Friday, June 29, 2007


Demak, Si Miskin yang Dermawan

Pergilah ke Demak, di sana tersimpan pesona yang melimpah. Ada masjid Agung Demak, makam kadilangu, grebeg besar, alat musik rebana, ukir gebyok, kaligrafi, dan sanggul. Ingin melihat pesta sedekah laut? Demak juga punya. Namanya Syawalan Morodemak.

Di sana juga ada acara Garebek. Sebuah tradisi tahunan jamasan (memandikan) pusaka Kyai Crubuk milik Sunan Kalijaga, Kyai Siri’an miliki Kesepuhan, dan Kotang Ontokusumo milik Raden Fatah.

Setiap acara itu berlangsung, warga Demak selalu ramai dan memadati alun-alun Kia Turmudi sampai Jogoloyo. Mereka minta keberkahan dan reziki. Terutama para pedagang kaki lima dan jajanan.

“Tumpengnya selalu laris lho, sambil membagikan, biasanya saya bilang, ‘semoga dagangannya laris ya…banyak dapat rezeki’,” ucap Bupati Demak, Endang Setyaningdyah.

Hebatnya sekali Garebek, Demak mendapatkan pemasukan kas derah Rp198,6 juta hingga Rp250 juta. Kas itu berasal dari para pengunjung dan peziarah makam yang tumpah ruah.

Selain itu, Kabupaten ini juga memiliki buah khas: blimbing dan jambu delima. Kekhasan yang mengingatkan kita akan sebuah syair Jawa: iliir-illir.

Berkat blimbing, Demak jadi terkenal. Malah buah ini menjadi brand di tiap gapura-gapura rumah. Blimbing Demak juga memberikan pemasukan daerah yang lumayan. ”Dijual di Supermarket mahal mas, sebuah mencapai Rp4.000,” kata Imam (35), warga kota Semarang.

Jika Anda kenal dengan bakpia khas Yogyakarta, siapa sangka kalau kacang hijau yang dijadikan bahannya itu berasal dari Demak. Harganya cukup tinggi dan menguntungkan orang sana, yaitu Rp3.500 hingga Rp5.000 per kg.

Di sana kacang hijau di produksi pada lahan sekitar 10 hektare dengan total produksinya 24,5 ton per musim panen. Kini, perluasaan lahannya mencapai 24 hektare yang tersebar di 14 kecamatan dengan produksi hampir 32 ton per musim.

Demak juga erat dengan sebutan Kota Wali. Tempat Sunan Kalijaga (yang hidup 1455—1586 M) berada. Sejarah mencatat, Demak juga tempat kerajaan Islam pertama di Indonesia saat Raden Fattah memimpin.

Kebesaran itulah yang membuat Demak merupakan daerah yang tiap tahunnya dikunjungi ribuan peziarah dari segala penjuru. Tercatat saat puasa tiba, setiap hari Demak menyerap 10.000 orang pengunjung dan saat sepi 5.000 orang. Dari peziarah itu pula Demak setiap hari menerima pemasukan rata-rata Rp10 juta per hari dari pengelolaan makam Sunan Kalijaga.

Kalimat promosi di atas bukanlah isapan jempol belaka. Demak memang kaya potensi. Dari aset daerah itu, Endang mampu memberikan pengobatan gratis pada warganya. Bidan dan dokter Demak selalu siap membantu dan warga yang berobat tidak dipungut biaya.

Tidak itu saja, Universitas Sultan Fatah Demak adalah perguruan tinggi dengan SPP paling murah. “Tak hanya di Indonesia, tapi di dunia. Sultan Fatah, SPP-nya paling murah,” tegas Endang.

Menurut dia, pemerintah daerah juga selalu memberikan bantuan daging 5 kg dan beras 10 kg tiap bulannya pada setiap guru PNS. Pengajar surau dan madarasah juga diberi insentif. Mereka mendapat gaji tambahan Rp50.000 tiap bulan. “Biar warga Demak bisa tertawa. Menikmati hasil daerahnya sendiri,” kata Endang.

Namun, siapa sangka? Bila merupakan daerah termiskin di Jawa Tengah? Pendapatan per kapita penduduknya hanya Rp2 juta per bulan. Dengan Pendapatan Aseli Daerah (PAD) Rp8 miliar per tahun.

Sedangkan 41% dari 200 ribu penduduknya masuk kategori miskin. Warga yang berpendidikan strata satu hanya 2%, berpendidikan SLTA (3%), dan sisanya (95%) lulusan sekolah dasar atau tak sekolah sama sekali.

“Mereka kebanyakan orang pesantren. Pendidikan umum tak seberapa diperhatikan,” kata Endang. (tur)

*suatu waktu kala menyusuri sisi demak

No comments: