Saturday, June 17, 2006

POJOK

Kala Pojok Bicara
Simpul pertemuan
(dd&ago)
Kita sepertinya ingin perfect
Ketika menatap blitz itu....
Kita rasanya ingin jadi satu
Saat berkumpul dalam cerita akhir episode

Bolehkah aku berkata, nafas kita sama?
Izinkan aku berucap, keinginan kita serupa?
Tapi, apakah jalan kita sama?
Kawan, itulah tantanganmu
Jika kita berkumpul nanti
Saya harap ada yang baru
Meski saya tak menuntut untuk berbeda
Dirimu punya hak untuk memilih

Lihatkanlah padaku tentang janjimu
Buktikan kepadaku tentang idialisme
Perlihatkan kepadaku tentang citamu
Hingga, aku pun akan berucap:selamat bergabung!


Satu waktu.....
Tuk, Ino&Wisnu

Ada yang hadir dalam degub
Wajah itu telah tengkurup
Pojok ruang ini adalah kesaksian
Ketika muka-muka kusut mencoba dalam tatap

Harapan?
Masa depan?
Hidup?
Kebahagiaan?

Cobalah sapa muka-muka kami
Manusia yang mencoba untuk mebicarakanmu setiap hari
Mengguncing
Mengumpat
Hingga, lelah terbaring dalam asa kehampaan

Kawan, antara kita telah ada cerita
Kamar itu adalah oase
Bagaimana kita saling bercerita

Dukamu....
Sedihku....
Gumammu....
Dalam desah statistik sebuah skripsi!

Sapi gila & 'gilanya' importir daging
Oleh Turyanto

Setiap kali saya menuliskan "sapi gila" dari Amerika Serikat (AS), saat itu pula saya harus bertanya: siapa yang rugi atau untung? Siapa yang senyum atau termenung? Siapa yang bingung dan berkabung? Produsen dagingkah? Pengusaha pakan ternak atau importir daging?

Lantas, siapa pula yang mesti repot? Pemerintah RI atau AS? Mengapa daging asal AS itu perlu dilarang, lalu kenapa juga susah-susah negosiasi sana-sini dan muncul perkataan, pertimbangan dulu pak! Sebelum dilarang! Nasib importir, produsen pakan ada di tangan Anda!

Saat saya berbicara dengan Dirjen Peternakan Departemen Pertanian (Deptan), Mathur Riyadi, dia berkata kepada saya:

"Mas tadi saya dapat banyak sms dari DPR, mereka bilang 'Pak jangan dilarang dong,
impor daging dari Amerika [Serikat]', lalu saya jawab saja sedang dibahas,"
"Wah, pertimbangannya apa pak? Kok merka [DPR] bisa minta begitu?"
"Mereka itu juga kan ada yang jadi importir mas?"
"Lalu sikap bapak bagaimana?"
"Ya, biasa saja, yang perlu dipikirkan kami membela siapa? Produsen, konsumen,

atau pedagang?"
"Tentu konsumen dong pak! Jangan prinsipnya dagang, tapi demi kesehatan

masyarakat dengan melindungi konsumen."
"Betul mas, makanya pemerintah akan terus bernegosiasi sebelum surat edaran ini
saya tanda tangani," tutup Mathur.

Ketika itu pula saya mencoba berpikir, memang ada yang perlu dicermati saat memandang kasus ini. Tentu saja, pemerintah tidak ingin asal larang. Main tutup tanpa mendengar keluhan semua pihak. Namun, Deptan juga harus tegas. Sapi gila adalah penyakit serius. Mengancam kesehatan, tidak hanya manusia tapi juga hewan. Sebab, penulurannya melalui pakan.
Begitu pula dengan produsen daging dalam negeri. Mereka tak boleh seenaknya 'bersorak', sebab dengan dilarangnya impor dari AS, daging yang mereka produksi dalam negeri akan kembali mampu bersaing. Tidak kalah dengan jeroan impor dari AS.

Memang dari data Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner tahun ini, dari 20.581,4 ton total daging yang diimpor dari AS pada periode 1 Januari hingga 27 Juni, sebanyak 15.650 ton masuk kategori jeroan/variety meat. Jumlah itu tentu menguasai sekitar 75% impor daging dari AS, karena impor daging beku cuma 4.810 ton dan daging segar 121,4 ton.

Hal inilah, mungkin yang dalam kacamata saya kalangan importir daging terlihat ketar-ketir. Saya teringat ucapan Ketua Umum Asosiasi Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring beberapa waktu lalu.

"Kami harus siap putus kontrak. Padahal uangnya sudah dibayar dimuka. Masa kontaknya itu enam bulan. Bila dilarang, jadi bisa rugi banyak," katanya.

Tak hanya Sembiring. Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMT) Fenni Firman Gunardi juga mengatakan sama. Larangan impor daging asal AS, akan turut melarang bahan Meat and Bone Meal (MBM). Padahal, lanjutnya, MBM itu merupakan bahan utama untuk industri pakan ternak dalam negeri, selain soybean meal yang merupakan pakan hijaun ternak.

"Bahan MBM dari Australia itu mahal, sekitar US$ 400 lebih per ton, berbeda dengan yang dari Amerika [Serikat] yang lebih murah, karena mereka over. Bila impor MBM dari AS dilarang, apa kami harus menaikkan harga pakan ternak dalam negeri?" ujarnya.

Ungkapan Sembiring dan Fenni, sebagai importir, tentu sangat beralasan. Pertama, mereka sudah menargetkan untuk mengimpor 8.000 ton daging jeroan tahun ini dari AS. Realiasi dari pemerintah AS, baru 7.950 ton yang terkirim. Parahnya lagi, sejumlah daging beku masih tercampur dengan jeroan/variety meat. Sampai bulan lalu 200 ton masih dalam masa pengapalan.

Jadi, bila tiba-tiba dilarang, siapa yang akan menaggung biaya pengiriman? Pembelian? Dan segala macam administratif yang telah diselesaikan di muka? Jelas, bila hal ini yang dijadikan patokan importir berada pada pihak yang dirugikan.

Kedua, pelarangan impor daging asal AS tentu akan menjadikan negara Kanguru dan Selandia Baru menjadi raja eksportir. Kebutuhan daging dalam negeri hanya bisa disetok dari dua negara itu. Akibatnya bisa dibayangkan. Monopoli akan terjadi. Lebih-lebih akan menghadapi masa hari raya. Impor daging akan mahal. Harga dalam negeri tentulah akan ikut mengimbangi.
Ketiga, tentu posisi sulit akan dialami importir, bila larangan daging impor asal AS kedua ini kembali diterapkan. Era sekarang berbeda dengan tahun lalu. Kalau dulu mereka masih bisa mencuri-curi dengan memasukkan bahan asal hewan pada masa larangan.

Seperti dilaporkan United States Departement of Agriculture (USDA) pada masa larangan importir masih bisa memasukkan daging pada Januari jumlah offal yang diimpor sebanyak 207,8 ton, Maret 361,9 ton, April 815,7 ton, Mei 1.437,8 ton, dan Juni 1.121,3 ton, sedangkan untuk kategori beef secara berurut 0,0 ton, 22,3 ton, 0,0 ton, 52,9 ton, dan 118,8 ton.
Namun, tentu posisi sekarang saya katakan sulit. Sebab, semua akan menjadi pengawas dari ular importir--bila larangan terjadi. Seperti yang dikatakan Bambang Herman, dari Badan Karantina Deptan, pihaknya akan serius membongkar semua kontainer daging di pelabuhan.

Berbicara sapai gila, saya jadi teringat pertemuan dengan seorang dokter hewan, Maria P Omega di Jakarta beberapa waktu lalu. Dia memberikan saya sebuah artikel tentang gambaran penyakit ini. Secara gamblang, dalam artikel tersebut dia menjelaskan apa itu penyakit sapi gila. Menurut dia memang BSE bukanlah jenis virus, tapi sejenis Prion yang menyerang pada manusia dan hewan.

Penyakit ini, lanjutnya, muncul akibat perubahan pola hidup, ego dan ambisi manusia untuk menghasilkan lebih banyak protein hewani (daging dan susu), sebabya ruminansia yang secara alami adalah pemakan tumbuh-tumbuhan dipaksa menjadi karnivora (sapi dipaksa untuk makan MBM/meat borne meal atau pakan yang berasal dari lambung kelenjar/perut dari hewan lain).

"Secara tak langsung hal itu merupakan praktik kanibalisme masyarakat manusia. Memakan segala," ujarna secara tidak langsung.

Penyakit Sapi Gila/Mad Cow atau Bovine Spongiform Encephalopathy/BSE, jelas Maria, merupakan penyakit yang terjadi pada otak sapi yang tergolong dalam kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE).

"Penyakit ini disebabkan oleh suatu jenis protein [tanpa asam nukleat] yang bersifat infeksius yaitu prion (proteinaceous infectious)," jelasnya.

Menurut Maria, agen penyebab dari penyakit berbaya pada manusia adalah prion yang berasal dari BSE. Penyakit BSE tersebut menyerang sapi berumur tiga sampai lima tahun dengan gejala penurunan produksi susu, gemetar/kejang-kejang dan TSE (transmissible encephalopathy).

"Yang lebih parah, BSE menyebabkan penyakit gerstmann-straussler-scheinker (GSS) sangat berbahaya pada manusia. Penyakit ini menyebabkan inkoordinasi otot, dementia dan kematian dalam dua sampai tiga tahun. Penyakit Kuru karena kanibalisasi di Papua Nugini [penanganan dan memakan otak manusia], dengan inkubasi tiga bulan sampai 30 tahun dan akhirnya mematikan," tegasnya

Sebenarnya ada pesan Maria yang diberikan kepada saya: "Jangan dipandang remeh soal BSE."
Kata ini sekali lagi membuat saya harus bertanya, mengapa kebijakan yang berdasarkan pada segi ilmiah ini harus dinegosiasi demi kepentingan dagang?

Lalu, mengapa pula negara ini yang menegoasiasi AS? Siapa yang butuh? Importir atau eksportir? Dan yang lebih penting lagi, mengapa para importir daging jadi ikut 'gila' gara-gara di AS ada sapi gila? Karena bila sama-sama sadar, kesehatan masyarakat banyak lebih diutamakan, maka tak perlu ada yang diperdebatkan. [!]

OTOMOTIF

India, ancaman serius otomotif China

Oleh Turyanto
Bisnis Indonesia

China disebut sebagai pasar mobil terbesar ketiga di dunia. Julukan itu diberikan 20 tahun lalu. Ketika pabrikan otomotif dunia mulai melirik peluang bisnis sektor otomotif di negara tirai bambu ini.

Sejak 1985, ekspansi besar-basaran pun dilakukan. Raksasa raksasa otomotif dunia dan Eropa macam General Motor Coorp, Volkwagen AG, Bayerische Motorean Werke AG, serta Ford Motor Co berbondong bondong mendirikan unit usaha baru di China. Sekedar memperlaris produk dan capaian target penjualan globalnya.

Sebelumnya, pabrikan asal Jepang terlebih dahulu menancapkan dominasinya di China dan menguasai semua lini pasar mobil.

China Association of Automobile Manufactures mencatat investasi yang dikeluarkan para pabrikan tersebut pada 1985 mencapai sekitar US$19 miliar. Dan sejak itulah, di China berdiri 117 pabrikan kendaraan baru.

Di mata mereka China adalah pasar 'seksi'. Dengan dukungan populasi penduduk yang besar dan kebijakan percepatan ekonomi pemerintah yang menggenjot pertumbuhan sektor industri.

Satu lagi, China dipilih sebagai skenario jangka panjang untuk memperluas jaringan pasar di kawasan Asia. Bagi pabrikan asal Eropa, jelas ekspansi tersebut adalah salah satu langkah untuk memulai menggerogoti dominasi pabrikan asal Jepang, seperti Toyoto Motor Corp, Honda Motor Co, dan Nissan Motor Co.

Namun, kegairahan itu mulai terusik. Tak semua pabrikan menikmati manisnya dagang mobil di China. Hal itu membuat mereka berpikir ulang. Memasuki 2005, keinginan ekspansi besar-besaran pun tertuda.

Harian China Daily menulis perusahaan otomotif di China pendapatannya merosot sebesar 45% dalam tujuh bulan pertama tahun ini menjadi 27 miliar yuan (US$3,3 miliar).

Dibandingkan tahun sebelumnya, beberapa unit otomotif dari prinsipal dunia di China pun merasakan masa pahit untuk tahun ini. Keuntungan bisnis penjualan mobil mereka anjlok 59% menjadi 11 miliar yuan. Ditambah penjualan suku cadang otomotif yang hanya menjadi 11 miliar yuan, atau turun 26% dibandingkan tahun sebelumnya.

Volkswagen (VW) adalah salah satu pabrikan terbesar di Eropa yang merasakan penurunan itu. Selama iniChina merupakan pasar terbesar VW setelah Jerman. Namun, bagi VW, China kini bukan lagi masuk dalam skenario bisnis mereka.

17 Oktober lalu, Bloomberg menulis VW menghentikan ekspansinya ke China. Rencana itu diputuskan sebagai langkah pemangkasan biaya operasional, akibat jatuhnya penjualan mereka di China.

Sebuah survai yang dilakukan National Bureau of Statistics yang dilakukan 10 Oktober lalu menyebutkan dalam kuartal kedua tahun ini, pasar mobil di China turun 10% dari 13% pada kuartal sama tahun sebelumnya.

Hal itu terjadi karena pola konsumsi masyarakat China mulai beralih. Mereka lebih memikirkan membeli rumah ketimbang mobil.

India pilihan selanjutnya
Membuka kembali laporan beberapa CEO (Chief executive officer) dari beberapa perusahaan internasional tahun lalu, mereka mendudukkan India dalam ranking yang tinggi sebagai salah satu negara yang pasarnya tumbuh pesat, meski lebih banyak yang memasukkan China sebagai pasar terpenting yang baru tumbuh.

Laporan berjudul "Kemitraan untuk keberhasilan: perspektif bisnis dalam kemitraan multi pihak" itu juga mendudukkan Brasil, Rusia, Afsel, Asean dan Timur Tengah sebagai negara dan kawasan yang pasarnya tumbuh pesat.

Berdasarkan survei yang dilakukan GCCI (Global Corporate Citizenship Initiative) terhadap 40 perusahaan, ditemukan bahwa cepatnya pembangunan ekonomi dan pertumbuhan geopolitik memiliki pengaruh yang signifikan dengan pasar yang menawarkan dengan potensi bisnis dalam jangka panjang.

Selain itu, potensi itu juga terkait dengan sikap kepemimpinan dan resiko untuk sebagian besar perusahaan swasta.

Tantangan restrukturisasi ekonomi yang fundamental, termasuk struktur pemerintahan, kondisi kerja yang menyedihkan, perbaikan HAM, tekanan terhadap lingkungan, dan perbedaan yang tajam menjadi isu penting di pasar yang baru tumbuh.

Laporan itu juga menekankan pentingnya pemerintahan yang bersih, pemberantasan korupsi, kedamaian dan keamanan yang berkelanjutan, pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan penurunan tingkat kemiskinan dan perkembangan dunia.

Sembilan dari 10 mitra CEO menyatakan kemitraan antara kalangan bisnis, pemerintahan, dan masyarkat memainkan peran penting dalam menghadapi tantangan pembangunan di dunia saat ini.

Laporan tersebut dihasilkan dari kolaborasi dengan The Prince of Wales International Bisiness Leaders Forum dan Corporate Social Responsibility Initiative, dan Harvard University.

Dengan konsistensi regulasi, ternyata India pelan-pelan mencuri 'milik' China. Mata pabrikan otomotif dunia bergesar. Mereka pun kini beramai-ramai ekspansi ke India.

Setidaknya raksasa otomotif Korea Selatan Hyundai Motor Co, Renault SA asal Prancis sedang menyusun stategi khusus untuk memulai peluang baru. Tak ketinggalan Suzuki Motor Corp turut meramaikan prospek tersebut.

Ketiganya berencana menanamkan investasinya di India sebesar US$2 miliar hingga 2010. Negara yang memiiki populasi penduduk terbesar kedua di dunia itu mulai dilirik.

Selain itu, Nissan Motor Co dan Daihatsu Motor Co juga tak mau kalah bersaing. Pekan lalu Bloomberg menulis dua pabrikan ini siap mendirikan pabrik perakitan baru di India.

Carlos Ghosn, Chief Executive of both Nisaan dan Renault mengatakan pihaknya dan Renault akan mendirikan kantor baru di India sebelum 2008, dengan nilai kerjasama sebesar US$165 juta untuk membuat model mobil Logan yang dimulai pada 2007.

Dengan pertumbuhan ekonomi 6,9%, pertumbuhan pasar mobil di India terdongkrak. Penjualan kendaraaan di India berhasil menembus 1,06 juta mobil yang terdiri dari truk dan van tahun ini hingga akhir Maret.

Dari situ nampak. India adalah ancaman serius bagi China. Karena konsistensi regulasi pemerintah India di sektor industri.

Bagaimana Indonesia?
Gunadi Sindhuwinata, Presiden Direktur Indomobil Group menyebut kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia tak konsisten. Maka dari itu, sulit bagi bangsa ini untuk meniru China atau India. Karena, prinsipal akan berpikir ulang untuk menjadikan Indonesia sebagai basis produksi.

"Ya...kayak kurikulum pelajaran-lah. Setiap tahun ganti. Sama seperti kebijakan ekonomi negara ini. Setiap menteri ganti. Jadi investor ya...bingung," paparnya.

Bagi Gunadi ketidakkonsistenan itulah yang membuat RI selama ini hanya dijadikan sebagai basis pemasaran oleh prinsipal, bukan produksi. Jadi, hanya sekedar seperti Thailand juga sulit.

Padahal, sebelumnya Presiden Direktur PT Astra Honda Motor Minoru Yamashita pernah menyebut RI merupakan pasar sepeda motor terbesar ketiga di dunia dan ada kemungkinan menggeser India yang menempati urutan kedua. Sedangkan, pasar sepeda motor terbesar masih ditempati China.

Namun, harapan-harapan hanya menjadi euforia. Indonesia berkutat pada perdebatan antara 'boleh' dan 'tidak'. Perangkat kebijakan banyak yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi.

Bila melihat survai CGGI mestinya pemerintah harus memperhatikan kontinuitas regulasi. Dengan itu, Indonesia yang memiliki penduduk besar punya potensi untuk seperti China atau India. Tak sekedar mimpi. (
turyanto81@yahoo.com)