Monday, October 01, 2007

Lombok

Pesona Kuta

KUTA Lombok tak sekedar pantai yang elok. Di balik bersih butiran lembut pasirnya itu, ikut diceritakan bagaimana suku aseli di daerah itu secara turun temurun mencari peruntungan hidup.

SEPOI angin Kuta bertiup. Berdesir. Mengantarkan riak pecah ombak di tepi pantai sana kepada butiran pasir putih dan serak daun-daun niur.

Pyakkkk...pyakkk...srakkk!” Air laut Kuta menghampiriku. Lalu, menyapu bersih setiap butiran pasir nan lembut yang dari tadi menempel di jari kaki. Dia seolah ingin menyapa. Berbisik dan bercerita: betapa indahnya diriku! Lihatlah ini! Mukaku yang tampak begitu asri dan berseri.

Aku terpejam. Merebah. Ditemani percik air laut pantai Kuta yang kadang timbul tenggelam. Hening. Tentram dan damai. Hmmm...alam Kuta kini benar-benar berhasil membiusku. Kagum.

Meski akhirnya, aku harus menyerah pada kantuk yang tak tertahan. Maklumlah, perutku sedang kosong. Karena hari ini, terhitung pertama kali aku berpuasa di bulan Ramadan tahun ini.

Namun, tiba-tiba aku terjaga. Terkejut. Saat dua bocah perempuan kecil ditemani seorang ibu paruh baya duduk di sampingku. Kulit mereka umumnya legam. Tebungkus kain kusam. Rambutnya pun memerah. Tak terawat. Kering karena setiap hari terbakar terik matahari pantai Kuta. ”Apa mereka ini pengemis?” batinku.

Mereka lalu menatap. Tajam. Dan, kian mendekat. Lantas, salah satu dari bocah perempuan itu berkata, ”Mas, beli pasir ini? Tak jual murah. Rp2.000 saja. Untuk tambahan biaya sekolah.”

Saya terkekeh mendengar tawaran itu. Anak tadi menawariku pasir yang dimasukkan ke tiga botol air mineral berukuran 600 mililiter. Huh! Ada-ada saja, pasir kok dijual!

”Untuk apa pasir itu?” tanyaku. ”Buat oleh-oleh mas. Di dalamnya sudah diisi cacing,” jawabnya singkat. ”Ha? Cacing? Jijik ah!” ”Iya mas cacing. Nanti kan bisa diletakkan di pot bunga. Bisa bawa berkah lo?”

Aku pun melirik ke arah sosok ibu paruh baya di samping kanan anak itu, Menelisik, seolah memberi isyarat kepada dia agar ikut bicara.

Tentu, wajar jika aku akhirnya penasaran juga dengan ucapan bocah tadi. Lho, ada apa dengan pasir Kuta? Apa bedanya dengan pasir-pasir di pantai lainnya? Kok sampai dijual-jual seperti barang antik! Lantas, cacing itu?

Perlahan kantuk yang ku rasakan mulai hilang. Keningku berkerut. Berpikir. Ingin mengetahui soal pasir dan cacing-cacing Pantai Kuta, Lombok itu.

Lalu, aku pun mengenalkan diri kepada mereka. Dua orang bocah itu menyebutkan namanya, Lainum dan Laika. Mereka baru berumur 12 dan 10 tahun. Hari itu, mereka libur sekolah. Datang ke pantai untuk mencari tambahan pendapatan dengan berjualan alakadarnya. Ada kalung dan gelang khas Lombok, atau botol-botol pasir seperti tadi.

Sedangkan ibu paruh baya itu bernama Lumi. Dia memiliki empat orang anak yang masih bersekolah semuanya. Malahan, putra yang paling besar kini tengah kuliah di Universitas Mataram, Lombok.

Pantai Kuta, sudah 20 tahun ini menjadi ladang penghasilan bagi Lumi. Dia berjualan kain khas daerah setempat pada para pengunjung. Baik itu wisatawan manca negara atau domestik. Jika musim libur datang, Lumi dapat untung hingga Rp300 ribu per hari. Namun, bila sedang sepi, bisa saja dia tidak mendapatkan uang sama sekali.

Baik Lainum, Laika, dan Lumi adalah penduduk kampung tradisional suku Sasak di Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Mereka membutuhkan ongkos Rp6.000 untuk bisa sampai ke Kuta.

”Mas, ayo beli. Buat bantu sekolah. Ini kalau sama turis saya jual mahal. Untuk mas murah saja, Rp2.ooo,” rayu Laika tak menyerah.

Aku hanya tersenyum. Diam tak menanggapi. Lalu, dengan sedikit bercada aku pun menjawab, ”Eh, sekarang tak boleh jualan pasir lagi. Dilarang. Lihat tuh papan pengumuman di depan. Dilarang jualan pasir Kuta. Entar ditangkap polisi lho...!”

Laika dan Lainum saling tatap mendengar ucapanku tadi. Mereka terdiam. Perlahan keduanya, bergegas pergi meninggalkanku. Tiga botol pasir itu pun terlupa mereka bawa. Entah sengaja atau tidak.

Setelah Laika dan Lainum pergi, aku pun mulai berbicara dengan Lumi. Jujur, aku ingin tahu banyak soal makna pasir dan cacing-cacing Kuta tersebut. Namun sayang, Lumi tak banyak tahu.

Dia hanya menyarankan agar saya menemui Agus, seorang warga Sasak di Sade untuk menjelaskan itu semua. ”Kebetulan orangnya masih di sini mas. Itu yang jualan kaos,” tuturnya sambil menunjuk pria gempal berkaos kuning dan topi hitam. Aku pun menghampiri Agus. Lantas, kami mulai bicara sana-sini.

Soal pasir dan cacing itu, Agus mengisahkan tentang sosok Putri Mandalika yang saat itu merasa putus asa. Ia tidak ingin menikah dengan salah seorang pangeran yang melamarnya. Ia berusaha menghindar dari kejaran si pangeran itu hingga tiba di pinggir laut.

Tanpa berpikir panjang, akhirnya ia menceburkan diri ke laut. Tak lama setelah tenggelam ditelan ombak, tiba-tiba dari sela-sela batu karang muncullah cacing-cacing yang beraneka warna.

Cerita rakyat itu, akhirnya menjadi awal mula timbulnya tradisi bau nyale di pesisir Pulau Lombok. Tradisi warisan dari suku Sasak, suku asli Lombok, ini sudah ada sebelum abad ke-16. Masyarakat setempat berbondong-bondong menangkap binatang tersebut karena diyakini dapat memberikan berkah.

Sampai sekarang tradisi ini masih dipertahankan oleh penduduk setempat, terutama di Pantai Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Menjelang berakhirnya bulan Februari, warga berkumpul di sepanjang pesisir selatan untuk menangkap cacing.

Annelida laut yang sering juga disebut cacing palolo (Eunice fucata) ini, termasuk jenis yang dapat dikonsumsi. Banyaknya cacing yang dapat ditangkap menunjukkan tingkat keberhasilan panen yang akan didapat oleh petani.

Hewan ini dipercaya masyarakat setempat sebagai pembawa kesejahteraan dan keselamatan, khususnya untuk kesuburan pertanian agar membawa panen yang memuaskan. Pantai Kuta, ternyata juga merupakan tempat peruntungan nasib bagi petani Lombok.

Matahari kian bergeser ke tengah. Duh, sudah pukul 14.00 WIT. Tak terasa hampir lima jam aku di sini. Tapi, keindahan Pantai Kuta, Lombok benar-benar tak mengecewakan. Perjalananku yang cukup jauh terbayar sudah ketika melihat keindahan alam yang masih asli ini.

Dari kejauhan, aku menatap beberapa pengguna jetski dan windsurfer yang berasal dari hotel Novotel Coralia Lombok yang berada sekitar 1 - 1,5 kilometer dari Pantai Kuta.

Yah, Kuta memang dikenal sebagai ajang untuk bermain jetski. Aku lantas bangkit. Bergeser dan meninggalkan Kuta. Di perjalanan, aku berbisik, ”Kuta memang memesona.”
(turyanto)

Thursday, September 06, 2007

KS


PT Krakatau Steel
Bergulat Menggapai Untung

DAENULHAY mengambil secarik kertas. Perlahan, ditariknya pensil yang sedari tadi menyelip di kantong baju seragam biru tuanya. Tak berselang lama, pensil itu pun langsung menari membentuk enam bulatan di atas kertas putih tadi. Dari keenam bulatan itu, bulatan pertama hingga kelima dibuat secara melingkar. Sedangkan, bulatan terakhir dipisahkan di atas bulatan kedua dan ketiga.

Lantas, orang nomor satu di PT Krakatau Steel itu pun langsung memberi kode di dalam keenam bulatan tersebut. Berurut, mulai dari C1 sampai C6. Tak berselang lama, Daenulhay lalu menamai kode-kode di dalam bulatan yang ia buat.

C1 adalah perusahaan produsen baja atau pihak Krakatau Steel sendiri, C2 konsumen, C3 kompetitor, C4 suplaier, C5 distributor, dan C6 regulator. ”Inilah peta persoalan kami di Krakatau Steel. Ada lima faktor yang harus dilawan oleh satu company ditambah satu faktor luar,” ucapnya sembari membuat garis panah hubung antarmasing-masing kode.

Kepada saya di ruang kerjanya, awal bulan lalu, Daenulhay menyatakan konsumen ibarat seorang raja yang harus selalu dipenuhi semua keinginannya. Jika tidak, maka dia akan mudah beralih ke perusahaan lain. Apalagi, kini baja telah menjadi komoditas yang begitu mudah diperoleh. ”Jadi kami harus melawan tekanan konsumen. Kalau tidak dia pindah ke sini (kompetitor),” katanya.

Di sisi lain, Krakatau Steel juga harus melawan pihak kompetitor, bukan hanya di dalam negeri tetapi juga luar negeri. Mereka umumnya adalah perusahaan swasta yang begitu fleksibel dan bisa menerapkan special propose company dengan keuntungan marginal. Swasta juga dapat menghindari pajak jika keuntungan mereka masih minus dan turut memangkas upah pekerja. Tentu, kondisi ini sangat berbeda dengan Krakatau Steel yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kemudian, Krakatau Steel dihadapkan pula dengan suplaier bahan baku dan tekanan distributor di daerah-daerah yang siap menjadi kompetitor jika tidak dituruti kemauannya.

”Waktu perpindahan distributor itu cepat. Bukan bulanan, tapi harian. Kalau tidak dipenuhi, mereka ikut jadi pesiang kami. Terus ditambah regulasi. Akhirnya, bila kekuatan kami tak match dengan mereka (lima faktor tadi), maka KS ya, death!” tuturnya.

Sebab itu, Daenalhay menyatakan, tidak ada pilihan lain bagi Krakatau Steel, kecuali memperkuat daya saing dengan menciptakan keunggulan kompetitif, baik itu berupa kualitas produk ataupun harga. Krakatau Steel juga saat ini tengah menjajaki aliansi strategis dengan perusahaan sejenis, mencari pendanaan baru melalui privatisasi perusahaan induk dan anak usaha, selain menerapkan kontrak jangka panjang bahan baku dengan suplaier, memilih konsumen menengah ke atas agar tetap eksis sebagai pemain baja terbesar di Indonesia.

***

MEMANG di tengah-tengah semakin kinclongnya industri baja global, kondisi perusahaan baja nasional hingga kini masih saja terseok-seok, termasuk di dalamnya PT Krakatau Steel. Meskipun, pasar baja di dalam negeri masih terbuka lebar, hal itu bukanlah jaminan bagi Krakatau Steel untuk bisa mendulang untung berjibun. Bahkan, keuangan BUMN ini masih saja seret.

Krakatau Steel pada tahun lalu mengalami kerugian yang serius yakni mencapai Rp194 miliar, kendati pada triwulan pertama 2007, perseroan telah berhasil membukukan laba bersih sesudah pajak sebesar Rp117 miliar, atau melonjak 182 persen dari target yang dipatok Rp64 miliar.

Nilai ini diperoleh dari penjualan produk baja Krakatau Steel yang mampu mencapai Rp2,957 triliun atau 87 persen dari target Rp3,416 triliun. Dari capaian ini Rp2,704 triliun didapatkan dari penjualan domestik dan Rp253 triliun pasar ekspor. Sedangkan, penjualan produk non baja berhasil mencapai Rp3,165 triliun.

Tahun ini sendiri, total volume produksi grup Krakatau Steel diproyeksikan dapat meningkat menjadi 6,12 juta ton atau naik 15,54 persen dibandingkan 2006 hanya mencapai 5,3 juta ton. Perseroan juga berencana meningkatkan nilai penjualan produk baja di pasar domestik pada 2007 menjadi Rp11,57 triliun dari Rp9,66 triliun pada 2006.

Namun, situasi yang dialami Krakatau Steel tentu sangat ironis bila dibandingkan dengan industri baja dunia yang tengah berpesta menikmati keuntungan besar. Sebut saja, perusahaan baja asal Korea, POSCO yang dibangun hampir bersamaan dengan Krakatau Steel yakni pada era 70-an.

Saat ini berdasarkan data International Iron and Steel Institute (IISI) perusahaan tersebut telah mampu memproduksi 30,5 juta ton per tahun. Sedangkan, Krakatau Steel baru mampu 2,5 juta ton saja.

Selain itu, yang paling fenomenal adalah perusahaan baja Arcelor-Mittal di panggung global yang kini mampu menggeser dominasi Nippon Steel sebagai pemain terbesar baja dunia setelah merajai dalam lima tahun terakhir. Arcelor—Mittal merupakan perusahaan yang lahir dari hasil merger Mittal Steel dan Arcelor. Kedua perusahaan baja tersebut kini menghasilkan produksi hingga 125 juta ton.

***

DAENULHAY sangat menyadari tantangan yang tengah dihadapi perusahaannya. Sebab itu, kini dia tengah fokus untuk menjadikan Krakatau Steel untung. ”Target saya tahun ini bisa untung Rp550 miliar.”

Karena itu, ujar dia, Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2007, PT Krakatau Steel telah menerapkan langkah-langkah jangka pendek, menengah, dan pajang untuk mencapai visi mereka sebagai perusahaan baja kelas dunia. Pada 2007—2008, perseroan mematok target untuk bisa unggul berdasarkan harga yang kompetitif dan mampu bersaing dengan produk kompetitor, baik itu impor ataupun ekspor.

Pada 2008—2013, Krakatau Steel juga menargetkan bisa memiliki kapasitas total 10 juta ton. Caranya, dengan joint venture, penempatan modal dan akuisisi pada perusahaan baja nasional dan luar negeri. Sementara, pada 2020 perseroan berharap meningkatkan kapasitas total menjadi 20 juta ton. (tur)

Kakao


Habis Sawit, Pikirkanlah Kakao

SEMASA krisis melanda negeri ini pada 1997, kakao telah terbukti mampu menjadi tumpuan ekonomi bagi sekitar satu juta lebih masyarakat tani di pedesaan. Harga kakao dunia yang terus melambung saat itu, hingga pada kisaran Rp20 ribu per kilogram di level petani, membuat mereka tersenyum manis menengguk untung berjibun.

Namun, sayang dalam perjalanannya, pengembangan kakao kalah kinclong dibandingkan kelapa sawit. Salah satu penyebabnya, keseriusan ’campur tangan’ pemerintah untuk menyulap kakao sebagai komoditas andalan laiknya kelapa sawit, masih timbul tenggelam dan terkadang mati angin.

Kendati harus diakui, dalam beberapa kesempatan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Muhammad Lutfi selalu gencar mempromosikan potensi industri pengolahan kakao ke luar negeri untuk menarik investasi baru. BKPM sendiri tahun ini memfokuskan untuk mendorong investor masuk ke industri pengolahan biji kakao menjadi produk hilir.

Tetapi, upaya itu, pastinya akan sulit berbuah jika regulasi untuk memicu perkembangan sektor hulu dan hilir masih belum saling mendukung. Bahkan, pemain kakao di hulu sampai hilir hingga kini terus saja berkutat pada persoalan sama. Mereka jatuh bangun memikirkan minimnya produksi kakao per hektare di tingkat petani, kualitas bibit yang buruk, belum terpenuhinya ketentuan standar yang diharapkan, ataupun jaminan ketersediaan pasokan biji kakao berfermentasi bagi industri pengolahan.

Karena itu, meskipun seabrek insentif telah digelontorkan oleh pemerintah guna memicu investasi baru di sektor usaha tersebut, seperti dengan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen bagi produk primer sejak awal 2007 ini, tapi toh nyatanya industri pengolahan kakao nasional belum jua bergairah. Malah, sejak muncul di era 80-an, pertumbuhan industri pengolahan di Indonesia sampai kini bisa disebut stagnan.

Pada 2006 lalu misalnya, dari total kapasitas terpasang industri pengolahan nasional yang mencapai 300 ribu ton, pemanfaatan kapasitas produksinya baru 50 persen saja, atau sekitar 150 ribu ton. Pemicunya, pabrik kakao sulit mendapatkan bahan baku biji berfermentasi dari petani.

Padahal, produksi kakao nasional tahun lalu telah mencapai 600 ribu ton yang dihasilkan dari 992.446 hektare total areal kakao. Dari nilai itu, 70 persen diekspor dalam keadaan mentah.

Kondisi di dalam negeri ini, tentu begitu kontradiktif dengan apa yang terjadi di Malaysia. Negara Jiran itu, telah mampu mengolah kakao 250 ribu ton hanya dengan produksi 30 ribu ton per tahun saja. Perbandingan yang ironis!

***

MELIHAT ke belakang, perjalanan industri pengolahan kakao nasional tidaklah segampang yang diharapkan saat awal kali dirintis di era 80-an. Sejumlah jalan terjal menghadang. Dan, terkadang gajalan itu mengarah kepada kebangkrutan usaha.

Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman menceritakan, sebelum tahun 2000, Indonesia memiliki tak kurang dari 30 industri pengolahan kakao. Namun jumlah itu kian menyusut. Tinggalah kini tersisa 15 industri saja dengan kapasitas terpasang 314 ribu ton per tahun, tetapi realisasi produksinya baru 165.500 ton per tahun.

Dia mengatakan, beberapa kejadian besar yang memukul industri kakao nasional adalah hengkangnya PT General Food Industries (Delfi Group) pada 2002 ke Malaysia. Lalu, menginjak awal 2005, PT Inti Kakao Abadi Industries menyetop produksi dan merumahkan sekitar 200 karyawannya.

”Penyebabnya waktu itu pengenaan PPN 10 persen atas pembelian lokal biji kakao. Lalu, kami sulit memperoleh suplai biji kakao bermutu dan difermentasi,” tuturnya.

Akibat masalah ini, Piter menyatakan, industri pengolahan kakao nasional harus mengimpor dari Afrika sebanyak 30 ribu ton per tahun biji kakao fermentasi. Selain itu, industri domestik juga mengalami diskriminasi tarif bea masuk (BM) kakao olahan asal Indonesia oleh Eropa dan China. Sedangkan di dalam negeri, pemerintah memberlakukan tarif BM impor biji kakao asal India dan Brasil yang lebih tinggi.

Ketidaknyamanan yang dirasakan pengusaha tersebut, lantas membuat pemerintah bertidak sehingga terbitlah surat Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Keuangan Nomor B.168/M.Sesneg/03/2005 tertanggal 17 Maret 2005. Surat itu berisi arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pengembangan industri cocoa processing.

Setelah surat itu terbit, dunia usaha menyambut positif. Lalu, munculah sejumlah pemain baru, seperti PT Industri Kakao Utama di Kendari, PT Kopi Jaya Cocoa di Makassar. Beberapa industri yang sudah ada pun kemudian melakukan ekspansi, yakni PT Bumitangerang Mesindotama dan PT Maju Bersama Cocoa Industry.

Melalui arahan Presiden itu pula, setiap departemen akhirnya melakukan dukungan riil guna menggenjot industri pengolahan kakao. Departemen Pertanian misalnya, mereka membentuk Komisi Kakao Indonesia pada 5 Januari 2006. Lembaga ini merupakan cikal bakal Dewan Kakao Indonesia dengan Keputusan Mentan No. 03/Kpts/OT.160/1/2006. Deptan juga merevisi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Wajib Fermentasi.

Selanjutnya, Departemen Keuangan juga menghapus PPN 10 persen atas produk primer pertanian, diikuti Departemen Perindustrian (Depperin) mengkaji penerapan Pungutan Ekspor atas biji kakao dan mekanisme pengembaliannya agar benar–benar bisa dimanfaatkan kembali untuk membantu petani kakao. Depperin juga berhasil menerapkan harmonisasi tarif dari 5 persen menjadi 15 persen guna mengurangi impor produk kakao olahan sejak Februari 2006.

Lalu, Departemen Perdagangan ikut aktif melakukan negosiasi penurunan tarif untuk produk kakao olahan Indonesia di China dalam Joint Commission RI–China pada Agustus 2006. Negosiasi itu juga mendapat dukungan dari Presiden untuk meningkatkan volume perdagangan kakao dengan China pada saat kunjungan kenegaraan ke negara itu pada 29 Juli 2005.

Di luar upaya itu semua, kini komoditas kakao di Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah masalah. Tak jauh beda dengan kelapa sawit, kalangan industri pengolahan meminta kepastian pasokan bahan baku untuk meningkatkan kapasitas produksi. Salah satunya, dengan pengenaan pungutan ekspor (PE) plus pemberlakuan SNI wajib bagi komoditas itu.

Tentu, usulan ini mengundang sejumlah polemik. Bagi para pelaku di sektor hulu, PE dinilai bukan solusi bijak untuk menuntaskan persoalan bahan baku industri pengolahan. Selama ini, pelaku usaha perkakaoan nasional terbagi atas Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Asosiasi Perusahaan Coklat dan Kakao (APICKI), dan Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI).

Sekjen Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang mengatakan, Departemen Keuangan (Depkeu) melalui Ditjen Pajak harus melakukan penyelidikan ke perusahaan pengolahan kakao yang mencitrakan seolah-olah industri kakao diambang kehancuran. Padahal, itu tidak seluruhnya benar.

Sebenarnya, lanjut dia, kapasitas terpasang industri pengolahan baru 230 ribu ton per tahun. Bahkan, industri kakao di Sulawesi Selatan saat ini dapat menikmati selisih harga bahan baku sekitar US$30-US$50 per ton karena faktor kemudahan pasokan.

***

MENGINGATKAN kembali hasil International Cocoa Conference yang digelar di Denpasar, Bali pada 28-29 Juni 2007 lalu, sebenarnya yang dibutuhkan oleh para pelaku perkakaoan di tanah air kini adalah bagaimana mendongkrak produksi nasional komoditas itu agar mampu berjaya, selain membiasakan petani menjual kakao berfermentasi. Sebab, selama ini produktivitas kebun kakao petani hanya rata-rata 600 kilogram per hektare per tahun.

Apalagi, harus disadari pasar masih sangat terbuka luas. Konsumsi cokelat global kini juga terus naik sebesar 2—4 persen, atau 60—120 ribu ton per tahun. Selain itu, pertumbuhan permintaan biji kakao juga naik 2,6 persen per tahun.

Sedangkan, pasokan hanya tumbuh 2,3 persen per tahun sehingga memicu kenaikan harga yang relatif cepat. Tentunya, kondisi ini merupakan peluang bagus bagi Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar tersebut, mengingat ketersediaan lahan masih cukup luas. Terutama, untuk mencapai target pertumbuhan kinerja ekspor kakao tahun ini sebesar 21,03 persen menjadi US$1 miliar.

Bagi pemerintah, tentu tak ada salahnya, jika kini saatnya memulai memikirkan secara serius komoditas kakao, setelah berhasil mendorong ekspansi besar-besaran kelapa sawit. Karena, dengan memicu investasi kakao berarti menghendaki petani semakin untung dan sejahtera. Tidak seperti kelapa sawit yang saat ini lebih banyak dinikmati pemain berdasi.

Thursday, August 23, 2007


Membangunkan Petanian dari Tidur Panjang

MARI kita buka lembaran tahun depan dengan sikap optimisme bahwa bangsa ini akan terbebas dari orang miskin. Tercukupi kebutuhan pangannya dan mampu menjadi negara yang dapat menekan angka pengangguran.

Tentu kita terus risih, jika tahun depan jumlah penduduk miskin masih dinyatakan meningkat. Pastinya, kita bisa menjadi frustasi dengan kinerja pemerintah, saat acap kali Badan Pusat Statistik (BPS) merilis datanya, angka pengangguran terus melonjak.

Meski tidak bisa dinafikan, pemerintah telah berusaha keras menekan kedua angka ini. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula, jika laporan BPS berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006 pada awal bulan lalu mengungkapkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total 222 juta penduduk. Angka itu, tentunya bertambah sekitar empat juta orang dibanding yang tercatat pada Februari 2005.

Berbagai formula pengentasan kemiskinan pun telah beberapa kali kita dengar diujicobakan pemerintah. Seperti melalui Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui bantuan langsung tunai.

Namun faktanya, kemiskinan tetap saja menjadi penyakit umum bagi warga pedesaan di Indonesia. Kondisi ini nyatanya telah mengakar dalam struktur masyarakat desa kita sejak lama. Apa penyebabnya?

Pertama, tentu struktur agraris yang timpang dalam hal kepemilikan lahan. Tidak bisa dibantah apabila saat ini rata-rata petani kita hanya memiliki lahan di bawah 0,5 hektare (ha) tanah, sehingga diolah dengan cara apa pun tak akan memberikan nilai tambah. Bahkan, data BPS menyebutkan, sekitar 56,5 persen petani di Indonesia adalah petani gurem dengan kepemilikan lahan di bawah 0,3 hektare.

Kedua, punahnya kearifan lokal dalam proses produksi pertanian—petani lebih dipicu menggunakan sistem pertanian konvensional dengan high input—serta hilangnya budaya lokal di dalam pengelolaan pascapanen, seperti sistem lumbung sebagai tabungan bersama dan antisipasi persediaan pangan saat musim paceklik hilang.

Saat ini, petani telah terjebak untuk menjual padi ketika mereka panen, dengan rayuan harga tinggi. Bahkan tak sedikit dari tengkulak masuk sawah saat petani panen. Kita tentu sudah jarang menemui sosok petani yang sabar dan mau menjemur padi di rumah kemudian menyimpannya. Para petani dininabobokan dengan sistem yang hanya merugikan mereka itu sendiri.

Ketiga, politisasi bidang pertanian. Di Tanah Air, sedikitnya terdapat empat kebijakan yang kini mengatur persoalan pertanian, yakni kebijakan beras impor, kebijakan mencabut subsidi pupuk, kebijakan pengendalian harga dasar gabah, dan yang lebih parah adalah kebijakan penyediaan lahan untuk kepentingan umum.

Keempat, kebijakan tersebut kalau dianalisis secara tajam tidak satu pun berpihak kepada kaum petani. Padahal, jauh sebelum krisis ekonomi banyak kritikan yang ditujukan kepada pemerintah mengenai paradigma dan strategi pembangunan nasional yang terlalu menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan menjadikan sektor industri sebagai lokomotifnya.

Dalam konteks ini sektor pertanian hanya dijadikan ladang penanaman modal dan sumber subsidi untuk kepentingan industrialisasi. Hal ini berdampak pada banyaknya korban pengangguran, terutama kaum perempuan di pedesaan, sebagai akibat modernisasi dan mekanisasi di sektor pertanian.

Selain itu, pembaruan agraria yang dulu diyakini sebagai salah satu konsep pembaruan sosial ekonomi di pedesaan, kini oleh negara tidak lagi dipandang sebagai jalan strategis untuk membangun tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan sejahtera.

Padahal, melalui reformasi agraria, ada pemerataan dan sekaligus pertumbuhan karena redistribusi lahan dilakukan, ada keadilan karena aspek produksi ditata, dan ada keberanian karena petani bebas menentukan pilihannya, termasuk bebas berorganisasi.

Tentu, ingatan kita masih lekat dengan pencanangan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) 11 Juni tahun lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY) yang semula disebut sebagai salah satu strategi tiga jalur dalam mengobati kesenjangan sosial petani kita.

Memang dari sisi ide, terobosan ini cukup baik. Bahkan jika berhasil, pastinya warga tani kita akan senang. Sebab kehidupan perekonomian mereka akan terangkat, angka kemiskinan dan pengangguran tertekan, dan pertumbuhan pertanian rata-rata dapat menembus nilai 3,5 persen per tahun.

Tetapi, setelah satu tahun lebih kebijakan itu digelontorkan, sejumlah pekerjaan rumah menumpuk. Masing-masing Departemen teknis terkait dinilai gagal menafsirkan program tersebut. Semua berjalan dengan sendiri-sendiri. Parahnya, pemerintah seperti tak pernah membayangkan wajah pertanian Indonesia hingga 20 tahun ke depan.

Berkaca pada hasil penelitian yang dirilis Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FE UI) pada 2002, diproyeksikan pada 2015 bangsa ini akan mengalami defisit produksi beberapa komoditas pangan, seperti jagung, kedelai, daging sapi, dan susu.

Dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1,8 persen per tahun, maka di asumsikan hingga 2015 jumlah penduduk Indonesia bakal mencapai 254 juta jiwa. Angka penduduk itu berarti, jika pada tahun tersebut Indonesia tak mampu mengejar tingkat produksinya, maka akan terjadi defisit pangan yang luar biasa, yakni 1,4 juta ton untuk jagung, 2,3 juta ton kedelai, 486 ribu ton daging sapi, dan 1,2 juta ton susu.

Di samping itu dalam priode 2004—2006 saja tercatat angka impor sejumlah komoditas pertanian meningkat signifikan. Sebut saja gula yang semula hanya 321,17 ribu ton pada 2004 menjadi 654,68 ribu ton pada 2005.

Kita tentunya sadar, membangun pertanian bukanlah sesuatu yang bersifat jangka pendek. Demikian juga dengan persoalan pertanian yang selalu merupakan masalah jangka panjang, berulang-ulang, dan kondisinya selalu sama.

Akan tetapi, disayangkan selama ini solusi yang diambil pemerintah selalu saja bersifat jangka pendek dan ad-hoc. Karena itu, sangat tepat jika pemerintah mestinya melihat wajah pertanian nasional dulu—walau hanya untuk 2020 saja--sebelum meluncurkan paket-paket kebijakan pertanian.

Pertama, yang patut diperhatikan adalah persoalan petani itu sendiri. Memang berdasarkan data BPS pada Oktober 2006, Nilai Tukar Petani (NTP) bulan lalu naik tipis 0,79 persen menjadi 103,15 point dari bulan sebelumnya yang hanya 102,35 point.

Kenaikan itu, disebabkan indeks harga yang diterima petani naik 1,07 persen, atau lebih besar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,28 persen.

Namun yang patut dipertanyakan adalah, apakah dengan product domestic bruto (PDB) pertanian yang saat ini berkisar 15 persen, sedangkan jumlah tenaga kerja mencapai 45 persen, mungkinkah sumbangan pertanian terhadap gross domestic product (GDP) hingga 2025 dapat mencapai 8 persen? Dengan penyerapan tenaga kerja di atas 10 persen? Tentu sangat sulit.

Di samping itu, nyatanya petani yang makin miskin kini malah terdapat di Jawa. Hal ini membuktikan Jawa mengambil peranan paling besar dalam pembangunan infrastruktur. Namun, dari program Infrastructur Summit yang menghasilkan dana sekitar Rp300 triliun, mengapa tak satu pun dikucurkan untuk pertanian? Sekedar membantu petani miskin di Jawa?

Kedua, menyangkut sumberdayanya. Mungkinkah bangsa ini memiliki 15 juta hektar lahan abadi untuk pertanian? Mungkinkah di Jawa nantinya satu petani akan memiliki satu hektar lahan pertanian seperti yang dicanangkan pemerintah?

Belum lagi masalah sumber daya manusia (SDM). Tak bisa dipungkiri sekitar 70 persen dari 50 juta petani dan buruh tani di Indonesia berpendidikan sekolah dasar (SD). Kondisi itulah yang menyebabkan kualitas SDM kita berada pada peringkat 111 dari 174 negara di dunia.

Ketiga, masalah bisnisnya. Contoh sederhana yang paling mudah dipakai adalah komoditas gula, mungkinkah tebu 40 persennya menjadi gula, 40 persennya menjadi etanol, dan 20 persennya menjadi pakan ternak dan produk lain? Mungkinkah pula 80 persen gula dapat diproduksi di luar Jawa?

Dari berbagai pengamatan juga, pada 2020 nanti, Indonesia diprediksi akan menjadi pasar ekspor bagi produk pertanian dari China karena mereka surplus. Memang, 80 persen produksi lada dunia adalah Indonesia, tapi Madagaskar sudah mulai menyalip sehingga kita perlu waspada. Memang, Indonesia pengahasil pertama kelapa dunia, tapi kalah dengan Filipina.

Mengambil definisi ekonom Indef Bustanul Arifin, revitalisasi pertanian berarti menjadikan pertanian sebagai landasan pembangunan ekonomi. Implikasinya tentu seluruh pembangunan ekonomi yang dilakukan mengacu pada sektor pertanian.

Karenanya seluruh kebijakan pembangunan ekonomi seperti pajak, perbankan, industri, perdagangan, infrastruktur, dan sebagainya acuannya adalah menggerakkan pertanian.

Tentunya dari definisi tersebut, revitalisasi pertanian akan berhasil bila dilaksanakan sebagai satu kesatuan program dengan departemen lain. Dengan saling mendukungnya kebijakan industri, perdagangan, permukiman dan prasarana wilayah, tata ruang, dan perbankan. Hasil besar yang akan didapatkan dari perpaduan komponen ini tentulah peningkatan kesejahteraan petani.

Tapi dari definisi itu, hal yang paling ditakutkan adalah munculnya privatisasi dari revitalisasi yang dicanangkan. Privatisasi yang saya maksud adalah pemerasan sektor lain yang semakin memukul dan mencekik sektor pertanian.

Hal ini muncul karena paradigma pembangunan pertanian belum sepenuhnya mampu dipahami. Revitalisasi pertanian tak memiliki himbauan ideologis yang menjadi rujukan. Memang pembangunan jangka menengah sudah dimiliki yang pastilah merujuk pada visi misi program SBY.

Sadar atau tidak sadar saat ini kita terperangkap dalam pola pikir lama. Konsep ini menempatkan petani sebagai faktor produksi yang kedudukannya sejajar dengan faktor-faktor produksi yang lainnya. Penekanan revitalisasi pertanian pada hanya berada pada dimensi ekonomi saja tanpa ketiadaan nilai-nilai ideologis yang menyebabkan draft RPPK dapat dimaknai multi-tafsir (tur)

MAUT

Pilihan-pilihan Itu Kian Jelas

Keyakinan itu, semakin membulat di kalbuku. Saat, satu per satu mata ini mulai menatap lika-liku gemulai langkahmu. Di situ, kamu janjikan kedamaian laksana mentari menatap petang dan menyambut pagi. Ceritamu, kisahmu benar-benar telah membuatku larut. Menjadikan aku rindu dan ingin segera menjemputmu....
Ajalku, andai kau telah datang, berikanlah keikhlasan pada orang-orang yang menangisinya. Ajarkanlah pada mereka tentang arti hidup. Dan, beritahukan ke semuanya bahwa hidup itu terasa berarti ketika semua telah berakhir....

Mautku, tanamkanlah didadaku ini bahwa aku rindu kepadamu. Jangan biarkan aku takut menyapamu karena ketidakmampuanku menebus semua hutang-hutang ku selama ini. Sungguh, sejatinya aku malu, jika kau jemput dengan keadaan kotor.


Kematianku, satu yang jujur ingin kukatakan saat ini: aku rindu kamu! Benar, aku rindu...bukan karena aku sakit hati dengan hidup atau takut dengan dunia ini. Tapi, aku benar-benar pasrah dan ikhlas, jika suatu saat kau siap menjemputku!

Tuesday, August 14, 2007

Dunia

Dunia Adalah Perhiasan

WAJAH Bunga tersaput kabut. Ia gelisah. Meski telah berusaha tak mau memikirkan kondisi kakak-kakak iparnya, namun tetap saja rasa itu mengganggu perasaannya.

Belum genap satu tahun Bunga meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Bunga menyusul sang suami yang telah lebih dahulu ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah sang suami memperoleh pekerjaan tetap, barulah Bunga bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.

Di Jakarta, Bunga tinggal bersama keluarga besar sang suami dalam satu atap. Ada banyak kamar di rumah itu. Setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Bunga dan gadis ciliknya menempati kamar sang suami. Hanya kamar sempit itu privacy mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga. Sungguh berbeda dengan rumah orang tuanya yang luas dan indah, namun selalu mengajarkan kesederhanaan.

Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Bunga. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar sang suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar.

Apalagi di saat seperti ini, saat-saat di mana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji sang suami yang belum lama kerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Bunga tetap tak berminat menganut gaya hidup seperti itu.

Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidak cocokan antara Bunga dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Bunga. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Bunga, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.

Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.

Semula Bunga tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Bunga hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.

"Apakah... Perempuan harus memakai perhiasan....?" Tanya Bunga pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Bunga lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.


"Ada apa, Kak...?" Tanya sang adik penuh perhatian. Bunga menghela nafas berat sebelum menjawab. "Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena gak pernah pakai perhiasan...."

Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf "R" sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.

"Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah...."

Bunga terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.

"A..Apa, Dik?", Tanya Bunga. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Bunga untuk memperjelas ucapannya.

"Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak… jadi kakak gak perlu sedih karena gak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah..."

Mendengar perkataan sang adik, wajah Bunga berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.

Bunga tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat. "Terima kasih, adikku...."

Kakak beradik itu pun berpelukan. Yah, dunia itu adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.

cemburu

Ajarkan Aku Jadi Pencemburu

“Ketika hati telah mengaku cinta
Maka akan dihadapkan
kepada ayat-ayat ujian dan penafsiran
untuk membuktikan semuanya.”
(Amru Kholid)


Cemburu itu ada karena cinta. Setelahnya, tergantung sikap kita. Cemburu, memang menggemaskan. Kadang, berselimutkan duka, terselipkan sekeping dendam. Tapi, kadangkala justru sebagai pertanda betapa kita tidak bisa membohongi hati nurani sendiri kalau segenggam rasa itu ada. Mengusik dan akhirnya membuat hati gundah gulana.

Cemburu itu merupakan rasa kecintaan di mana tak boleh tersentuh yang lain. Hanya untuk kita. Diri kita sendiri. Rasa cemburu demikianlah sejatinya bisa mendatangkan cinta.

Cinta, memang bahasa universal. Dengan cinta, orang bisa menjadi sosok pecundang. Tapi bisa pula menjadi pahlawan. Tergantung, bagaimana pemikiran dan sikapnya. Manusia, tentu akan beragam dalam memaknainya. Jika dia seorang muslim, tentu akan terikat akan pijakan dan ajaran yang diyakininya. Pijakan kepada wahyu suci dan Muhammad sebagai teladan sepanjang zaman.

Hari ini, saya tidak akan menyoal tentang cinta. Tapi, akan sedikit berbagi gelisah tentang rasa cemburu. Rasa cemburu kepada Dia yang telah memberikan secara gratis setiap nafas yang setiap hari saya hirup.

Dia yang telah mengatur detik waktu dengan memberikan segenap kemurahan dalam keseharian kehidupan. Tepatnya, memang bukan tertuju kepada Dia semata, tapi lantaran segenap manusia yang berlomba-lomba mencintaNya. Ya, sekali lagi tentang cemburu yang dengan harap mendatangkan rasa cinta.

Di zaman ini, kekeringan cinta dan spiritual memang kerap melanda. Bagaimana tidak. Berbondong-bondong orang mengejar rupiah. Ketika dikejar ia lari. Ketika kita diam ikut diam. Simalakama. Bukan tanpa alasan. Inilah fakta yang mungkin terasakan. Entahlah. Memang tak seratus persen benar. Tapi, izinkan itu sebagai gambaran bagaimana sibuknya kita.

Hari demi hari, tersibukkan dengan aroma rupiah. Bukan bermaksud merendahkan orang yang terlalu ambisius mengejar untung dan penghasilan. Hanya ingin sekedar menyapa hati betapa ada kalanya oase jiwa yang mengering perlu kita basahi dengan ayat-ayat Tuhan. Tentang rahasia semesta yang fana. Tentang keyakinan akan dunia “sana” yang hakiki.

Hari ini, saya begitu cemburu. Ya, kepada orang yang seimbang hidupnya. Kepada mereka yang menyeimbangkan rasa cinta dunia dan akhirat. Kepada mereka yang semangat bekerja tapi tidak terlalu ngoyo dalam bekerja. Dalam kesehariannya, mereka bisa membagi waktu antara urusan kehidupan duniawi dan urusan penghambaan kepada Tuhan. Singkatnya, orang yang bisa memaknai secara benar atas eksistensi dirinya dimuka bumi dan pemahaman yang tepat tentang pentingnya sentuhan spiritualitas yang akan mendatangkan kebahagiaan kelak di kemudian hari, hari yang telah dijanjikan dengan segenap kenikmatannya.

Seperti yang pernah terlihat pada seseorang di masjid pada sebuah pagi. Sekira jam delapan. Lelaki itu, dengan baju kantor lengkap dengan dasinya, mampir ke sebuah masjid. Dibasuh mukanya dengan air wudhu. Dia sholat Dhuha, membaca Al-Quran lantas berdoa sejenak. Setelahnya, bergegas memacu motornya ke kantor dengan semangat prima. Bekerja demi seutas seyuman untuk anak dan isterinya di rumah.

Jujur, saya begitu cemburu dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Lelaki yang bisa menyeimbangkan hidup. Semoga, rasa cemburu ini bisa mendatangkan rasa cinta kepadaNya lebih besar dan lebih besar lagi. Pelan-pelan, nampaknya sisi jiwa ini begitu mengering dan mengeras. Mungkin, inilah saatnya untuk membasahi diri dengan Ayat-ayat CintaNya agar keseimbangan hidup semakin terjaga. (tur)

Monday, August 13, 2007

Kisah Hati

Menyentuh Pelangi
Alkisah seorang tuna netra bernama Kusnadi, yang berprofesi sebagai tukang pijat. Cerita ini dikisahkan oleh seorang trainer yang menjadi langganan Mas Kus ini ketika mahasiswa dulu. Saat itu Mas Kus berusia 27 tahun. Singkat cerita, pada suatu kesempatan si trainer ini bertanya-tanya tentang kehidupan sang tukang pijat langganannya itu.
Berpenghasilan seadanya dan tinggal mengontrak di sebuah tempat kos. Si trainer ini bertanya mengapa tidak tinggal saja di mess karena sewa kamar-nya jauh lebih murah. Kemudian Mas Kus menjawab, bahwa ia ingin membantu adik-adiknya (sesama tukang pijat-tuna netra) dengan memberikan kamar mess itu.

Tak habis pikir, si trainer ini bertanya kembali, kenapa ia berlaku begitu. Mas Kus mejawab bahwa kini ia sudah berpenghasilan dan karena itu ia harus belajar mandiri. Si trainer ini bertanya kembali, apakah penghasilannya cukup dan masih tersisakah uang untuk ditabung. Mas Kus kembali menjawab, dengan tenang, bahwa penghidupannya masih mencukupi dan masih bisa menabung, walaupun hanya beberapa perak.
Kembali penuh keheranan, si trainer bertanya, untuk apa uang tabungannya kelak. Mas Kus mengungkapkan kisahnya, bahwa ia terlahir buta dan merasa sebagai orang paling naas di dunia. Tidak pernah melihat indahnya mentari pagi, warna-warni bunga, dll. Namun, ketika orang tua-nya memasukkan ia ke panti, ia sadar bahwa dirinya tidak se-naas itu. Ada banyak orang yang mengalami nasib serupa.

Sejak saat itu, ia bertekad untuk bisa memberikan kebahagiaan untuk orang lain, meski dengan keterbatasannya. Ia tidak ingin terkungkung dalam perasaan itu. Oleh karena itu, tabungannya kelak akan dibelikan gitar agar dengannya ia dapat membahagiakan orang dengan nyanyian. Si trainer mendengar dengan seksama dan mulai dihinggapi perasaan aneh. Sederhana, menyentuh, dan dalam.

Setelah beberapa hari, si trainer berkunjung ke rumah Mas Kus dan membawakan gitar miliknya. Ia kemudian menyodorkan gitar itu dan Mas Kus mulai memainkan beberapa lagu. Ada pemandangan yang indah di situ, raut wajah Mas Kus menyiratkan kebahagiaan yang tidak terucap. Si trainer mengatakan kepada Mas Kus bahwa ia dengan tulus-ikhlas ingin meminjamkan gitar itu sampai Mas Kus memiliki gitar sendiri.

Namun, seperti yang telah diduga sebelumnya, Mas Kus memasukkan gitar ke sarungnya dan mengembalikan kepada si trainer. Sekali lagi si trainer mengatakan bahwa ia tulus-ikhlas dengan semua ini. Apa jawaban Mas Kus? Katanya, ’izinkan saya membahagiakan adik-adik saya dengan keringat saya sendiri’... Perasaan itu hinggap lagi, sederhana, menyentuh, dan semakin dalam.

Ada lagi kisah yang lain, kalau sudah pernah nonton film-nya pasti tahu kisah ini. Kisah seorang anak perempuan 15 tahun, Ikeuchi Aya yang divonis mengidap penyakit langka yang menyerang otak (lupa namanya^_^) dan menyebabkan kematian secara perlahan. Yup, 1 litre of tears. Diawali dengan kematian fisik akibat rusaknya koordinasi dengan otak secara bertahap hingga kematian sebenarnya.
Tapi, apa yang telah dipilih Aya adalah sesuatu yang luar biasa. Melalui Aya No Niki (buku harian Aya) yang diterbitkan, ia telah menjadi inspring to stay alive bagi banyak orang, terutama orang yang bernasib serupa. Hingga akhir hayatnya ia tetap menjadi pribadi yang bersemangat dan setelah kepergiannya ia tetap hidup di hati banyak orang. Jadi teringat, keinginannya di akhir buku harian: live on, forever...

Pastinya masih banyak kisah lainnya tentang kesejatian manusia di sekitar kita. Tentang makhluk bernama manusia yang ditakdirkan dengan keterbatasan, namun hendak atau bahkan telah berhasil menyentuh pelangi dan menjadi sebuah kemanfaatan bagi manusia lainnya. Kisah yang terkadang sederhana, bisa jadi menyentuh, namun yang pasti sangat dalam makna-nya.

Fragmen-fragmen kehidupan ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk tarbiyyah (pengkaderan) langsung dari Allah kepada kita, jika dan hanya jika kita mau melihat, berpikir, dan merasakan sekitar. Alhamdulillah, atas kesempurnaan fisik penciptaan kita. Namun, kini pertanyaannya adalah sudah sampai tangga mana kita hendak menyentuh pelangi? (diambil dr situs tetangga)

Friday, June 29, 2007



Ketika Susu Boyolali Tak Lagi Segar

DAERAH ini tak banyak berubah. Masih seperti dulu. Di sana-sini, patung sapi tampak kokoh berdiri di setiap sudut kota. Patung-patung itu pun berjejer teratur. Mulai dari yang di tengah pertigaan jalan hingga sejumlah kantor atau di beberapa rumah-rumah penduduk setempat.

Ukurannya beragam. Besar dan kecil. Namun, kendati begitu, ada satu kesamaan: patung-patung itu dicat hitam putih. Dan, patung-patung sapi itu bisa disebut sebagai simbol daerah ini. Sepintas menegaskan bahwa di dalamnya terdapat usaha peternakan yang begitu berkembang, sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi bagi penghuninya.

Boyolali, begitulah ia disebut. Diakui, debutan sebagai salah satu sentral peternakan di Jawa Tengah tak bisa dipisahkan dari identitas daerah ini. Terutama usaha tani sapi perah. Boyolali pun terkenal dengan julukan sebagai kota susu.

Sebab, iklim yang sejuk karena topografi wilayah yang terletak di ketinggian 200-1500 meter di atas permukaan laut (dpl), sangat mendukung keberadaan peternakan sapi perah di daerah ini. Budidaya sapi perah di Boyolali tersebar di enam kecamatan di antaranya Cepogo, Boyolali, Mojosongo, Musuk, Selo dan Ampel.

Total produksi susu yang dihasilkan peternak sapi perah di enam kecamatan tersebut mencapai 31.177.928 liter dengan rata-rata per hari sebesar 75 ribu liter sampai 80 ribu liter. Angka itu merupakan yang terbesar di Jawa Tengah. Dengan populasi sapi perah mencapai 58.792 Ekor.

Selama ini, susu asal Boyolali menopang kebutuhan industri pengolahan susu (IPS) yang berada di Jawa Tengah, Yogyakarta maupun Jakarta. Susu Boyolali juga memenuhi kebutuhan susu segar di wilayah sekitar kabupaten itu sendiri, seperti Solo, Klaten, dan Semarang.

Namun sayang, produksi susu yang berlimpah tersebut tidak didukung oleh industri pengolahan susu. Proses pemasaran produksi susu dari peternak selama ini ditangani oleh Koperasi Unit Desa (KUD) di masing-masing kecamatan.


Setelah itu, disetorkan ke Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI). Selanjutnya dari GKSI, dipasarkan ke industri pengolah susu di luar Jateng, seperti PT Sari Husada di Yogyakarta, PT Nestle di Jawa Timur, dan PT Indomilk di Jakarta.

Kondisi inilah yang membuat peternak sapi di Boyolali kian merugi. Harga jual susu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk membeli pakan ternak. Mereka pun tak berdaya menghadapi ketentuan yang ditetapkan industri pengolahan susu. Terutama soal penetapan harga jual susu segar di tingkat peternak.

Akibatnya, kini peternakan sapi perah di Boyolali tengah terancam. Tak sedikit dari mereka yang beralih ke usaha penggemukan sapi. Hal itu disebabkan terlalu rendahnya harga susu. Produksi susu di kabupaten itu pun kian tergerus.

Doko (35), peternak asal Desa Musuk menyatakan, rendahnya harga jual susu mengakibatkan dirinya kini tak bergairah lagi melanjutkan usaha tani tersebut. Menurut dia, kondisi ini umum terjadi pada seluruh peternak sapi perah di Boyolali.

Dikatakannya, kalau pun masih ada yang memeras susu hanya sekadar untuk pekerjaan sampingan dan mengisi waktu luang. “Memeras susu dalam kondisi perekonomian yang tidak menentu hanya merugi,” ucapnya ringan.

Doko mengungkapkan, harga makanan ternak sekarang ini cenderung naik sehingga biaya pemeliharaan satu ekor ternak berkisar Rp 10.000 per hari. Biaya sebesar itu untuk membeli konsentrat, katul, dan ketela pohon.

Sedangkan, setiap ekor sapi perah terkadang hanya memproduksi lima liter susu per hari. Dengan demikian, dengan harga saat ini yang berkisar antara Rp1.400—Rp1.500 per liter, maka hasil penjualan susu KUD hanya menerima Rp7.500 per hari per ekor.

'”Kalau punya lima ekor sapi dengan produksi susu 25 liter per hari sih, masih bisa untung. Tapi kalau kaya saya ya rugi. Lha wong punyanya 2-3 ekor saja. Jadi bisa bangkrut,” tutur Doko yang mengaku akan mencoba mencari usaha lain karena menilai memeras susu sudah tak bisa diharapkan lagi. (tur)


Demak, Si Miskin yang Dermawan

Pergilah ke Demak, di sana tersimpan pesona yang melimpah. Ada masjid Agung Demak, makam kadilangu, grebeg besar, alat musik rebana, ukir gebyok, kaligrafi, dan sanggul. Ingin melihat pesta sedekah laut? Demak juga punya. Namanya Syawalan Morodemak.

Di sana juga ada acara Garebek. Sebuah tradisi tahunan jamasan (memandikan) pusaka Kyai Crubuk milik Sunan Kalijaga, Kyai Siri’an miliki Kesepuhan, dan Kotang Ontokusumo milik Raden Fatah.

Setiap acara itu berlangsung, warga Demak selalu ramai dan memadati alun-alun Kia Turmudi sampai Jogoloyo. Mereka minta keberkahan dan reziki. Terutama para pedagang kaki lima dan jajanan.

“Tumpengnya selalu laris lho, sambil membagikan, biasanya saya bilang, ‘semoga dagangannya laris ya…banyak dapat rezeki’,” ucap Bupati Demak, Endang Setyaningdyah.

Hebatnya sekali Garebek, Demak mendapatkan pemasukan kas derah Rp198,6 juta hingga Rp250 juta. Kas itu berasal dari para pengunjung dan peziarah makam yang tumpah ruah.

Selain itu, Kabupaten ini juga memiliki buah khas: blimbing dan jambu delima. Kekhasan yang mengingatkan kita akan sebuah syair Jawa: iliir-illir.

Berkat blimbing, Demak jadi terkenal. Malah buah ini menjadi brand di tiap gapura-gapura rumah. Blimbing Demak juga memberikan pemasukan daerah yang lumayan. ”Dijual di Supermarket mahal mas, sebuah mencapai Rp4.000,” kata Imam (35), warga kota Semarang.

Jika Anda kenal dengan bakpia khas Yogyakarta, siapa sangka kalau kacang hijau yang dijadikan bahannya itu berasal dari Demak. Harganya cukup tinggi dan menguntungkan orang sana, yaitu Rp3.500 hingga Rp5.000 per kg.

Di sana kacang hijau di produksi pada lahan sekitar 10 hektare dengan total produksinya 24,5 ton per musim panen. Kini, perluasaan lahannya mencapai 24 hektare yang tersebar di 14 kecamatan dengan produksi hampir 32 ton per musim.

Demak juga erat dengan sebutan Kota Wali. Tempat Sunan Kalijaga (yang hidup 1455—1586 M) berada. Sejarah mencatat, Demak juga tempat kerajaan Islam pertama di Indonesia saat Raden Fattah memimpin.

Kebesaran itulah yang membuat Demak merupakan daerah yang tiap tahunnya dikunjungi ribuan peziarah dari segala penjuru. Tercatat saat puasa tiba, setiap hari Demak menyerap 10.000 orang pengunjung dan saat sepi 5.000 orang. Dari peziarah itu pula Demak setiap hari menerima pemasukan rata-rata Rp10 juta per hari dari pengelolaan makam Sunan Kalijaga.

Kalimat promosi di atas bukanlah isapan jempol belaka. Demak memang kaya potensi. Dari aset daerah itu, Endang mampu memberikan pengobatan gratis pada warganya. Bidan dan dokter Demak selalu siap membantu dan warga yang berobat tidak dipungut biaya.

Tidak itu saja, Universitas Sultan Fatah Demak adalah perguruan tinggi dengan SPP paling murah. “Tak hanya di Indonesia, tapi di dunia. Sultan Fatah, SPP-nya paling murah,” tegas Endang.

Menurut dia, pemerintah daerah juga selalu memberikan bantuan daging 5 kg dan beras 10 kg tiap bulannya pada setiap guru PNS. Pengajar surau dan madarasah juga diberi insentif. Mereka mendapat gaji tambahan Rp50.000 tiap bulan. “Biar warga Demak bisa tertawa. Menikmati hasil daerahnya sendiri,” kata Endang.

Namun, siapa sangka? Bila merupakan daerah termiskin di Jawa Tengah? Pendapatan per kapita penduduknya hanya Rp2 juta per bulan. Dengan Pendapatan Aseli Daerah (PAD) Rp8 miliar per tahun.

Sedangkan 41% dari 200 ribu penduduknya masuk kategori miskin. Warga yang berpendidikan strata satu hanya 2%, berpendidikan SLTA (3%), dan sisanya (95%) lulusan sekolah dasar atau tak sekolah sama sekali.

“Mereka kebanyakan orang pesantren. Pendidikan umum tak seberapa diperhatikan,” kata Endang. (tur)

*suatu waktu kala menyusuri sisi demak

Se-asal

Memiliki latar belakang daerah sama ternyata menjadi ikatan batin tersendiri bagi saya ketika bertemu dengan sejumlah orang-orang penting. Karena di situ, saya bisa ngakak, atau bahkan saling olok dengan dia tanpa ada perasaan sungkan sekalipun.

Padahal, semestinya saya harus rikuh jika berbuat seperti itu dengan dia. Sebab, dia itu punya kelas. Ada yang direktur utamalah...ada yang sudah jadi politikuslah, ada yang sudah begini, begitu...sedang saya, masih begini-begini saja!

Hanya, lantaran kita ini setelah diurut-urut punya asal wilayah hidup serupa, maka hilanglah semua keangkuhan itu...Wah, jadi ada perlunya jika saya menghafal soal silsilah dan seluk beluk peta kota masa lampau.

Saturday, June 23, 2007

Gelisah

Soal Kegelisahan


Beberapa hari ini, saya hampir setiap malam mendapat sms atau telepon dari teman-teman masa lalu. Entah, itu teman waktu SMA dulu atau yang dari kampus. Kadang-kadang, saya juga harus dipaksa melayani lebih dari satu, dua, hingga lima orang.

Seperti biasa, isi sms itu tak jauh-jauh dari ucapan apa kabar? Lagi dimana? Sibuk apa? Malah ada yang bilang, sudah sukses jangan sombong-sombong ya....!

Sebagai sahabat, tentu saya merespons sms itu dengan kata-kata dagelan. Lelucon yang mengantarkan pada obrolan-obrolan renyah. Selanjutnya, tentu omongan kami itu tak jauh-jauh menyoalkan masa lalu. Waktu SMA dulu, kuliah dulu, kecil dulu, dan......ha...ha....kami pun harus terbahak-bahak mengingat betapa cupunya sosok saya dulu.

Dan, satu lagi yang tak ketinggalan dari pertanyaan-pertanyaan teman-teman ke saya adalah: sudah menikah belum? Lalu, ketika saya jawab belum mereka pun melanjutkan, sudah punya calon belum? Lantas kalau saya jawab belum, bak seperti ibu saya mereka kemudian membalas, si ini nganggur tuh....! Si ono mau tuh! Atau sama si anu saja, nanti aku hubungkan!

Saya pun hanya bisa nyengir dengan sikap sok care mereka. Saya sangat menghargai usaha teman-teman itu untuk menjadikan diri ini bahagia. Punya status berubah di KTP. Atau minimal, kalau bertemu dengan mereka tak melenggang sendiri terus. Jadi, ada yang digandeng dan itu halal.

He...he....jawaban ini paling sering saya tulis menutup pertanyaan-pertanyaan yang menyerang itu. Tapi, well mungkin mereka mengingatkan saya untuk mulai memikirkan hubungan ke arah ini.

Namun, satu pertanyaan yang hingga kini belum bisa jawab adalah, apakah pernikahan itu merupakan hal yang teramat prestisius? Sebab satu hal yang saya tangkap dari sikap teman-teman itu yakni mereka merasa telah berprestasi ketika sudah punya istri, suami, apalagi plus anak!

Monday, June 11, 2007












Soal Kartu Nama dan Door prize

Sambil menunggu Derom Bangun, Ketua Harian Gapki di Hotel Sahid tadi, sayadan rekan-rekan sempat bercanda ringan soal peruntungan kartu nama dalam doorprize.

Guyonan kami itu bermula, saat kami merasa heran, mengapa seorang rekan diSuara Karya selalu beruntung setiap kali menghadiri acara yangmembagi-bagikan doorprize?

Hampir semua jenis hadiah, pernah dia dapatkan. Mulai dari gayung, handphone sampai yang berat-berat macam TV dan kulkas. Sedangkan yang lain, kadang dapat, kadang tidak. Atau malah ada yang tidak pernah dapat samasekali!

"Lho kenapa ya?" celutuk salah satu orang di antara kami."Itu sudah jadi hoki dia. Gak bisa ditiru!" jawab yang lain sok menasehati."Halah, kali pakai dukun," ungkap yang lain sok tahu.Yang jadi bahan pembicaraan pun mesem-mesem.

Dia hanya bisa nyengir sambil berkata nyentil, "Gak mungkinlah gua pakai dukun!"Saya juga hanya bisa nyengenges mendengar percakapan mereka.

Lalu, seorang rekan pun menjadi penasaran ingin melihat kartu nama teman dari Suara Karya tadi. "Eh, mana kartu nama kamu? Lihat dong!" ucap saya.

Teman itu pun, lantas mengeluarkan benda yang diminta. Sambil berucap, "Inikartu keberuntunganku!"Setelah mendapatkan kartu nama teman dari Suara Karya tadi, rekan itu punlantas meminta kartu nama yang lain, seperti dari Sindo, Bisnis, Republika,Kompas, dan lain-lain.

Lalu, dia berkata, "Ini dia masalahnya........!!!!"Kami tiba-tiba saja jadi tertarik mendengarkan dia. Saya sendiri bertanya, "Apa sih?"

Dengan detail, rekan tadi pun memperagakan bagaimana proses pengembilankartu nama di dalam gelas, laiknya orang arisan atau hal yang biasa terjadisetiap doorprize dilakukan. Dia kocok-kocok dan dia coba mengambil beberapakartu nama.

Ternyata, yang terambil adalah tetap kartu nama dari Suara Karya ditambahbeberapa koran lain.Lalu dia pun menjelaskan, "Kalau yang kartu nama halus, itu nempel di gelas.Jadi susah diambil. Pasti kalau dikocok jadi paling di bawah karena licin.Nah, yang kasar ini, gak nempel dan selalu di atas."

Saya pun manggut-manggut mendengar ucapan dia tadi. Memang benar, selama inikartu nama saya kurang beruntung dengan tak pernah mendapatkan hadiah kalausesi doorprize tiba.

Betul, kartu nama Jurnas yang saya dapat dari kantor itu berbahan halus. Pun yang dulu-dulu. Tidak pernah saya memiliki kartu nama berbahan kasar.Beberapa kali, saya ikut doorprize-doorprize-an, saya juga tak pernah satukali pun mendapat hadiah.

Hanya, saya jadi penasaran, mengapa kantor semacam Jurnas, Kompas, atau yanglain itu menggunakan kartu nama berbahan halus? Apa bedanya antara bahanhalus dan kasar? Apakah karena lebih murah?

Atau, apakah karena Jurnas ini, tak menghendaki reporter mendapatkan peruntungan lewat kartu nama melalui doorprize? Hmmm! Saya juga bingung.

Tapi kalau jawabannya ini saya setuju. Sebab, memilih bahan kartu nama sebagai indentitas korporasi tentu bukan asal comot. Ada pertimbangan dan yang jelas memang bisa menjadi pembeda.

Bahan kasar, dia mengemuka sehingga mudah dipegang. Dia mengapung, jadi tak pernah sampai dasar.

Sedangkan bahan halus, jelas akan sulit terpegang karena dia licin. Dia menempel, tapi tak melekat. Ia pun akan selalu berada di bagian paling bawah ketika dikocok. Dan, itu artinya dia berada di tempat paling dalam. Bahkan, paling dasar di antara kartu-kartu nama yang lain.

Untung


Untung-khah??

Dalam sebuah obrolan dengan Hilmy Panigoro, Presdir PT MedcoEnergi, saya teringat sebuah ungkapan dari dia yang mungkin tak ada salahnya jika dibagikan ke seluruh pembaca.

Semua bermula, ketika itu, dia agak kaget melihat tiga orang wartawan yang semula diduganya berasal dari institusi serupa.

Namun, setelah berbincang-bicang ringan dia lalu diberi tahu oleh seorang stafnya bernama Muntazar, jika ketiganya kini telah berpindah tempat kerja. Lantas, dia pun bertanya kepada ketiga wartawan itu, apa yang membuat merekaberpindah tempat kerja? Dengan cepat, teman saya yang kini bekerja diBloomberg menjawab, "Jelas mencari gaji yang lebih besar!"

Secara sponton, saya yang kebetulan masuk dalam formasi tiga orang tersebut, turut menambahkan plus menguatkan ungkapan teman tadi.

Pastinya, kita pindah kerja karena ada tawaran lebih menarik atau soal kepastian status danjaminan dalam berusaha yang ditawarkan institusi baru.Mendengar alasan kami ini, Hilmy hanya menggeleng.

Dia lalu berkata,"Tidaksemua benar. Itu masih kurang!"Saya sendiri sangat heran. Bukankah alasan yang dikemukakan tadi itu menjadiprasyarat umum bagi seseorang untuk memutuskan pindah atau tidaknya ia darisatu kantor ke kantor lain?

"Lho, jadi apa pak?" tanya saya."Kamu pindah kerja bukan soal gaji besar atau kecil. Tapi kamu untung atau tidak? Orang kerja itu sama dengan membuka usaha. Jadi, yang dicari adalah keuntungan," jawabnya.

Kami pun berpikir. Masih kurang dong dan gak ngeh. Sebab, jika modal besarbukannya keuntungan yang didapat juga besar? Karena itu, apabila gaji kitabesar pastilah uang yang disisihkan untuk dapat ditabung juga bisa lebihbanyak ketimbang yang bergaji jauh lebih kecil.

Hilmy, seperti mengerti pertanyaan kami selanjutnya. Kemudian, sebelum ditanya lebih jauh dia pun menggambarkan soal bagaimana konsep untung dalambekerja itu dari beberapa kisah. Terutama di institusi bernama surat kabar. Ia mencontohkan, bagaimana seorang office boy (OB) bekerja.

Menurut dia, seorang OB jauh lebih berpeluang mendapatkan untung dibandingkan staf biasa, kendati gaji OB itu lebih kecil.Mengapa? Karena dari sisi jam pekerjaan mereka sangat jelas.

Begitu puladengan gaji yang didapat. Mereka pun jika di suruh kesana-kemari (ke luarkantor sekedar beli makanan) dengan dibekali ongkos. Meskipun uang yang diberikan pas, tetapi si OB biasanya mendapat tiptambahan sebagai uang lelah. Ini, berlaku sukarela dari si penyuruh.

Kadangada yang tega tak memberi, tetapi lebih banyak yang ikhlas menyisihkan uangkembaliannya untuk si OB.Bila minimal dia mendapat tip Rp2.000,- per orang, sedangkan ada lima kali OB itu disuruh membeli makanan, maka hari itu kocek jatah makannya bisa utuh.

Sehingga jatah uang makan bisa disisihkan sebagai tabungan ataukeperluan lain.Namun, keuntungan OB ini, belum tentu bisa dirasakan oleh seorang yangbergaji besar. Apalagi bagi dia yang memiliki mobilitas cukup tinggi,sehingga banyak pengeluaran yang tak bisa dimasukkan dalam hitungan klaim kantor.

Dia melakukan itu, sebenarnya berharap mendapatkan kepuasan karya atau minimal perhatian dari perusahaan. Sebagai orang yang baru pindah, tentu diasangat ingin menunjukkan kemampuannya di depan semua orang.

Tetapi, ujar Hilmy, terlalu banyak karyawan yang meminta diperhatikan sehingga jarang sekali seorang pimpinan dapat mengapresiasikan keinginan hanya satu orang saja. Intinya, di mata sang pemimpin karyawan itu tetap seperti staff padaumumnya.

Toh, sudah digaji lumayan. Sehingga, walau bergaji besar, dia bisa saja buntung dengan tindakan mencari perhatiannya itu melalui menguras uang pribadi di atas budget yang tetapkan oleh kantor tempat dia bekerja.
Mendengar kata-kata yang dikemukakan Hilmy, kami lantas diam. Saya sendiri jadi bertanya, apakah selama ini untung? Saya masih menghitung hal ini. Bimbang dan terus menimbang. Karena untuk mendapatkan keuntungan itu, hitungannya sudah sangat jelas.

Pendapatan dikurangi pengeluaran. Beban pengeluaran itu sendiri ada yangbersifat biaya tetap dan biaya variabel. Belum lagi ada beban overhead ditambah beban biaya sosial yang kadang nilainya jauh lebih besar ketimbang biaya tetap itu sendiri.

Dan, bicara soal pengeluaran, sebagai seorang reporter junior yang dituntut dan berkewajiban memiliki mobilitas tinggi, pastilah nilainya sulit sekali untuk diduga.

Ini sangatlah berbeda dengan teman saya di kantor lain yang kebetulan masuk dalam batalion 905 dan satgas 1421. Dia dapat dengan mudah memperkirakanberapa pengeluaran dia dalam satu bulan.

Sebab, dia bisa berhitung berapajarak antara rumah dan kantor, ongkos yang bakal dikeluarkan dengan masuk kekantor mulai pukul 09.00 pagi dan pulang pukul 5 sore ataupun datang jam 2siang pulang jam 9 malam. Jadi berapa klaim yang mesti dibuat, ia juga bisamemprediksi sehingga setiap bulannya selalu untung.

Sementara saya, entahlah! Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ini danitu. Kadang ban motor kena paku, ketabrak orang, atau peralatan penunjanglainnya yang harus rusak di saat mengerjakan tugas-tugas untuk kantor.Meskipun, memang itu keteledoran pribadi sehingga tidak bisa diklaim untukmendapat biaya ganti rugi service.

Belum lagi, jika ke luar daerah, biaya yang harus dikeluarkan juga mau takmau dipaksa bengkak. Sebab, banyak pos anggaran aneh yang itu tak masukdalam hitung-hitungan klaim perjalanan dinas.Karena, saya masih dikaruniai dua tangan lengkap, sehingga tidak bisa berlenggang tangan begitu saja tanpa buah tangan sekedar memberikan gula,kopi atau teh poci bagi nara sumber yang umumnya tinggal di pedesaan itu.

Saya sangat menyadari, tentu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, jika dengan posisi saat ini saya mendapat untung hanya semata-mata diuntungkan saja. Karena, kalaulah ini yang terjadi, tentu kita sangat menyakiti hati orang-orang yang setiap malam berdoa meminta peruntungan atas semua usahakeras yang selama ini telah dia lakukan.

Dan, Hilmy berbisik ke saya, "Hanya orang-orang yang mau menanggung resikoyang dia bisa mendapatkan untung itu." Yah, saya mengerti, hal itu hanya dimiliki oleh mereka yang berani untuk arif dalam memaknai setiap hasil karya dari usahanya.

Sunday, May 27, 2007

Sahabat


Sahabat Lama!

Seorang sahabat lama, baru-baru ini menelepon untuk janji bertemu. Entah apa yang terjadi dengannya, setelah sekian lama tak ada kabar darinya, tiba-tiba ia menelepon saya dan meminta kesediaan untuk bertemunya. Terakhir yang saya tahu tentangnya, ia telah sukses menjalankan usahanya di bidang percetakan.
Bahkan kabar dari sahabat yang lain, “kalau kita masih berdebu, dia sudah kedinginan, ” maksudnya, saya dan beberapa sahabat lain masih terus menerus kena debu lantaran masih menggunakan kendaraan roda dua, sedangkan sahabat yang satu ini sudah memiliki kendaraan roda empat yang cukup bagus.

Isterinya juga bekerja dan menduduki level midle management di kantornya, sehingga ia bisa menyekolahkan dua anaknya di sekolah elit, salah satu sekolah mahal di Jakarta. Buat orang seperti saya, harus memeras keringat sampai tetes terakhir untuk bisa mendaftarkan anak saya ke sekolah itu. Itu pun baru sekadar mendaftar, belum lagi biaya bulanan dan lain-lainnya. Rumahnya pun cukup besar, type 72 di sebuah kawasan perumahan mewah cukup terkenal. Singkatnya, saya menilai hidupnya sangat bahagia!

Tetapi pagi itu, suara di seberang telepon lebih terdengar seperti suara murung, suntuk dan kehilangan semangat. “Ada apa kawan?” tanya saya ringan sekadar membuatnya merasa menemukan sahabat. Lalu dia bilang, “Saya bosan dengan kehidupan saya … tolong bantu saya?”

Ah, awalnya agak aneh mendengar kalimatnya. Apa yang membuatnya bosan menjalani kehidupan? Segalanya ia punya. Isteri yang cantik, anak-anak yang mempesona, rumah mewah, mobil bagus, uang pun ada. Setiap akhir bulan ia tinggal menentukan ke mana harus berlibur, domestik maupun ke luar negeri ia mampu. Tidak ada barang yang ia tak punya, setidaknya ia mampu membelinya jika berminat. Tapi kenapa? Kenapa justru ia merasa bosan dengan kehidupan yang dijalaninya?

Saya menduga ia terlalu lelah dengan bisnisnya. Karenanya saya minta ia meluangkan waktu bersama keluarga untuk rekreasi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya. Saya pun menyebut beberapa tempat sebatas yang saya tahu; Nusa Dua, Bunaken, Bukit Tinggi, … jawabannya: sudah! Malah dia menyebutkan nama-nama daerah lain yang masih sebatas mimpi untuk saya kunjungi. Itu berarti usul saya tidak diterima.
Kemudian ia mendesak lagi, “ayo bantu saya…” saya pun kelimpungan dibuatnya. Tawaran saya untuk ambil cuti selama beberapa hari dan menghabiskan waktu sepenuhnya bersama keluarga pun ditolak mentah-mentah. “Bukan itu masalahnya…” seraya menjelaskan bahwa hubungannya dengan isteri dan anak-anaknya tidak ada masalah secuilpun, bahkan sangat hangat dan harmonis.

Hingga akhirnya, saya memintanya untuk bertemu di suatu tempat. Sebelumnya ia meminta saya menemuinya di sebuah cafĂ© resto, namun saya menolaknya. Saya menyebut satu tempat yang membuat ia merasa kaget mendengarnya, “Ah, gila… masak saya harus ke tempat itu lagi?” Bahkan, sebelum hilang kagetnya saya membuatnya bertambah bingung, “jangan pakai baju bagus, jangan bawa kendaraan, naik angkot saja”. Lagi-lagi singkat komentarnya, “Usul gila apa lagi nih?” saya menutup telepon dengan mengatakan, “saya tunggu jam delapan malam ini…”

Saya bertaruh dia tidak akan datang malam itu ke tempat yang saya tentukan. Saya tidak yakin ia mau kembali ke masa lalu, ke tempat ia dan sahabat-sahabat lamanya –termasuk saya- biasa bercengkerama menikmati malam, menyeruput segelas kopi bersama, menyantap penganan kecil seperti kue putu atau gorengan bakwan, tempe dan pisang goreng. Mengingat kembali masa-masa diwaktu sama-sama tidak punya uang, padahal sudah makan sekitar delapan gorengan. Dengan segala hormat kepada si tukang gorengan, sahabat saya ini memberikan arloji kesayangannya kepada tukang gorengan sebagai alat pembayaran. Tertawalah semuanya karena si tukang gorengan sangat bahagia dan membiarkan kami menghabiskan banyak dagangannya.

Atau ketika di satu malam kami kemalaman dan tidak berani pulang ke rumah masing-masing, akhirnya tidur di masjid dengan ditemani ratusan nyamuk. Esok paginya, nyamuk-nyamuk itu tidak bisa terbang lantaran kegendutan oleh darah yang dihisap dari tubuh-tubuh kami. Maka berlombalah kami mengejar nyamuk-nyamuk yang keberatan badan untuk terbang itu dan menepuknya.

Semoga ia juga masih mengingat di satu malam yang lain, ketika ia datang dengan baju lusuhnya. Kemudian saya mempersilahkannya mengenakan baju yang saya bawa di tas. Saya masih ingat betul, hingga detik ini pun baju itu tidak pernah kembali. Tapi cukup senang jika mengingatnya, bahwa apa yang saya miliki bermanfaat untuk sahabat saya.

Sungguh terlalu banyak yang harus diingat dari masa lalu. Namun… saya ragu, apakah dia mau datang malam ini? Padahal saya sudah mengundang beberapa sahabat lain untuk juga datang.

Jam delapan lebih sembilan menit, sesosok bayangan tegap pun singgah. Saya dan beberapa sahabat lama memeluknya erat. Sepiring gorengan dan beberapa gelas yang siap dituangkan kopi dan teh sudah tersaji. Lahap ia menyantap beberapa potong gorengan dan menyeruput kopi. Tiba-tiba, “Siapa yang bayar nih? Punya uang nggak?” meledaklah tawa kami memecah keheningan malam itu. Sungguh, itu pertanyaan yang sama persis ketika dulu kami tidak punya uang untuk membayar gorengan.

Esok paginya, saya kembali mendapat telepon darinya, “terima kasih, ternyata saya hanya perlu kembali kepada sahabat dan mencoba menikmati masa lalu yang terlalu indah untuk dilupakan”.

Saya pun tersenyum. Begitulah sahabat, saya pun takkan pernah bisa meninggalkan sahabat-sahabat lama yang telah banyak memberikan suntikan semangat di masa lalu. Kadang kita hanya perlu memutar kembali peristiwa lampau, dan jika mengingat lagi apa-apa yang telah terlalui di waktu silam, seberkas senyum akan selalu tercipta. Dan senyum itulah yang kerap membuat hidup ini lebih terasa indah. Semoga…[dari web tetangga]

GAS

Defisit Gas Tiada Akhir

LAGU lama itu kembali terdengar. Entah, tak seorang pun tahu sampai kapan berhenti diputar. Padahal tiada yang baru dalam setiap ketukan nada di dalam lagu itu. Lirik dan kisahnya pun masih serupa.

Semuanya belum berubah. Begitu pula dengan si penyanyi yang membawakannya. Suaranya tetap terdengar nyaring. Berteriak. Mendesak. Kendati ia sadar, semua itu hanya berupa harap yang tak kunjung jelas dinanti. Hingga, si pembawa lagu itu kian meratap dalam tanya: kapan industri domestik mendapatkan kepastian pasokan gas?

Adalah Achmad Widjaya, Ketua Umum Asosiasi Industri Aneka Keramik Indonesia (Asaki) yang kembali turun ke panggung untuk menyanyikan lagu lama itu. Terutama, setelah dalam dua tahun terakhir ini pasokan gas dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) ke industri yang banyak berada di Jawa Barat tersebut mulai tersendat.

Suatu kondisi yang disebut Achmad Widjaya sebagai faktor penghambat terhadap kinerja industri keramik di Tanah Air. Sebab, selama ini gas adalah bahan bakar utama bagi pembuatan semua produk keramik.

Karena itu, guna mendukung hasil akhir yang maksimal bagi produk keramik dibutuhkan pasokan gas yang berkualitas dan konstan, baik dari sisi jumlah pasokan maupun tekanannya.

Menyusul Achmad Widjaya, ada lagi Ketua Umum Asean Rubber Glove Manufacturer Association, Henry Tong yang turut mengeluh akibat ketidakjelasan pasokan gas. Menurut dia, sejak 2005 telah terjadi lost profit di industri sarung tangan karet nasional karena kelangkaan jenis bahan bakar industri tersebut.

Selain dua jenis industri di atas, masih banyak lagi industri lain yang hidupnya sangat tergantung pada gas. Khususnya, untuk mereka yang menjadikan gas sebagai bahan baku utama untuk mengolah produknya, semisal industri pupuk dan petrokimia.

Bagi industri yang menjadikan gas sebagai bahan bakar, tentu persoalan ketidakjelasan pasokan tersebut masih bisa diatasi dengan penggunaan energi alternatif, seperti batubara atau bahan bakar nabati (biofuel). Tetapi, untuk industri yang menggunakan gas sebagai bahan baku, tersendatnya pasokan gas dapat membuat industri kolaps.
Selama ini, di Indonesia gas dimanfaatkan untuk dua hal, yaitu sumber energi dan bahan baku industri. Sebagai sumber energi gas digunakan untuk power plant, gas kota, compressed natural gas (CNG untuk BBG), dan bahan bakar industri. Sedangkan sebagai bahan baku industri, gas dimanfaatkan untuk pembuat ammoniak, metanol, hidrogen, asam asetat, subtitusi minyak solar (DME), dan lainnya.

Dilematis
Bila ditilik ke belakang, apa yang dialami industri berbahan baku dan berbahan bakar gas itu sebenarnya ibarat kidung lama yang kembali terdengar. Kendati pemerintahan di negara ini telah beberapa kali berganti. Tetapi, diakui belum satu pun yang mampu mengatasi krisis pasokan gas di dalam negeri.

Semua itu terjadi akibat peningkatan kebutuhan gas bumi yang tidak dibarengi dengan pembangunan infrastruktur, berupa pipa gas bumi di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan sebagai daerah penghasil utama minyak dan gas.

Di Indonesia, pemanfaatan gas bumi dimulai sejak 1977 dengan berproduksinya kilang liquefied natural gas (LNG) Arun dan Bontang. Sejak saat itu, sepanjang tiga dekade terakhir Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Dengan kontribusi 30 persen dari kebutuhan konsumen global.

Pasar terbesar LNG Indonesia yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan, telah direncanakan pasar ini diperluas hingga ke China dan Amerika. Kendati diakui cadangan gas alam domestik hanya mencapai 1,5 persen dari cadangan dunia.

Namun, dibalik kesuksesan sebagai pengekspor LNG terbesar di dunia tersebut, ternyata di dalam negeri pembangunan industri gas bumi sangat tertinggal jauh. Hal ini ditandai dengan kelangkaan pasokan gas untuk pembangkit listrik maupun industri.

Memang, harus diakui sekitar 85 persen eksplorasi kontrak kerja dikuasai oleh kontraktor asing, sehingga hasil eksplorasi gas bumi banyak dijual ke luar negeri. Padahal, sebagai komoditas ekspor, kebutuhan gas domestik cukup besar.

Kondisi ini seiiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditandai menjamurnya industri strategis seperti pupuk, petrokimia, dan energi pembangkit.

Berbagai dilema lantas dihadapi, antara lain apakah produksi gas itu tetap diekspor? Baik dalam bentuk gas atau dicairkan menjadi LNG? Atau untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri menegaskan bahwa prinsip pemerintah tentang kebijakan gas sudah jelas, yaitu prioritas utama untuk kebutuhan dalam negeri. Tetapi, pada kenyataannya tetap saja pasokan gas di dalam negeri kerap defisit dan tak menentu.

Defisit
Menteri Perindustrian, Fahmi Idris mengakui kebutuhan gas untuk industri memang masih kurang sehingga pemerintah harus mengupayakan untuk mengekplorasi sumur-sumur gas di Indonesia.

Menurut dia, sejumlah sektor industri yang masih kekurangan gas seperti industri sarung tangan, keramik, bola lampu, dan pukuk. Defisit gas itu membuat industri domestik terancam hengkang dari Indonesia yang menyebabkan kuantitas maupun kualitas pasokan gas tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga industri bekerja tidak maksimal.

Kebutuhan gas dalam negeri yang belum terpenuhi yaitu 0,3 miliar kaki kubik per hari, sedangkan kebutuhan gas dalam negeri pada tahun 2007 sebesar 8,4 miliar kaki kubik.

Dalam neraca gas Departemen Perindustrian, selama 2005 tercatat defisit gas domestik mencapai 1.362 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day /MMScfd). Pasokan yang ada pada 2005 hanya sebesar 8.100 MMscfd, sementara itu kebutuhan mencapai 9.462 MMscfd.

Sementara, pada 2010 defisit gas bukannya menurun. Justru Depperin memprediksi naik menjadi 1.601 MMscfd karena kebutuhan industri mencapai 14.248 MMscfd, sedangkan pasokan hanya 12.646 MMScfd.

Dan pada 2015, defisit gas mencapai puncaknya hingga 5.281 MMscfd karena pasokan pada tahun itu telah menurun sesuai dengan siklus lapangan gas menjadi hanya 9.608 MMscfd, padahal kebutuhan justru naik menjadi 14.889 MMscfd.

Khusus permintaan gas di Jawa, hasil studi Gas Transportation Project Through Public—Privat Patnership (BeicipFranlab, 2005) menunjukkan akan terjadi peningkatan dari 2005 sampai 2025 hingga mencapai 2.000 billion cubic feet (BCF) per tahun, atau 2.700—5.400 MMscfd.[!] Tur

Saturday, April 07, 2007

Nonton Sendiri


Bagaimana rasanya kalau nonton ke studio 21 sendiri? Wakak! Pertama sih pegel. Rasanya pengen menghubungi siapa gitu, yang bisa diajak nonton. Tapi siapa? Ya itu tangan dah pegel pengen mencel tombol ponsel, tapi nomor-nomor yang dipencet gak ada yang pas! Jadi...tetep saja nonton sendiri.


Trus kedua, celingukan. Waktu ketawa-tawa, lalu pengen ngobrol, tapi sama siapa? Masak gangguin temen sebelah yang nontonnya sambil pelukan. Duh...sebel! Aku kan paling ga bisa nonton cuma diem, tanpa komentar, ato gangguin temen sebelah....ya pokoknya tetep sendiri. Ketawa sendiri, ngobrol sendiri, dan mesem sendiri!

Ketiga, nggak percaya diri saja. Coba deh dilihat, hampir 100% orang nonton ke bioskop itu pasti bawa gandengan. Jadi waktu pesen tiket jelas. Milih tempat duduk juga jelas. Tapi ini....waktu pesen tempat duduk dah ngerecokin. Yang mestinya bangku bisa buat dua pasang berisi empat orang, pasti jadinya hanya satu pasang, ato tiga orang saja...Intinya nonton sendiri itu merugikan pemilik, pengelola, karena dia kehilangan satu kursi seharga Rp20 ribu.

Mmmm...tapi mengapa ya aku semalam maksain nonton sendiri? Sudah tau ngerugiin orang. Huh dasar! Kesepiankah!

Mmmm...tapi...kesendirian itu......wah gak tau deh! Yang penting dengan sendiri itu aku gak terbebani. Plong...dan bebas pokoke. Gak ada lagi sms masuk cuma tanya, "mas lagi apa?dimana? dah makan? Istrihat yang cukup ya...jangan bobo malam2 biar gak sakit" Huh...cape deh...

Friday, April 06, 2007

Futsalo, Gilao…

Gila bola. Mulai dari game, nonton, sampai main beneran di lapangan. Sekarang, aku bener-bener lagi gila bola. Tiap Kamis dan Sabtu pasti main futsal. Malahan besok Minggu ikut turnamen. Dan, yang nonton artis-artis top.

Duh, kalo malam aku juga keranjingan nonton bola. Liat Premiership atawa La Liga. Eh, belum puas besoknya masih main playstation. Sehabis kerjaan kantor, biasanya aku ngeloyor bareng si “Dany Boy” ke rentalan.

Kenapa ya? Hobiku yang satu ini kumat? Yang membuat setiap hari aku kumat-kamit gak karuan. Sampe-sampe waktu tidur, mimpinya masih main bola. Bener-bener gila deh!

Weleh, kalau dipikir-pikir mengapa aku mesti pusing? Lha wong, orang gila betulan malah gak pernah pusing. Dia terus-terusan cengingisan dan happy dengan profesi gilanya itu!

Wesks, lagi pula orang gila itu jarang sakit. Meski makan seenaknya. Entah itu basi atau bastut. Itu enak atau neg. Kan yang penting bisa buat perut kenyang. Dan, yang penting, gak bakalan bikin penyakitan.

He…he…aku nyadar kok, toh, perilaku ku ini masih normal. Karena orang ngakunya waras itu, suka banget sama yang bulet-belet macam bola hingga tiap mimpi mikirnya selalu bagaimana agar bisa dibuletin dan membulatkan. Yah, malah ada yang ngoyo agar bisa benar-benar menjadikan semua bulat.
















Nanda……!!!

Hadirmu, pernah hiasi asa yang selalu mengalir
Nadimu, acap berdegub dalam kendang melodi
Saat, simfoni itu menyatu
Dalam bayang, raut, dan muka menyembul

Nanda…nada melodimu masih ku dengar
Nanda…tanda tubuhmu masih ku kenali
Nanda…suara itu….
Selalu lekat dalam pekat pendengaranku….



Sungguh aku masih menantimu
Hingga, nafas itu terhenti
Kata itu tak lagi bisa berucap
Dan, detak jantung ini berhenti berdegub….

Nanda, lihatlah itu!
Harapan yang pernah kau ucap
Doa yang selalu bermunajat
Dan, keluhmu dulu, kisahmu dulu, keinginanmu dulu

Thursday, April 05, 2007

Sengketa Tanah

Semua, Karena Biong!

Bagaimana warga sekitar Puncak Bogor menjual tanah-tanah milik negara

Oleh: Turyanto

Pak, mau cari tanah? Maunya yang seperti apa? Ingin buat villa ya?” ucap seorang lelaki berkopyah sambil tergopoh-gopoh turun dari tangga rumahnya, ketika melihat empat pemuda membuka kaca pintu Kijang silver yang dikendarainya.

Keempat pemuda yang ditanya tampak tersenyum. Mereka pun, lantas bergegas turun dari mobil. Keempatnya masih muda. Paling baru berumuran kepala dua. Mereka terdiri atas tiga lelaki dan satu perempuan.

Beberapa menit kemudian, pemuda dengan tubuh paling mungil di antara keempatnya, terlihat mendekati lelaki berkopyah tadi. Dia menjawab, “Iya mas! Kalau saya sih, pengen beli tanah di sini yang bisa untuk bertani. Tanam cabe atau sawi gitu…Kayaknya cocok. Tanahnya masih subur banget dan pemandangannya enak juga!”

Lelaki itu merapat ke tubuh si pemuda mungil. Dia mengajak duduk. Sembari memesan dua gelas teh manis hangat di sebuah warung klontongan. Tak jauh dari warung itu tampak tegak plang nama bertulis: Areal Milik PTP Nusantara VIII Perkebunan Gunung Mas.

Sedangkan, persis di depan warung tadi berdiri sebuah gubuk bambu berukuran sekitar 3 x 5 meter dengan atap anaman daun ilalang kering. Gubuk ini merupakan pangkalan ojek. Tiga lelaki terlihat sedang duduk-duduk di sana. Sambil sesekali melirik ke arah si pemuda yang tengah asyik berbicara dengan lelaki berkopyah.

Kepada si pemuda mungil itu, si lelaki berkopyah tadi kembali bertanya, “Mau tanah garapan atau hak milik?” Yang ditanya terlihat bingung. Wajahnya berkerut. Lalu, ia pun berkata, “Maksudnya mas? Bedanya garapan dan milik?” “Kalau garapan, itu dulu punyanya pemerintah. Tapi sekarang sudah jadi milik warga. Kalau tanah hak milik, ya dari dulu aseli punya warga,” jelas dia.

“Harganya bagaimana? Beda ga? Eh, yang garapan itu ada suratnya gak sih?” ujar si pemuda. “Beda mas, yang garapan dapet tuh, harga Rp7.000 per meter. Ya…paling tinggi Rp10 ribu-lah. Tapi kalau yang milik rata-rata di atas Rp80 ribu. Tinggal posisinya saja. Strategis, tidak. Baik garapan atau milik, ada suratnya kok!” jelas lelaki tersebut sambil jari telunjuknya mengarah ke lahan-lahan yang dimaksud.

Lebih lanjut, lelaki berkopyah itu menjelaskan, kalau sebenarnya tanah-tanah garapan tersebut dulu adalah perkebunan teh milik PTPN. Namun, menjelang akhir 1997 setelah Presiden Soeharto lengser, banyak warga merusak tanaman teh tersebut. Lalu, tanah-tanah bekas tanaman teh itu digarap oleh warga.

Tetapi, akhirnya tak sedikit dari warga setempat yang menjual tanahnya kepada orang-orang Jakarta. Malah, kini hampir seluruh masyarakat di sekitar perkebunan teh Gunung Mas Afdeling Cikopo Selatan satu dan dua sudah tak lagi memiliki tanah garapan. Mereka terpaksa harus puas dengan status sebagai penggarap tanah atau sekedar menjadi penjaga villa.

“Sekarang mah, kami-kami gak punya tanah garapan lagi di sini. Sudah dijualin ke orang-orang Jakarta. Mas dari Jakarta juga kan? Kalau mau beli tanah hati-hati. Harus teliti. Soalnya tanah-tanah garapan itu masih jadi sengketa terus,” tutur dia.

Lelaki berkopyah itu tiba-tiba diam. Matanya menerawang. Ia berpikir keras untuk bisa merayu si pemuda lawan bicaranya. “Ya…tapi tenang, kalau jadi mau beli surat-suratnya bisa diurus.”

Kepada si pemuda mungil itu, ia memperkenalkan dirinya bernama Deru. Umurnya baru genap 31 tahun pada Juli 2007 esok. Ia berbadan dekil. Berkulit legam. Sedari kecil Deru tinggal di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Bogor. Sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Dari Kuta ke jalan raya Puncak, jaraknya mencapai lebih dari enam kilometer.

Pagi itu, Jumat 16 Maret 2007, Deru mengaku kalau hingga kini belum mendapat pekerjaan tetap. Setiap hari ia cuma berusaha untuk mencari persenan. Dengan mengantarkan orang yang mau menjual atau membeli tanah di sekitar desanya ke lelaki paruh baya bernama Liman. Orang yang dipanggilnya dengan sebutan paman.

“O…ya lupa. Jadi beli tanah kan? Saya anterin saja ke paman. Daripada nanti beli sama biong,” tutur Deru melanjutkan pembicaraan. “Biong? Apa itu?” tanya pemuda mungil tampak heran.

“Biong itu yang punya daerah sini. Semacam preman-lah! Mereka itu lho yang dulu beliin tanah punya warga. Duitnya banyak. Umumnya sih bukan orang sini. Dari Cisarua atau Sukabumi,” jelasnya. “Memang ciri-ciri biong kayak apa mas?Biar saya gak tertipu kalau beli tanah?” tanya pemuda tersebut.

“Mmmm…kayak apa ya???? Susah dibedain! Pokoknya masa sama saya saja, kalau benar-benar butuh tanah.”

Kini, giliran pemuda mungil itu yang terdiam. Dia teringat dengan cerita Administratur Kebun Teh Gunung Mas PTPN VIII, Rachmat Supriadi yang ditemuinya satu hari sebelumnya, Kamis (15/03). Rachmat menjelaskan, kalau biong itu adalah salah satu sumber masalah utama dari ruetnya persoalan sengketa tanah yang dialami pihaknya.

Menurut dia, biong adalah kependekan dari “biang bohong”. Istilah ini sangat populer di setiap daerah di kawasan Puncak, Bogor. Dalam menjalankan operasinya, biong kerap bertindak sebagai provokator di masyarakat. Di samping, tugas utamanya menjadi penjual tanah-tanah garapan.

Selain biong, ada juga oknum pemilik modal. Selama ini, mereka menjadi biang keladi penjarahan tanah milik PTPN. Pemilik modal ini tak segan-segan mengupah oknum warga desa untuk melakukan penjarahan kebun teh dan hutan koloni. Upah yang diberikan kepada warga cukup menggiurkan, yakni mencapai lebih dari Rp100 ribu per orang sekali babat.

Lantas, lahan yang telah dibabat itu digarap oleh masyarakat dan bekerja sama dengan oknum pemerintahan desa. Aparat desa ini kemudian mengeluarkan surat garapan atau oper alih garapan. Isi surat tersebut menyatakan bahwa tanah-tanah itu tidak sedang dalam sengketa.

Dari surat inilah, lalu dikeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT). Melalui SPPT, biong selanjutnya secara bebas menjualbelikan tanah garapan. Bahkan, terkadang jual beli tanah tersebut diperkuat oleh akte jual beli tanah yang dikeluarkan oleh notaris.

Metode lain penguasaan tanah adalah dengan memalsukan surat-surat dan tanda tangan pejabat PTPN VIII atau Pemerintah. Parahnya lagi, setiap sebidang tanah yang dijual oleh biong bisa memiliki hingga empat surat garapan dan SPPT, sehingga pembeli bisa tertipu dan saling klaim.

Rachmat mengungkapkan, beberapa kejadian terakhir terkait penyerobotan atau upaya menghalang-halangi penanaman teh dan kina, di antaranya perusakan dan penyerobotan kembali lahan untuk penanaman teh pada 2005 seluas 25 hektare di blok G5 Desa Kuta, perusakan satu unit rumah di emplasemen Cikopo Selatan dua Desa Sukamanah.

Selain itu, pengaspalan jalan kebun tanpa izin di blok Babakan Desa Kuta pada 2006, pembabatan tanaman teh belum menghasilkan tahun tanam 2004 seluas 12,000 meter persegi di blok G4 Desa Kuta pada 2007, dan pencabutan compacting teh seluas 2.000 meter persegi dan perusakan bibit teh sebanyak 2.500 pohon di blok 10 Desa Citeko pada 2007.

Beberapa jam sebelumnya, saat bertemu dengan Mansyur, seorang warga Desa Kopo Kecamatan Cisarua, Bogor si pemuda mungil itu juga ditawari sebidang tanah seluas 1,2 hektare. Mansyur mengatakan, kalau tanah itu adalah sah. Karena dibekali dengan surat dari notaris dan SPPT.

Malah, setiap tahunnya tanah itu telah dibebani pajak sebesar Rp700 ribu yang dibayarkan ke kelurahan. Artinya, tegas dia, tanah itu cukup aman dan tak bakal menjadi sengketa lagi dengan pihak PTPN. Mansyur menawarkan harga tanah tersebut sebesar Rp100 ribu per meter. Ditambah ongkos bersih pembuatan surat-surat di kelurahan dan kecamatan sebesar Rp2 juta.

“Pak mau ga beli tanahnya? Saya antarkan ke tempat paman saya saja,” ucap Deru mengagetkan lamunan si pemuda mungil itu. “Dari pada sama biong lebih baik sama saya saja pak! Gak banyak uang pelicinnya!” imbuh dia.

Yang ditanya pun terlihat tersenyum. Dia teringat ucapan Tri Hermawan, Wakil Administratur Perkebunan Teh Gunung Mas PTPN VIII,”Biong itu bisanya berbadan dekil, pokoknya kurus dan mukanya kusam!”