Monday, June 11, 2007












Soal Kartu Nama dan Door prize

Sambil menunggu Derom Bangun, Ketua Harian Gapki di Hotel Sahid tadi, sayadan rekan-rekan sempat bercanda ringan soal peruntungan kartu nama dalam doorprize.

Guyonan kami itu bermula, saat kami merasa heran, mengapa seorang rekan diSuara Karya selalu beruntung setiap kali menghadiri acara yangmembagi-bagikan doorprize?

Hampir semua jenis hadiah, pernah dia dapatkan. Mulai dari gayung, handphone sampai yang berat-berat macam TV dan kulkas. Sedangkan yang lain, kadang dapat, kadang tidak. Atau malah ada yang tidak pernah dapat samasekali!

"Lho kenapa ya?" celutuk salah satu orang di antara kami."Itu sudah jadi hoki dia. Gak bisa ditiru!" jawab yang lain sok menasehati."Halah, kali pakai dukun," ungkap yang lain sok tahu.Yang jadi bahan pembicaraan pun mesem-mesem.

Dia hanya bisa nyengir sambil berkata nyentil, "Gak mungkinlah gua pakai dukun!"Saya juga hanya bisa nyengenges mendengar percakapan mereka.

Lalu, seorang rekan pun menjadi penasaran ingin melihat kartu nama teman dari Suara Karya tadi. "Eh, mana kartu nama kamu? Lihat dong!" ucap saya.

Teman itu pun, lantas mengeluarkan benda yang diminta. Sambil berucap, "Inikartu keberuntunganku!"Setelah mendapatkan kartu nama teman dari Suara Karya tadi, rekan itu punlantas meminta kartu nama yang lain, seperti dari Sindo, Bisnis, Republika,Kompas, dan lain-lain.

Lalu, dia berkata, "Ini dia masalahnya........!!!!"Kami tiba-tiba saja jadi tertarik mendengarkan dia. Saya sendiri bertanya, "Apa sih?"

Dengan detail, rekan tadi pun memperagakan bagaimana proses pengembilankartu nama di dalam gelas, laiknya orang arisan atau hal yang biasa terjadisetiap doorprize dilakukan. Dia kocok-kocok dan dia coba mengambil beberapakartu nama.

Ternyata, yang terambil adalah tetap kartu nama dari Suara Karya ditambahbeberapa koran lain.Lalu dia pun menjelaskan, "Kalau yang kartu nama halus, itu nempel di gelas.Jadi susah diambil. Pasti kalau dikocok jadi paling di bawah karena licin.Nah, yang kasar ini, gak nempel dan selalu di atas."

Saya pun manggut-manggut mendengar ucapan dia tadi. Memang benar, selama inikartu nama saya kurang beruntung dengan tak pernah mendapatkan hadiah kalausesi doorprize tiba.

Betul, kartu nama Jurnas yang saya dapat dari kantor itu berbahan halus. Pun yang dulu-dulu. Tidak pernah saya memiliki kartu nama berbahan kasar.Beberapa kali, saya ikut doorprize-doorprize-an, saya juga tak pernah satukali pun mendapat hadiah.

Hanya, saya jadi penasaran, mengapa kantor semacam Jurnas, Kompas, atau yanglain itu menggunakan kartu nama berbahan halus? Apa bedanya antara bahanhalus dan kasar? Apakah karena lebih murah?

Atau, apakah karena Jurnas ini, tak menghendaki reporter mendapatkan peruntungan lewat kartu nama melalui doorprize? Hmmm! Saya juga bingung.

Tapi kalau jawabannya ini saya setuju. Sebab, memilih bahan kartu nama sebagai indentitas korporasi tentu bukan asal comot. Ada pertimbangan dan yang jelas memang bisa menjadi pembeda.

Bahan kasar, dia mengemuka sehingga mudah dipegang. Dia mengapung, jadi tak pernah sampai dasar.

Sedangkan bahan halus, jelas akan sulit terpegang karena dia licin. Dia menempel, tapi tak melekat. Ia pun akan selalu berada di bagian paling bawah ketika dikocok. Dan, itu artinya dia berada di tempat paling dalam. Bahkan, paling dasar di antara kartu-kartu nama yang lain.

Untung


Untung-khah??

Dalam sebuah obrolan dengan Hilmy Panigoro, Presdir PT MedcoEnergi, saya teringat sebuah ungkapan dari dia yang mungkin tak ada salahnya jika dibagikan ke seluruh pembaca.

Semua bermula, ketika itu, dia agak kaget melihat tiga orang wartawan yang semula diduganya berasal dari institusi serupa.

Namun, setelah berbincang-bicang ringan dia lalu diberi tahu oleh seorang stafnya bernama Muntazar, jika ketiganya kini telah berpindah tempat kerja. Lantas, dia pun bertanya kepada ketiga wartawan itu, apa yang membuat merekaberpindah tempat kerja? Dengan cepat, teman saya yang kini bekerja diBloomberg menjawab, "Jelas mencari gaji yang lebih besar!"

Secara sponton, saya yang kebetulan masuk dalam formasi tiga orang tersebut, turut menambahkan plus menguatkan ungkapan teman tadi.

Pastinya, kita pindah kerja karena ada tawaran lebih menarik atau soal kepastian status danjaminan dalam berusaha yang ditawarkan institusi baru.Mendengar alasan kami ini, Hilmy hanya menggeleng.

Dia lalu berkata,"Tidaksemua benar. Itu masih kurang!"Saya sendiri sangat heran. Bukankah alasan yang dikemukakan tadi itu menjadiprasyarat umum bagi seseorang untuk memutuskan pindah atau tidaknya ia darisatu kantor ke kantor lain?

"Lho, jadi apa pak?" tanya saya."Kamu pindah kerja bukan soal gaji besar atau kecil. Tapi kamu untung atau tidak? Orang kerja itu sama dengan membuka usaha. Jadi, yang dicari adalah keuntungan," jawabnya.

Kami pun berpikir. Masih kurang dong dan gak ngeh. Sebab, jika modal besarbukannya keuntungan yang didapat juga besar? Karena itu, apabila gaji kitabesar pastilah uang yang disisihkan untuk dapat ditabung juga bisa lebihbanyak ketimbang yang bergaji jauh lebih kecil.

Hilmy, seperti mengerti pertanyaan kami selanjutnya. Kemudian, sebelum ditanya lebih jauh dia pun menggambarkan soal bagaimana konsep untung dalambekerja itu dari beberapa kisah. Terutama di institusi bernama surat kabar. Ia mencontohkan, bagaimana seorang office boy (OB) bekerja.

Menurut dia, seorang OB jauh lebih berpeluang mendapatkan untung dibandingkan staf biasa, kendati gaji OB itu lebih kecil.Mengapa? Karena dari sisi jam pekerjaan mereka sangat jelas.

Begitu puladengan gaji yang didapat. Mereka pun jika di suruh kesana-kemari (ke luarkantor sekedar beli makanan) dengan dibekali ongkos. Meskipun uang yang diberikan pas, tetapi si OB biasanya mendapat tiptambahan sebagai uang lelah. Ini, berlaku sukarela dari si penyuruh.

Kadangada yang tega tak memberi, tetapi lebih banyak yang ikhlas menyisihkan uangkembaliannya untuk si OB.Bila minimal dia mendapat tip Rp2.000,- per orang, sedangkan ada lima kali OB itu disuruh membeli makanan, maka hari itu kocek jatah makannya bisa utuh.

Sehingga jatah uang makan bisa disisihkan sebagai tabungan ataukeperluan lain.Namun, keuntungan OB ini, belum tentu bisa dirasakan oleh seorang yangbergaji besar. Apalagi bagi dia yang memiliki mobilitas cukup tinggi,sehingga banyak pengeluaran yang tak bisa dimasukkan dalam hitungan klaim kantor.

Dia melakukan itu, sebenarnya berharap mendapatkan kepuasan karya atau minimal perhatian dari perusahaan. Sebagai orang yang baru pindah, tentu diasangat ingin menunjukkan kemampuannya di depan semua orang.

Tetapi, ujar Hilmy, terlalu banyak karyawan yang meminta diperhatikan sehingga jarang sekali seorang pimpinan dapat mengapresiasikan keinginan hanya satu orang saja. Intinya, di mata sang pemimpin karyawan itu tetap seperti staff padaumumnya.

Toh, sudah digaji lumayan. Sehingga, walau bergaji besar, dia bisa saja buntung dengan tindakan mencari perhatiannya itu melalui menguras uang pribadi di atas budget yang tetapkan oleh kantor tempat dia bekerja.
Mendengar kata-kata yang dikemukakan Hilmy, kami lantas diam. Saya sendiri jadi bertanya, apakah selama ini untung? Saya masih menghitung hal ini. Bimbang dan terus menimbang. Karena untuk mendapatkan keuntungan itu, hitungannya sudah sangat jelas.

Pendapatan dikurangi pengeluaran. Beban pengeluaran itu sendiri ada yangbersifat biaya tetap dan biaya variabel. Belum lagi ada beban overhead ditambah beban biaya sosial yang kadang nilainya jauh lebih besar ketimbang biaya tetap itu sendiri.

Dan, bicara soal pengeluaran, sebagai seorang reporter junior yang dituntut dan berkewajiban memiliki mobilitas tinggi, pastilah nilainya sulit sekali untuk diduga.

Ini sangatlah berbeda dengan teman saya di kantor lain yang kebetulan masuk dalam batalion 905 dan satgas 1421. Dia dapat dengan mudah memperkirakanberapa pengeluaran dia dalam satu bulan.

Sebab, dia bisa berhitung berapajarak antara rumah dan kantor, ongkos yang bakal dikeluarkan dengan masuk kekantor mulai pukul 09.00 pagi dan pulang pukul 5 sore ataupun datang jam 2siang pulang jam 9 malam. Jadi berapa klaim yang mesti dibuat, ia juga bisamemprediksi sehingga setiap bulannya selalu untung.

Sementara saya, entahlah! Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk ini danitu. Kadang ban motor kena paku, ketabrak orang, atau peralatan penunjanglainnya yang harus rusak di saat mengerjakan tugas-tugas untuk kantor.Meskipun, memang itu keteledoran pribadi sehingga tidak bisa diklaim untukmendapat biaya ganti rugi service.

Belum lagi, jika ke luar daerah, biaya yang harus dikeluarkan juga mau takmau dipaksa bengkak. Sebab, banyak pos anggaran aneh yang itu tak masukdalam hitung-hitungan klaim perjalanan dinas.Karena, saya masih dikaruniai dua tangan lengkap, sehingga tidak bisa berlenggang tangan begitu saja tanpa buah tangan sekedar memberikan gula,kopi atau teh poci bagi nara sumber yang umumnya tinggal di pedesaan itu.

Saya sangat menyadari, tentu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan, jika dengan posisi saat ini saya mendapat untung hanya semata-mata diuntungkan saja. Karena, kalaulah ini yang terjadi, tentu kita sangat menyakiti hati orang-orang yang setiap malam berdoa meminta peruntungan atas semua usahakeras yang selama ini telah dia lakukan.

Dan, Hilmy berbisik ke saya, "Hanya orang-orang yang mau menanggung resikoyang dia bisa mendapatkan untung itu." Yah, saya mengerti, hal itu hanya dimiliki oleh mereka yang berani untuk arif dalam memaknai setiap hasil karya dari usahanya.