Tuesday, August 14, 2007

Dunia

Dunia Adalah Perhiasan

WAJAH Bunga tersaput kabut. Ia gelisah. Meski telah berusaha tak mau memikirkan kondisi kakak-kakak iparnya, namun tetap saja rasa itu mengganggu perasaannya.

Belum genap satu tahun Bunga meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Bunga menyusul sang suami yang telah lebih dahulu ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah sang suami memperoleh pekerjaan tetap, barulah Bunga bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.

Di Jakarta, Bunga tinggal bersama keluarga besar sang suami dalam satu atap. Ada banyak kamar di rumah itu. Setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Bunga dan gadis ciliknya menempati kamar sang suami. Hanya kamar sempit itu privacy mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga. Sungguh berbeda dengan rumah orang tuanya yang luas dan indah, namun selalu mengajarkan kesederhanaan.

Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Bunga. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar sang suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar.

Apalagi di saat seperti ini, saat-saat di mana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji sang suami yang belum lama kerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Bunga tetap tak berminat menganut gaya hidup seperti itu.

Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidak cocokan antara Bunga dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Bunga. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Bunga, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.

Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.

Semula Bunga tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Bunga hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.

"Apakah... Perempuan harus memakai perhiasan....?" Tanya Bunga pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Bunga lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.


"Ada apa, Kak...?" Tanya sang adik penuh perhatian. Bunga menghela nafas berat sebelum menjawab. "Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena gak pernah pakai perhiasan...."

Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf "R" sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.

"Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah...."

Bunga terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.

"A..Apa, Dik?", Tanya Bunga. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Bunga untuk memperjelas ucapannya.

"Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak… jadi kakak gak perlu sedih karena gak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah..."

Mendengar perkataan sang adik, wajah Bunga berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.

Bunga tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat. "Terima kasih, adikku...."

Kakak beradik itu pun berpelukan. Yah, dunia itu adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah.

cemburu

Ajarkan Aku Jadi Pencemburu

“Ketika hati telah mengaku cinta
Maka akan dihadapkan
kepada ayat-ayat ujian dan penafsiran
untuk membuktikan semuanya.”
(Amru Kholid)


Cemburu itu ada karena cinta. Setelahnya, tergantung sikap kita. Cemburu, memang menggemaskan. Kadang, berselimutkan duka, terselipkan sekeping dendam. Tapi, kadangkala justru sebagai pertanda betapa kita tidak bisa membohongi hati nurani sendiri kalau segenggam rasa itu ada. Mengusik dan akhirnya membuat hati gundah gulana.

Cemburu itu merupakan rasa kecintaan di mana tak boleh tersentuh yang lain. Hanya untuk kita. Diri kita sendiri. Rasa cemburu demikianlah sejatinya bisa mendatangkan cinta.

Cinta, memang bahasa universal. Dengan cinta, orang bisa menjadi sosok pecundang. Tapi bisa pula menjadi pahlawan. Tergantung, bagaimana pemikiran dan sikapnya. Manusia, tentu akan beragam dalam memaknainya. Jika dia seorang muslim, tentu akan terikat akan pijakan dan ajaran yang diyakininya. Pijakan kepada wahyu suci dan Muhammad sebagai teladan sepanjang zaman.

Hari ini, saya tidak akan menyoal tentang cinta. Tapi, akan sedikit berbagi gelisah tentang rasa cemburu. Rasa cemburu kepada Dia yang telah memberikan secara gratis setiap nafas yang setiap hari saya hirup.

Dia yang telah mengatur detik waktu dengan memberikan segenap kemurahan dalam keseharian kehidupan. Tepatnya, memang bukan tertuju kepada Dia semata, tapi lantaran segenap manusia yang berlomba-lomba mencintaNya. Ya, sekali lagi tentang cemburu yang dengan harap mendatangkan rasa cinta.

Di zaman ini, kekeringan cinta dan spiritual memang kerap melanda. Bagaimana tidak. Berbondong-bondong orang mengejar rupiah. Ketika dikejar ia lari. Ketika kita diam ikut diam. Simalakama. Bukan tanpa alasan. Inilah fakta yang mungkin terasakan. Entahlah. Memang tak seratus persen benar. Tapi, izinkan itu sebagai gambaran bagaimana sibuknya kita.

Hari demi hari, tersibukkan dengan aroma rupiah. Bukan bermaksud merendahkan orang yang terlalu ambisius mengejar untung dan penghasilan. Hanya ingin sekedar menyapa hati betapa ada kalanya oase jiwa yang mengering perlu kita basahi dengan ayat-ayat Tuhan. Tentang rahasia semesta yang fana. Tentang keyakinan akan dunia “sana” yang hakiki.

Hari ini, saya begitu cemburu. Ya, kepada orang yang seimbang hidupnya. Kepada mereka yang menyeimbangkan rasa cinta dunia dan akhirat. Kepada mereka yang semangat bekerja tapi tidak terlalu ngoyo dalam bekerja. Dalam kesehariannya, mereka bisa membagi waktu antara urusan kehidupan duniawi dan urusan penghambaan kepada Tuhan. Singkatnya, orang yang bisa memaknai secara benar atas eksistensi dirinya dimuka bumi dan pemahaman yang tepat tentang pentingnya sentuhan spiritualitas yang akan mendatangkan kebahagiaan kelak di kemudian hari, hari yang telah dijanjikan dengan segenap kenikmatannya.

Seperti yang pernah terlihat pada seseorang di masjid pada sebuah pagi. Sekira jam delapan. Lelaki itu, dengan baju kantor lengkap dengan dasinya, mampir ke sebuah masjid. Dibasuh mukanya dengan air wudhu. Dia sholat Dhuha, membaca Al-Quran lantas berdoa sejenak. Setelahnya, bergegas memacu motornya ke kantor dengan semangat prima. Bekerja demi seutas seyuman untuk anak dan isterinya di rumah.

Jujur, saya begitu cemburu dengan apa yang dilakukan lelaki itu. Lelaki yang bisa menyeimbangkan hidup. Semoga, rasa cemburu ini bisa mendatangkan rasa cinta kepadaNya lebih besar dan lebih besar lagi. Pelan-pelan, nampaknya sisi jiwa ini begitu mengering dan mengeras. Mungkin, inilah saatnya untuk membasahi diri dengan Ayat-ayat CintaNya agar keseimbangan hidup semakin terjaga. (tur)