Thursday, September 06, 2007

Kakao


Habis Sawit, Pikirkanlah Kakao

SEMASA krisis melanda negeri ini pada 1997, kakao telah terbukti mampu menjadi tumpuan ekonomi bagi sekitar satu juta lebih masyarakat tani di pedesaan. Harga kakao dunia yang terus melambung saat itu, hingga pada kisaran Rp20 ribu per kilogram di level petani, membuat mereka tersenyum manis menengguk untung berjibun.

Namun, sayang dalam perjalanannya, pengembangan kakao kalah kinclong dibandingkan kelapa sawit. Salah satu penyebabnya, keseriusan ’campur tangan’ pemerintah untuk menyulap kakao sebagai komoditas andalan laiknya kelapa sawit, masih timbul tenggelam dan terkadang mati angin.

Kendati harus diakui, dalam beberapa kesempatan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Muhammad Lutfi selalu gencar mempromosikan potensi industri pengolahan kakao ke luar negeri untuk menarik investasi baru. BKPM sendiri tahun ini memfokuskan untuk mendorong investor masuk ke industri pengolahan biji kakao menjadi produk hilir.

Tetapi, upaya itu, pastinya akan sulit berbuah jika regulasi untuk memicu perkembangan sektor hulu dan hilir masih belum saling mendukung. Bahkan, pemain kakao di hulu sampai hilir hingga kini terus saja berkutat pada persoalan sama. Mereka jatuh bangun memikirkan minimnya produksi kakao per hektare di tingkat petani, kualitas bibit yang buruk, belum terpenuhinya ketentuan standar yang diharapkan, ataupun jaminan ketersediaan pasokan biji kakao berfermentasi bagi industri pengolahan.

Karena itu, meskipun seabrek insentif telah digelontorkan oleh pemerintah guna memicu investasi baru di sektor usaha tersebut, seperti dengan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen bagi produk primer sejak awal 2007 ini, tapi toh nyatanya industri pengolahan kakao nasional belum jua bergairah. Malah, sejak muncul di era 80-an, pertumbuhan industri pengolahan di Indonesia sampai kini bisa disebut stagnan.

Pada 2006 lalu misalnya, dari total kapasitas terpasang industri pengolahan nasional yang mencapai 300 ribu ton, pemanfaatan kapasitas produksinya baru 50 persen saja, atau sekitar 150 ribu ton. Pemicunya, pabrik kakao sulit mendapatkan bahan baku biji berfermentasi dari petani.

Padahal, produksi kakao nasional tahun lalu telah mencapai 600 ribu ton yang dihasilkan dari 992.446 hektare total areal kakao. Dari nilai itu, 70 persen diekspor dalam keadaan mentah.

Kondisi di dalam negeri ini, tentu begitu kontradiktif dengan apa yang terjadi di Malaysia. Negara Jiran itu, telah mampu mengolah kakao 250 ribu ton hanya dengan produksi 30 ribu ton per tahun saja. Perbandingan yang ironis!

***

MELIHAT ke belakang, perjalanan industri pengolahan kakao nasional tidaklah segampang yang diharapkan saat awal kali dirintis di era 80-an. Sejumlah jalan terjal menghadang. Dan, terkadang gajalan itu mengarah kepada kebangkrutan usaha.

Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman menceritakan, sebelum tahun 2000, Indonesia memiliki tak kurang dari 30 industri pengolahan kakao. Namun jumlah itu kian menyusut. Tinggalah kini tersisa 15 industri saja dengan kapasitas terpasang 314 ribu ton per tahun, tetapi realisasi produksinya baru 165.500 ton per tahun.

Dia mengatakan, beberapa kejadian besar yang memukul industri kakao nasional adalah hengkangnya PT General Food Industries (Delfi Group) pada 2002 ke Malaysia. Lalu, menginjak awal 2005, PT Inti Kakao Abadi Industries menyetop produksi dan merumahkan sekitar 200 karyawannya.

”Penyebabnya waktu itu pengenaan PPN 10 persen atas pembelian lokal biji kakao. Lalu, kami sulit memperoleh suplai biji kakao bermutu dan difermentasi,” tuturnya.

Akibat masalah ini, Piter menyatakan, industri pengolahan kakao nasional harus mengimpor dari Afrika sebanyak 30 ribu ton per tahun biji kakao fermentasi. Selain itu, industri domestik juga mengalami diskriminasi tarif bea masuk (BM) kakao olahan asal Indonesia oleh Eropa dan China. Sedangkan di dalam negeri, pemerintah memberlakukan tarif BM impor biji kakao asal India dan Brasil yang lebih tinggi.

Ketidaknyamanan yang dirasakan pengusaha tersebut, lantas membuat pemerintah bertidak sehingga terbitlah surat Menteri Sekretaris Negara kepada Menteri Keuangan Nomor B.168/M.Sesneg/03/2005 tertanggal 17 Maret 2005. Surat itu berisi arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pengembangan industri cocoa processing.

Setelah surat itu terbit, dunia usaha menyambut positif. Lalu, munculah sejumlah pemain baru, seperti PT Industri Kakao Utama di Kendari, PT Kopi Jaya Cocoa di Makassar. Beberapa industri yang sudah ada pun kemudian melakukan ekspansi, yakni PT Bumitangerang Mesindotama dan PT Maju Bersama Cocoa Industry.

Melalui arahan Presiden itu pula, setiap departemen akhirnya melakukan dukungan riil guna menggenjot industri pengolahan kakao. Departemen Pertanian misalnya, mereka membentuk Komisi Kakao Indonesia pada 5 Januari 2006. Lembaga ini merupakan cikal bakal Dewan Kakao Indonesia dengan Keputusan Mentan No. 03/Kpts/OT.160/1/2006. Deptan juga merevisi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Wajib Fermentasi.

Selanjutnya, Departemen Keuangan juga menghapus PPN 10 persen atas produk primer pertanian, diikuti Departemen Perindustrian (Depperin) mengkaji penerapan Pungutan Ekspor atas biji kakao dan mekanisme pengembaliannya agar benar–benar bisa dimanfaatkan kembali untuk membantu petani kakao. Depperin juga berhasil menerapkan harmonisasi tarif dari 5 persen menjadi 15 persen guna mengurangi impor produk kakao olahan sejak Februari 2006.

Lalu, Departemen Perdagangan ikut aktif melakukan negosiasi penurunan tarif untuk produk kakao olahan Indonesia di China dalam Joint Commission RI–China pada Agustus 2006. Negosiasi itu juga mendapat dukungan dari Presiden untuk meningkatkan volume perdagangan kakao dengan China pada saat kunjungan kenegaraan ke negara itu pada 29 Juli 2005.

Di luar upaya itu semua, kini komoditas kakao di Indonesia kembali dihadapkan pada sebuah masalah. Tak jauh beda dengan kelapa sawit, kalangan industri pengolahan meminta kepastian pasokan bahan baku untuk meningkatkan kapasitas produksi. Salah satunya, dengan pengenaan pungutan ekspor (PE) plus pemberlakuan SNI wajib bagi komoditas itu.

Tentu, usulan ini mengundang sejumlah polemik. Bagi para pelaku di sektor hulu, PE dinilai bukan solusi bijak untuk menuntaskan persoalan bahan baku industri pengolahan. Selama ini, pelaku usaha perkakaoan nasional terbagi atas Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Asosiasi Perusahaan Coklat dan Kakao (APICKI), dan Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI).

Sekjen Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), Zulhefi Sikumbang mengatakan, Departemen Keuangan (Depkeu) melalui Ditjen Pajak harus melakukan penyelidikan ke perusahaan pengolahan kakao yang mencitrakan seolah-olah industri kakao diambang kehancuran. Padahal, itu tidak seluruhnya benar.

Sebenarnya, lanjut dia, kapasitas terpasang industri pengolahan baru 230 ribu ton per tahun. Bahkan, industri kakao di Sulawesi Selatan saat ini dapat menikmati selisih harga bahan baku sekitar US$30-US$50 per ton karena faktor kemudahan pasokan.

***

MENGINGATKAN kembali hasil International Cocoa Conference yang digelar di Denpasar, Bali pada 28-29 Juni 2007 lalu, sebenarnya yang dibutuhkan oleh para pelaku perkakaoan di tanah air kini adalah bagaimana mendongkrak produksi nasional komoditas itu agar mampu berjaya, selain membiasakan petani menjual kakao berfermentasi. Sebab, selama ini produktivitas kebun kakao petani hanya rata-rata 600 kilogram per hektare per tahun.

Apalagi, harus disadari pasar masih sangat terbuka luas. Konsumsi cokelat global kini juga terus naik sebesar 2—4 persen, atau 60—120 ribu ton per tahun. Selain itu, pertumbuhan permintaan biji kakao juga naik 2,6 persen per tahun.

Sedangkan, pasokan hanya tumbuh 2,3 persen per tahun sehingga memicu kenaikan harga yang relatif cepat. Tentunya, kondisi ini merupakan peluang bagus bagi Indonesia untuk mengisi kekosongan pasar tersebut, mengingat ketersediaan lahan masih cukup luas. Terutama, untuk mencapai target pertumbuhan kinerja ekspor kakao tahun ini sebesar 21,03 persen menjadi US$1 miliar.

Bagi pemerintah, tentu tak ada salahnya, jika kini saatnya memulai memikirkan secara serius komoditas kakao, setelah berhasil mendorong ekspansi besar-besaran kelapa sawit. Karena, dengan memicu investasi kakao berarti menghendaki petani semakin untung dan sejahtera. Tidak seperti kelapa sawit yang saat ini lebih banyak dinikmati pemain berdasi.

No comments: