beberapa CEO (Chief executive officer) dari beberapa perusahaan internasional tahun lalu, mereka mendudukkan India dalam ranking yang tinggi sebagai salah satu negara yang pasarnya tumbuh pesat, meski lebih banyak yang memasukkan China sebagai pasar terpenting yang baru tumbuh.

Laporan berjudul "Kemitraan untuk keberhasilan: perspektif bisnis dalam kemitraan multi pihak" itu juga mendudukkan Brasil, Rusia, Afsel, Asean dan Timur Tengah sebagai negara dan kawasan yang pasarnya tumbuh pesat.

Berdasarkan survei yang dilakukan GCCI (Global Corporate Citizenship Initiative) terhadap 40 perusahaan, ditemukan bahwa cepatnya pembangunan ekonomi dan pertumbuhan geopolitik memiliki pengaruh yang signifikan dengan pasar yang menawarkan dengan potensi bisnis dalam jangka panjang.

Selain itu, potensi itu juga terkait dengan sikap kepemimpinan dan resiko untuk sebagian besar perusahaan swasta.

Tantangan restrukturisasi ekonomi yang fundamental, termasuk struktur pemerintahan, kondisi kerja yang menyedihkan, perbaikan HAM, tekanan terhadap lingkungan, dan perbedaan yang tajam menjadi isu penting di pasar yang baru tumbuh.

Laporan itu juga menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih, pemberantasan korupsi, kedamaian dan keamanan yang berkelanjutan, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penurunan tingkat kemiskinan dan perkembangan dunia.

Sembilan dari 10 mitra CEO menyatakan kemitraan antara kalangan bisnis, pemerintahan, dan masyarkat memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan pembangunan di dunia saat ini.

Laporan tersebut dihasilkan dari kolaborasi dengan The Prince of Wales International Bisiness Leaders Forum dan Corporate Social Responsibility Initiative, dan Harvard University.

Dengan konsistensi regulasi, ternyata India pelan-pelan mencuri 'milik' China. Mata pabrikan otomotif dunia bergesar. Mereka pun kini beramai-ramai ekspansi ke India.

Setidaknya raksasa otomotif Korea Selatan Hyundai Motor Co, Renault SA asal Prancis sedang menyusun stategi khusus untuk memulai peluang baru. Tak ketinggalan Suzuki Motor Corp turut meramaikan prospek tersebut.

Ketiganya berencana menanamkan investasinya di India sebesar US$2 miliar hingga 2010. Negara yang memiiki populasi penduduk terbesar kedua di dunia itu mulai dilirik.

Selain itu, Nissan Motor Co dan Daihatsu Motor Co juga tak mau kalah bersaing. Pekan lalu Bloomberg menulis dua pabrikan ini siap mendirikan pabrik perakitan baru di India.

Carlos Ghosn, Chief Executive of both Nisaan dan Renault mengatakan pihaknya dan Renault akan mendirikan kantor baru di India sebelum 2008, dengan nilai kerjasama sebesar US$165 juta untuk membuat model mobil Logan yang dimulai pada 2007.

Dengan pertumbuhan ekonomi 6,9%, pertumbuhan pasar mobil di India terdongkrak. Penjualan kendaraaan di India berhasil menembus 1,06 juta mobil yang terdiri dari truk dan van tahun ini hingga akhir Maret.

Dari situ nampak. India adalah ancaman serius bagi China. Karena konsistensi regulasi pemerintah India di sektor industri.

Bagaimana Indonesia?
Gunadi Sindhuwinata, Presiden Direktur Indomobil Group menyebut kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia tak konsisten. Maka dari itu, sulit bagi bangsa ini untuk meniru China atau India. Karena, prinsipal akan berpikir ulang untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.

"Ya...kayak kurikulum pelajaran-lah. Setiap tahun ganti. Sama seperti kebijakan ekonomi negara ini. Setiap menteri ganti. Jadi investor ya...bingung," paparnya.

Bagi Gunadi ketidakkonsistenan itulah yang membuat RI selama ini hanya dijadikan sebagai basis pemasaran oleh prinsipal, bukan produksi. Jadi, hanya sekedar seperti Thailand juga sulit.

Padahal, sebelumnya Presiden Direktur PT Astra Honda Motor Minoru Yamashita pernah menyebut RI merupakan pasar sepeda motor terbesar ketiga di dunia dan ada kemungkinan menggeser India yang menempati urutan kedua. Sedangkan, pasar sepeda motor terbesar masih ditempati China.

Namun, harapan-harapan hanya menjadi euforia. Indonesia berkutat pada perdebatan antara 'boleh' dan 'tidak'. Perangkat kebijakan banyak yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi.

Bila melihat survai CGGI mestinya pemerintah harus memperhatikan kontinuitas regulasi. Dengan itu, Indonesia yang memiliki penduduk besar punya potensi untuk seperti China atau India. Tak sekedar mimpi. (
turyanto81@yahoo.com)

No comments: